Minggu, 12 November 2017

MEMBABAR SASTRAJENDRA (Seri 2)


Di hening malam, mataku agak capek mengedit laporan tesis, melihat angka-angka statistik yang rumit...
Hasratku ingin berbagi tentang Sastrajendra tiada tertahankan lagi....
Hasratku langsung disambut hujan (beberapa menit saja) ketika jari-jemariku menekan tuts keyboard Personal Computer ku pukul 00:55 (12 Nov 2017) .....
Mungkin karena Daya Kekuatan Kidung Sastrajendra yang luar biasa.
Semoga Hyang Jagad Pratingkah berkenan memberikan ijin Wedaran dan Wewengan Sastrajendra ini, agar bermanfaat bagi sesama.

Yuuk kita mulai...

Dalam Serat Lokapala (Arjunasasrabahu), Raden Ngabehi Sindusastra dan Yasadipura II (keduanya pujangga Keraton Surakarta) memberikan deskripsi secara singkat tentang makna Sastra Jendra. Ulasannya sebagai berikut: 

Sastṛajendṛa Hayuningrat
Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah
pangṛuwat barang sakaliŕ
kapungkuŕ sagung rarasan
ing kawṛuh tan wontên maliḥ
wus kawêngku sastṛadi
pungkas-pungkasaning kawṛuh

[ Sastra jendra hayuningrat
Ilmu rahasia dunia atau alam semesta yang dirahasiakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
sarana pembebas segala petaka
segenap pembicaraan (tentang ilmu) tiada yang menandingi
sudah tidak ada lagi
(karena) sudah tercakup dalam sastra adiluhung
puncak tertinggi dari segala ilmu ]

Ditya diyu rasaksa
myang sato siring wanadṛi
lamun wêruh aŕtine kang sastṛa jendṛa
rinuwat dening bathara
sampuŕna patinireki
atmane woŕ lan manusa

[ (semua jenis) raksasa
serta satwa seisi hutan
jika tahu makna sastra jendra
akan memperoleh pembebasan dewa
sempurnalah kematiannya
rohnya berkumpul (dengan roh) manusia ]

manungsa kang wus linuwiḥ
yen manungsa udani
wor lan dewa patinipun
jawata kang minulya

[ manusia yang utama
yang telah memahami (sastra jendra)
akan berkumpul dengan dewa (setelah) kematiannya
dewa yang mulia ]

Betapa agung makna dari Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebagaimana diuraikan oleh kedua pujangga tadi. Lalu apa sejatinya yang menjadi intisari dari Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu? Siapapun yang mampu memaknai dan mengaplikasikan dalam kehidupan nyata akan mengalami peningkatan kemuliaan dan kesejahteraan hidup! ABR akan mengupas dan membabarnya dari sisi kepraktisan yang sederhana agar mudah dipraktekkan dalam kehidupan nyata.

MAKNA DI BALIK CERITA

Makna dalam lakon wayang  “Babaran Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” diselipkan dalam nama-nama tokoh yang dimainkan. Wisrawa sendiri dapat dimaknai sebagai “wisa sing rowa” (wisa = racun; rowa = liar, beranak pinak, tiada terkendali).  Jadi, Resi Wisrawa menggambarkan kehidupan kita sendiri yang penuh ranjau dan racun, yang bila kita terjebak di dalamnya, kita akan mengalami penderitaan hidup.

Kalau kita amati, banyak kesengsaraan hidup yang ditimbulkan oleh ketidakmampuan kita melepaskan diri dari godaan-godaan racun kehidupan (wisa sing rowa), baik dalam tataran kehidupan pribadi, keluarga atau pun masyarakat. Sebagai contoh:
• Pada tataran pribadi, munculnya kegelapan batin karena dirundung masalah. Di siang hari yang terang benderang pun, mereka yang melanggar hukum alam dan hukum moral kasih merasakan dunia mereka gelap. Misal seseorang yang terdakwa sebagai koruptur mengalami kegelapan batin walau mungkin mereka bergelimang harta. Seorang DPO yang menjadi buronan polisi karena mencuri atau mbegal, mengalami suasana batin yang gelap.
• Pada tataran keluarga, suami-istri bisa cekcok karena “sayur yang terlalu asin, lalu suami ngomel,” “istri mengamuk karena suami pulang terlambat dengan penghasilan pas-pasan” yang membuat rumah tangga menjadi retak dan anak-anak menjadi korban perceraian.
• Pada tataran masyarakat, godaan itu bisa berwujud rasa irihati ketika tetangga membeli mobil baru atau pun si pemilik mobil merasa sombong dengan mobil barunya. Manusia lebih mengutamakan gengsi daripada fungsi. Mengadakan pesta ulang-tahun atau perkawinan anaknya secara berlebihan sehingga membuatnya berhutang banyak.
• Orang atau umat berdebat tentang keyakinan kepercayaan atau agama mereka sehingga menimbulkan perselisihan bahkan pertumpahan darah karena membela keyakinan atau memaksakan keyakinan. Saling menuduh sesat satu sama lain adalah bentuk ketidakmampuan mengendalikan hawa-nafsu! Merasa diri paling benar adalah bentuk kesesatan itu sendiri !

Sementara itu, nama Sukesi sendiri bisa dimaknai sebagai “suko ka’ èksi” (senang dilihat atau suka pamer atau gebyar duniawi).  Inilah gengsi kehidupan. Manusia seringkali lebih mengutamakan gebyar dunia dan suka mendapatkan “pujian wah.” Demi gengsi, memaksa diri membeli mobil mewah di luar kemampuan finansial untuk sekadar menjaga gengsi. Ketika menikahkan anak mungkin bisa menelan biaya Rp 5 milyar untuk sekadar mendapatkan “pujian wah” dari teman-temannya. Itulah yang dimaksudkan dengan Sukesi (“suko ka’ èksi”).

Wisrawa (wisa sing rowa) bila bertemu dengan Sukesi (suko ka’eksi = suka pamer) melahirkan karakter raksasa dalam diri kita, antara lain Rahwana (menggambarkan sikap serakah, ambisius, bengis, dan kejam), Kumbakarna (loba, tamak, malas, suka tidur), dan Sarpha Kenaka (sifat hasrat melankolis asmara). Jelasnya, hawa-nafsu kita semakin liar dan menari-nari seperti api yang dikipas dan ditambah bahan bakarnya.

• Rahwana sendiri menggambarkan nafsu amarah, yang identik dengan SIFAT RAJAS (dari anasir api);
• Kumbakarna sendiri mewakili nafsu alumawah, yang identik dengan SIFAT TAMAS (dari anasir tanah/bhumi);
• Sarpha Kenaka sendiri mewakili nafsu supiyah, yang identik dengan sifat/karakter ASMARA, yang membangkitkan rasa “sengseng” (wuyung) atau keinginan yang menggebu-gebu pada sesuatu hal, yang menjadi “klangenan.”
• Gunawan Wibisana sendiri mewakili nafsu mutmainah, yang identik dengan karakter SATVAM atau SATVIKA, yaitu karakter ke arah kesucian hidup (dari anasir angin).

Dengan menerapkan prinsip “Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dalam hidup kita sehari-hari, kita akan mampu mengatasi racun kehidupan (wisa sing rowa) dan juga godaan gebyar dunia (suko ka’eksi = suka pamer, atau suka gebyar dunia). Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sendiri adalah sarana untuk mengendalikan sifat-sifat raksasa (hawa-nafsu) dalam diri kita. Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah Kawruh Luhur Nusantara yang penuh makna untuk mewujudkan Keselamatan Dunia. Mari kita simak bersama!

Sastra artinya: Tulisan
Jendra berasal dari kata: Harjendra = Harja + Indra. “Raharja” artinya Selamat, “Indra” artinya Raja/Ratu. Jadi “Sastrajendra” artinya adalah Tulisan yang merupakan Rajanya Keselamatan (Tiada lain adalah Hukum Alam itu sendiri). Maksudnya, manusia diharapkan lebih mengutamakan fungsi daripada gengsi. Kalau Anda membeli mobil memang niatnya menggunakannya untuk sarana transportasi, bukan untuk pamer kesombongan atau gengsi. Hukum Alam merupakan Sabda Tuhan yang kekal, universal, dan eksak yang berlaku bagi siapapun. Dengan rajin bertanya, belajar mencari ilmu pengetahuan dan teknologi (tepat guna dan ramah lingkungan) kita artinya semakin banyak menguasai Ilmu Tuhan (Sabda Alam). Betapa banyak kemudahan dan kemurahan yang kita rasakan berkat hasil penemuan para ilmuwan, mulai dari kendaraan, smart phone, Fb yang kita gunakan berkomunikasi ini merupakan sebagian dari kemudahan dari apa yang tergelar sebagai Sastrajendra.

Sastra Jendra dapat diartikan secara lebih luas dan mendalam seperti dinyatakan dalam KIDUNG KASUNYATAN berikut ini :

Kang gumelar ana ngarepmu (Yang digelar dihadapanmu)
Iku rupa kitab  (Berupa kitab)
Rupa crita – bab jagad  (Berupa cerita – tentang dunia)
Bab kowe lan aku  (Tentang kamu dan aku)
Bab kawula lan Gusti  (Tentang Kawula dan Gusti)
Nyawanga  (Lihatlah)
Banyu mili – angine semilir – geni murup   (Air mengalir-angin berhembus-api menyala)
Nyawanga   (Lihatlah)
Abure peksi – kelike wulung  (Terbangnya burung – keliknya atau pekik elang)
Kepake pitik – kluruke sawung   (Kepaknya ayam – kokoknya jago)
Kedhepe kartika – abure mega  (Kedipnya bintang – mega berarak)
Kabeh padha crita nganggo ukarane dewe  (Semua bercerita dengan caranya sendiri)
Tetesing bun kang crita bab gebyaring Baskara  (Tetesnya embun bercerita tentang fajar)
Kabeh kuwi rupa Sastra Jendra  (Semua itu wajah Sastra Jendra)
Yen kowe bisa mangerteni  (Kalau kamu bisa mengerti)
Unining sandhi kang ana swalike gatra  (Bunyi sandi yang ada dibalik gatra)
Rupa basa kang tanpa ukara  (Wajah bahasa tanpa ukara)
Kowe pranyata dipalilahi ngawuningani   (Kamu ternyata diijinkan untuk mengetahui)
Kasunyatan ing Jagad iki. (Realitas di Dunia ini)
Yen sliramu ngunandika bab rasa pangrasa   (Kalau kamu berbicara ttg rasa pangrasa)
Tamtu mbok weca tanpa tembung   (Tentu kamu baca tanpa ucapan)
Awit ing kana ora ana basa   (Karena disana tidak ada bahasa)
bisa gadug mbabarake isi ati   (Bisa menggapai menjelaskan isi hati)
Mangkonoa uga Sang Jagat Nata  (Begitu juga Sang Jagad Nata -Tuhan)
Denya ndedongeng – wewuruk lan wewarah (Bercerita-mengajari dan menjelaskan)
sadhengah rupa – apa bae – sakabehane   (Segala rupa-apa saja-semuanya)
Kawedar ake tanpa ukara   (Dijelaskan tanpa kata)
Awit mênêng kuwi dudu bisu   (Karena diam itu tidak berarti bisu)
Sanadyan ana ing sawiji iji   (Meskipun ada di hanya satu esa)
ning sawenehing pitakonmu  (Terhadap segala pertanyaanmu)
Wus cumepak jawaban ma ewu ewu   (Sudah tersedia beribu-ribu jawaban)
Nanging ora maido yen durung kababar   (Tetapi tidak mencela/membantah kalau belum disingkap atau diwahyukan)
Jer ora sadhengah pawongan gadug mangerteni  (Tidak banyak orang yang bisa mengerti)
Jawaban “nyata ning kalimput”   (Jawaban “benar tapi tersembunyi”)
Kang kinira wadi  (Yang dikira rahasia)

Kidung Kasunyatan di atas menggambarkan Alam yang Tergelar ini adalah Kitab Suci yang hakiki nan abadi, Hukum Alam adalah Tulisannya. Sebagian telah disingkap atau diwahyukan kepada para ilmuwan, termasuk Thomas Alva Edison, yang menerangi dunia dengan bola lampu listrik penemuannya. Selanjutnya akan diulas tentang “Hayuningringat Pangruwating Diyu.”

Hayuningrat berasal dari kata: Rahayu + rat (Keselamatan Dunia).

Pengruwating Diyu berasal dari kata : “Meruwat” adalah mengelola atau membenahi; sedangkan “Diyu” adalah sifat raksasa dalam diri kita. Jadi “Pengruwating Diyu” mengandung makna “meruwat, membenahi atau mengelola KEAKUAN atau EGOISME kita yang berupa hawa nafsu (Diyu)”. Kita tidak dianjurkan MEMBUNUH hawa-nafsu, tapi kita diminta untuk mengelola atau meruwat. Tanpa hawa-nafsu manusia akan mati, karena hawa-nafsu termasuk piranti untuk hidup!

Jika dirangkai secara keseluruhan, artinya adalah:

BARANG SIAPA YANG MAMPU MEMBACA DAN MENANGGAPI HUKUM ALAM (SASTRAJENDRA) MELALUI RAJIN BERTANYA, MENCARI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (TEPAT GUNA & RAMAH LINGKUNGAN) DAN BEKERJA MENGAMALKAN ILMU DAN MEMBAGIKAN HASILNYA UNTUK KEMASLAHATAN BERSAMA (DENGAN MERUWAT EGO MASING-MASING) MAKA DIA TELAH TURUT ANDIL DALAM MEWUJUDKAN KESELAMATAN DUNIA (HAYUNINGRAT). INILAH JALAN UNTUK MENUNDUKKAN SIFAT RAKSASA (DIYU) DALAM DIRI KITA. DIA SUDAH MEMAHAMI MAKNA DAN PENJABARAN “SASTRAJENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU.” HIDUPNYA AKAN MENINGKAT MENJADI LEBIH MULIA DAN LEBIH SEJAHTERA, SEPERTI YANG DIJANJIKAN DALAM KIDUNG DI ATAS. HIDUPNYA AKAN MEMBAWA BANYAK MANFAAT BAGI SESAMA !

SEBERAPA PUN BESAR HAWA-NAFSU ANDA, SEJAUH MASIH DAPAT DIKENDALIKAN OLEH AKAL-BUDI DAN HATI-NURANI, MAKA MASIH AMAN. HAWA NAFSU IBARAT API. BISA ANDA ATUR SESUAI KEBUTUHAN, UNTUK MASAK SAMPAI DENGAN KEBUTUHAN MEMBAKAR BATA. SEBAGAI CONTOH, UNTUK MENGGARAP LADANG 100 HA ANDA MEMBUTUHKAN ENERGI DAN AMBISI YANG KUAT, TAPI SEJAUH HASIL PANENNYA ANDA GUNAKAN UNTUK KEMASLAHATAN BERSAMA, TIDAK AKAN MENJADI MASALAH. MASALAH TIMBUL JIKA HASIL LADANG ITU ANDA KUASAI SENDIRI TANPA MEMPEDULIKAN SESAMA YANG MEMBUTUHKAN, LALU ANDA GUNAKAN UNTUK KESOMBONGAN DAN GENGSI BELAKA !

KEHANCURAN SEBUAH PERADABAN BANGSA SELALU BERKAITAN DENGAN PELANGGARAN SALAH SATU ATAU KEDUA HUKUM UTAMA ITU ! BANGSA YANG KURANG BELAJAR MENJADI BANGSA BODOH DAN MENJADI BULAN-BULANAN BANGSA LAIN. BANGSA YANG MENGUASAI IPTEK NAMUN TIDAK BERMORAL AKAN MENJADI BANGSA TIRANI YANG MENINDAS BANGSA LAIN !

OLEH KARENA ITU, PARA PENDIRI BANGSA TELAH MENGAMANATKAN KITA SEMUA DALAM PEMBUKAAN UUD 45 UNTUK MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA DAN MENJAGA PERDAMAIAN DUNIA, SERTA MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN BAGI RAKYATNYA !  INI SEJALAN DENGAN KIDUNG SASTRAJENDRA !

Salam rahayu sagung dumadi!

Ajaran BUDI Rahayu

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...