Puasa atau shaum (bahasa Arab) secara harfiah berarti menahan diri. Ilmu Fiqh mendefinisikan puasa sebagai perilaku menahan diri dari hal-hal yang membatalkannya (pemenuhan dorongan biologis seperti; makan, minum dan hubungan seksual) dari mulai terbit fajar hingga terbenamnya matahari. Dari tinjauan psikodinamika, mekanisme ritual puasa yang demikian mengandung pesan bahwa tidak akan terjadi perkembangan rohaniah (ego) jika setiap kali muncul dorongan dari dalam (syahwat) yang berbentuk keinginan seketika itu juga harus terpenuhi. Harus ada pendidikan, pendewasaan, dan pelatihan untuk Ego yang setiap saat berhadapan dengan realitas atau stimulus yang selalu membangkitkan syahwat tersebut. Meskipun pada tujuan aslinya ritual puasa dipersembahkan hanya untuk Tuhan namun dalam implementasinya ia mengandung dimensi ini. Dengan perkataan lain puasa merupakan simbol tentang pentingnya pengekangan Id demi penguatan dan pendewasaan terhadap Ego. Selanjutnya, Al-Quran menyatakan bahwa tujuan puasa adalah untuk mencapai derajat taqwa. Maka, taqwa di sini harus diberi pengertian kemampuan Ego dalam menunda dan mengendalikan keinginan-keinginan syahwat yang tidak dapat dimusnahkan tersebut pada arah pemenuhan yang sesuai dengan ketentuan moral agama. Syahwat yang mencapai titik kepuasan melalui proses taqwa inilah yang kita sebut dengan nafsu yang dirahmati oleh Tuhan (Q.S.89;27).
Strategi kebudayaan
Herbert Marcuse (1898-1979), filosof mazhab Frankfurt, menyatakan bahwa peradaban umat manusia dalam bentuk konstruksi tatanan masyarakat pada hakikatnya adalah hasil represi atau pengekangan terhadap Eros. Eros adalah dorongan-dorongan primitif (insting kebinatangan) yang dalam tulisan ini kita padankan dengan term syahwat atau Id. Represi adalah pengekangan sampai pada batas waktu tertentu sehingga berlangsung rasionalisasi, sublimasi dan pengarahan dorongan-dorongan primitif tersebut pada saluran-saluran yang lebih intelektual, perikemanusiaan, kultural dan artistik yang kemudian mewujud dalam bentuk sistem lembaga-lembaga. Proses ini merupakan situasi di mana prinsip realitas mendominasi dan selanjutnya memodifikasi prinsip kesenangan. Suatu proses yang menjadi prasarat bagi kemajuan. Dalam sejarah perkembangan manusia, penggantian prinsip kesenangan dengan prinsip realitas adalah peristiwa traumatis yang hebat dan selalu terjadi. Namun, Freud memperingatkan bahwa kemenangan prinsip realitas tersebut tidak pernah sempurna. Apa yang direpresi dan dikuasai oleh peradaban klaim prinsip kesenangan-- tetap hidup dan eksis dalam peradaban itu sendiri. Alam tak sadar tetap menjaga dan memelihara tujuan-tujuan prinsip-prinsip kesenangan yang dikalahkan itu meskipun dipaksa mundur oleh realitas eksternal, atau bahkan tidak mampu menjangkau realitas tersebut. Namun, kekuatan penuh prinsip kesenangan tidak hanya tetap hidup di alam bawah sadar, tetapi dengan bermacam cara mempengaruhi realitas yang telah mengatasi prinsip kesenangan itu. Apabila prinsip kesenangan mengambil alih kekuasaan dan mendominasi prinsip realitas maka di situlah awal kehancuran sebuah masyarakat atau peradaban.
Berdasarkan uraian di atas, kita dapat menemukan jawaban mengapa Tuhan menetapkan ritual puasa sebagai kewajiban universal pada agama-agama dan berlaku sepanjang masa. Ritual puasa merupakan pesan simbolik bahwa potensi kehancuran peradaban atau masyarakat bersumber dari dalam diri manusia itu sendiri. Dan, potensi ini tidak dapat dimusnahkan, ia selalu muncul setiap waktu. Karena itu, perilaku manusia selalu mendasarkan diri, mendapatkan ujian, dan penilaian ketaqwaan dari Tuhan. Sebaliknya, melalui ritual puasa manusia mendapatkan pelajaran bahwa untuk membangun kembali masyarakat dan peradaban harus dimulai dari pengekangan secara kolektif atas dorongan syahwat atau Id tersebut. Maka, ritual puasa dalam konteks ke-Indonesia-an bisa menjadi sebuah titik tolak dan strategi dalam merestorasi kembali pemerintahan dan budaya masyarakat yang sedang mengalami krisis berkepanjangan.
Tunjung Dhimas
sumber :
-representasi tesis Ahmad Fauzi; Nabi Kriminal
- Kajian Budaya Barat; Sujarwanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar