Seseorang yang semakin mencapai kesadaaran murni, juga semakin merdeka dari belengu peraturan dan norma produk penalaran subyektif manusia. Hukum yang sejati sejatinya adalah hukum yang bekerja di alam ini, yang disebut hukum sebab akibat, kausalitas, atau nama lain. Inilah yang benar-benar mengikat manusia. Sementara semua bentuk peraturan atau norma yang dilabeli sebagai hukum adat maupun hukum agama, sejatinya adalah produk penalaran manusia yang tadinya merupakan kebenaran subyektif tapi seiring perkembangan waktu disepakati secara kolektif sehingga menjadi kebenaran kolektif.
Pada sebagian kasus, hukum dan norma ini benar-benar dibuat atas dasar pertimbangan yang rasional. Sebagai contoh, didasari kehendak membangun ketertiban sosial. Otoritas dipergunakan untuk meneguhkan peraturan dan norma yang dipandang bisa memastikan ketertiban sosial berjalan. Biasanya ini berlaku pada komunitas adat, dengan kesadaran itu hanya berlaku terbatas pada area dan komunitas terkait. Sebagai contoh, saat saya masuk ke kawasan Kanekes (Baduy) di Banten, saya menemukan peraturan-peraturan yang sepintas tidak masuk common sense saya. Beberapa peraturan itu antara lain, tidak boleh menaiki kendaraaan saat bepergian (siapapun yang melanggar saat ketahuan akan mengalami sanksi sosial), tidak boleh meratakan tanah saat membangun rumah tapi tiang-tiang rumahlah yang harus menyesuaikan dengan kontur tanah (alasannya adalah untuk selaras dengan alam, tidak memaksa alam), tidak boleh memelihara kambing (karena kambing bisa berkeliaran dan merusak tanaman tetangga), tidak boleh pacaran dan berpoligami, dan seterusnya. Peraturan-peraturan demikian hanya berlaku terbatas untuk warga Kanekes. Jika ada warga yang tidak mau mematuhinya, mereka berkesempatan untuk tinggal di kawasan yang lebih longgar peraturannya (ke kawasan Kanekes/Baduy Luar), atau memang keluar sepenuhnya dari kawasan Kanekes. Tapi peraturan ini tak dipaksakan berlaku secara luas untuk komunitas lain.
Tetapi ada kalanya dinamika kepentingan politik dan kekuasaan mewarnai proses penetapan peraturan dan norma ini. Ini terjadi terutama pada peraturan dan norma yang coba diuniversalkan, dengan asumsi itu bisa berlaku pada seluruh manusia di berbagai belahan Planet Bumi. Hasrat hegemoni dari satu bangsa atau kelompok umumnya kental mewarnai proses universalisasi sebuah peraturan dan norma. Sebagai contoh adalah peraturan-peraturan yang mengatur kehidupan pribadi manusia mulai dari cara berpakaian, relasi laki-laki perempuan, dan sejenisnya, yang dianggap sebagai peraturan Tuhan yang berlaku mutlak bagi manusia. Padahal sesungguhnya ini hanya adat satu komunitas, tapi coba diglobalisasikan/diuniversalisasi dengan label peraturan Tuhan, padahal sejatinya bukan.
Pribadi yang berkesadaran mengerti benar perkara ini. Sehingga kepatuhannya pada satu aspek peraturan atau norma lebih dilandasi prinsip empan papan (menyelaraskan diri dengan tempat berpijak). Dia tetap sadar penuh bahwa sejatinya semua peraturan dan norma itu buatan manusia, dan kebenarannya tetaplah subyektif. Pada titik tertentu, pribadi yang berkesadaran juga dengan tegas bisa menyatakan “Tidak!” pada fenomena universalisasi sebuah peraturan atau norma dengan label tertentu. Sikap ini merupakan bagian dari perjuangan untuk menegakkan keadilan di muka bumi. Universalisasi peraturan dan norma, terlebih jika itu diasumsikan sebagai aturan dan norma dari Tuhan, akan mengkerdilkan manusia dan melahirkan tragedi kemanusiaan.
Tunjung Dhimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar