Jumat, 07 Juli 2017

Hakikat Islam (Sudut Pandang Sufi)

Innad dina 'indallahil islam (Sesungguhnya jalan hidup di sisi Tuhan adalah jalan hidup berserah diri). Ayat Al-Quran di atas menunjukkan bahwa risalah yang dibawa Nabi Muhammad mengapresiasi jalan hidup apa pun asalkan jalan hidup itu mengembangkan sikap berserah diri, hanif, dalam menjalani kehidupan.

Kata “islam” berasal dari bahasa Arab “aslama-yuslimu”, yang bermakna berserah diri. Orang Jawa menamai sikap berserah diri itu dengan istilah sumeleh dan sumarah. Dengan demikian, orang yang secara formal beragama Buddha, Hindu, Konghucu, Kristen, Kejawen, atau apa pun, jika ia menjalani laku berserah diri, sumeleh dan sumarah, ia layak disebut muslim. Muslim bukan sekedar sebutan bagi manusia agama tertentu, namun lebih bermakna pada laku tata dhohir dan tata batin/nafs yang menyatu menjadi alunan rasa kepasrahan total pada Sang Pencipta. Disinilah terjadi alur medan sembah yang utuh.

Sebaliknya, jika orang yang secara formal beragama Islam namun tidak menjalani laku berserah diri, ia tak layak disebut muslim. Menjadi seorang muslim itu sungguh berat. Ia harus senantiasa berusaha membersihkan egonya (tazkiyatun nafs) untuk bisa sepenuhnya berserah diri kepada Sang Urip (Tuhan), karena tiada daya dan upaya selain dengan kehendak Sang Urip (La hawla wala quwwata illa billah). Kesempurnaan Islam bukan sekedar formalitas hukum-hukum agamawi yang mengatur dalam tataran syariatnya saja, namun lebih mendalam pada puncak kemakrifatan yaitu hukum alamiah kesemestaan yang berlaku pakem.

Itulah sebabnya Islam (jalan berserah diri) disebut sebagai rahmatan lil alamin (rahmat bagi alam semesta). Dan jika engkau bertemu dengan orang yang secara formal beragama Islam tetapi mudah sekali mengafirkan orang lain yang tidak sesuai dengan dirinya, maka ia belum layak disebut muslim.

Meskipun di KTP tertera agama Islam, sungguh seharusnya malu untuk mengatakan diri ini muslim. Jadikan kemusliman sebagai cita-cita tertinggi. Seyogianya terus berusaha menjadi muslim, apa pun agama formal yang dimiliki sekarang. Kali ini penulis mencoba mengkaji prespektif Islam pada tata letak menjalani hukum berbangsa dan bernegara. Dalam; Al-Tarmizhi "mengatakan dimana bumi dipijak, Islam mengajarkan untuk mencintai tanah tumpah darah, sesuai budaya dimana manusia dilahirkan dilingkungannya". Tesis tersebut menyatakan Islam layak dikatakan Agama sempurna karena mampu menerima serta memfilterisasi suatu hukum dan paham kehidupan berbangsa bernegara secara holistik. Dimana di negara yang berpaham demokrasi ini Islam melalui pelaku dan pemikirnya melahirkan pondasi Islam yang mampu meng-akulturasi budaya dengan pendekatan sinkretis.

Sinkretisme menurut Neil Amstrong dalam tesis "Perang Suci" adalah pendekatan dengan dialektika budaya,adat, dan kapabilitas setiap individu dalam menangkap pesan dan maksud si penyampai. Sinkretisme diterapkan dengan alur waktu yang panjang menitik fokus pada revolusi perubahan dalam jangka panjang. Ini yang dilakukan tokoh Islam tanah Jawa pada masa itu adalah "Wali Songo".

Tercatat tokoh yang paling menonjol adalah "Kanjeng Sunan Kalijaga" beliau adalah seorang misionaris sejati. Cara berdakwah dan menyampaikan Islam di tanah jawa tidak terkesan kaku. Bahkan menerapkan metode seni budaya setempat dimana tanah dipijak. Cara ini menunjukan hasil yang otentik. Seperti pernyataan Tarmizhi; bahwa Islam mengajarkan cinta tanah air dan budaya kearifan lokal bukan lantas mengubah dan menggantinya secara sepihak demi kepentingan ekspansi; serta mampu meredam bara konflik dan pergeseran paham.

Merangkul seluruh prespektif paham secara spiritualis itu yang dilakukan Sunan Kalijaga. Pada saat runtuhnya majapahit akibat munculnya ekstrimis Islam, Sunan Kalijaga adalah satu-satunya orang yang mampu mengembalikan situasi kondisi pasca kericuhan antara Majapahit dan Demak.

Warisan Sunan Kalijaga

Nabi Muhammad berhadapan dengan banyak sekali jenis manusia semasa hidupnya, dengan tingkat kecerdasan dan spiritual yang berbeda-beda. Ajaran yang beliau sampaikan kepada umat awam tentunya berbeda dengan ajaran yang beliau sampaikan kepada umat khos. Celakanya, ajaran untuk umat khos ini dalam sejarah sering ditindas penguasa. Umat khos inilah yang disebut dengan kaum sufi. Al-Hallaj dan Syekh Siti Jenar pun difatwa sesat. Di tanah Jawa, ajaran yang mula-mula masuk adalah ajaran sufi, sampai kemudian karena kepentingan politik dan yang lainnya kaum sufi seperti Syekh Siti Jenar dan ajarannya pun dihabisi. Beruntung tanah Jawa mempunyai Sunan Kalijaga. Oleh beliau, ajaran-ajaran sufi dihadirkan dalam bentuk seni pertunjukan seperti pagelaran wayang kulit atau tetembangan seperti Lir Ilir (yang secara konten persis dengan kitab Manthiquth Thayr karya sufi besar Fariduddin Attar). Ajaran Sunan Kalijaga di kemudian hari lantas berkembang menjadi Islam Kejawen. Bisa dibilang, tanpa Sunan Kalijaga, Jawa dan Nusantara bisa senasib dengan Afghanistan atau Pakistan.

Hikayat Ajaran Sufi "Kanjeng Sunan Kalijaga"

Karena “keberadaan” pada hakikatnya adalah “ketiadaan”, maka anggapan bahwa dirimu itu “ada” merupakan dosa yang “tak terampuni”. Itulah makna sejati syirik. Sejatine ora ana apa-apa, sing ana kuwi dudu (sesungguhnya tidak ada apa-apa, yang ada itu tiada).

Lalu, apakah semua manusia adalah musyrik, jatuh dalam kesyirikan? Aku tak bisa mengatakannya. Syariat menahanku membicarakannya. Hanya sadarilah bahwasanya engkau tak pernah terpisah dengan apa pun. Engkau tak pernah terpisah dengan Tuhan. Karena la maujuda illallah. Tiada yang maujud selain Tuhan semata.

Dari seluruh uraian diatas penulis memaparkan makna kesufian diluar hukum tertulis sejarah "Musaf dan Kitab Suci". Karena agama tertua adalah "Manusia" kata Osho. Sufi adalah "keheningan" dimana disana hanya ada "kemanunggalan". Antara mikro dan makro antara kitab tertulis dan kitab basah (batin). Keduanya telah melebur menyatu (manunggal).Dalam keheningan, seorang pejalan spiritual sejatinya bisa menerima pesan dan pembelajaran dari Sang Guru Sejati.  Rasa Sejati menangkap vibrasi dari ruang kosong di pusat hati, lalu mengenkripsinya dan menyampaikannya ke otak sehingga sang pejalan bisa mengerti.

Inilah sejatinya Firman, kata-kata yang muncul dari keheningan.  Ketika diungkapkan kembali menggunakan bahasa manusia, tentu saja faktor-faktor manusiawi berpengaruh.Tingkat kecerdasan intelektual, tingkat kemurnian jiwa, menentukan bagaimana Firman yang terucap secara verbal dan ditangkap orang lain.  Sebagian pejalan memilih menuliskannya, dan orang lain membacanya.

Jika sang pejalan benar-benar cerdas dan murni dari berbagai kepentingan egoistik, tentu saja akurasi Firman ini mendekati 100 %.  Jika sebaliknya, akurasinya mendekat ke 0 %.Seorang pejalan yang punya murid, biasanya menyampaikan ajarannya secara verbal yang lalu diingat-diingat atau dicatat para murid.  Tentu saja disini kembali ada proses interpretasi.  Akurasi pesan dari sang pejalan yang ditangkap para murid juga tergantung kecerdasan dan kemurnian jiwa mereka.

Sebuah Kitab Suci, pada akhirnya adalah kumpulan dari berbagai pesan dan catatan dari sang pejalan yang dianggap tercerahkan, sebagaimana terdokumentasi oleh para murid/pengikut.  Proses penyusunan menjadi satu buku yg definitif, tentu saja menjadi peristiwa spiritual, budaya dan politik ekonomi sekaligus.  Dimungkinkan ada dokumen yang disembunyikan atau malah diada-adakan.  Terlebih jika sudah melibatkan institusi agama dan negara.

Ada kalanya sang pejalan juga mendapat pesan tidak dari Guru Sejati tetapi dari Divine Entity seperti Dewa/Dewi dan Angel.  Tapi prosesnya mirip saja dengan pesan dari Sang Guru Sejati.  Begitu juga probabilitas akurasinya.Jadi, apakah Kitab Suci itu pasti benar? Jelas belum tentu.  Ada kemungkinan human error dalam bentuk misinterpretation dan misunderstanding.  Semakin banyak kepentingan egoistik bermain, semakin rendah mutu dan akurasi kitab suci itu.Sebagian teks dalam kitab suci memang punya vibrasi kuat hingga bisa dibaca sebagai mantra, dikidungkan.Sebagian ada juga yang tersusupi energi hipnotik yang membuat pendengarnya jadi zombie. Seperti beberapa ayat pada kitab suci agama tertentu yang justru banyak kontroversial daripada tingkat kebersahajaannya.

Jadi apalah membaca kitab suci pasti membuat Tuhan senang? Ini adalah bentuk ilusi berganda, ilusi tentang Tuhan yang bisa senang/benci, dan ilusi tentang firman itu sendiri.

Sejatinya, setiap pejalan spiritual bisa menangkap pesan sendiri.  Dan jika mau, membuat kitab suci sendiri. Namun saling mengerti jaringan sebab akibat secara sadar. Seperti Sunan Kalijaga yang mampu menampung aspirasi dan mewadahinya dengan sufi. Dengan begitu Islam benar adanya dalam kapasitas setiap pribadi yang ber-Tuhan. Bukan mencipta ilusi Tuhan bahkan ngotot ngebelain Tuhan demi kepentingan tertentu.

Demikian khotbah Jumat hari ini...
Semoga kita senantiasa ber-islam secara sufi bukan pemicu oligarki..

TUNJUNG DHIMAS
07/07/2017

- Kumpulan musaf; bedah Al-Quran; Tarmizhi.

- Perang Suci; Neil Amstrong

- Permenungan Gusti; S.H. Dewantoro.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...