Laku tekun dan pola-pola kehidupan setiap waktu dengan seksama saya amati, peranan diri kita selalu berubah-ubah mengikuti siklus semesta yang berotasi. Setiap kali terjatuh. Saya merasa bahwa pijakan saya pada luasnya samudera misteri ini, diakibatkan oleh siklus diri yang terhantam siklus besar semesta. Membuat diri yang belum mengerti realitas menjadi berkabuh dan bertahan dalam luka dan kesedihan. Tak mengapa ini hanya salah satu proses. Kemungkinan besar justru lebih membuka hijab-hijab kemengertian yang masih terbuntu dan inilah jalan belajar dan menempa diri menuju kesempurnaan.
Tataran energi berubah saat kondisi semesta berubah. Semisal saat kondisi cuaca dingin tentunya saya sangat tidak mudah untuk marah. Namun saat cuaca panas ditengah kemacetan jalanan kota, sungguh mudah sekali energi terpicu untuk pecah dan marah. Menggumpal keras di dalam jantung. Ini yang membuat jiwa-jiwa keruh. Dan tubuh menjadi sakit. Namun memang ada seseorang yang tak sadar menanam bibit "kemarahan, kedengkian, sikap iri, dan tamak". Ini saya sebut "sang dermo menungso" dia adalah seseorang yang menanam "bibit pohon iblis". Walau di kasih petuah-petuah apapun dia menolak karena manusiawinya terenggut dari dalam. Bahkan yang lebih mencengangkan dia terkadang menampakan diri sebagai seorang begawan, pinandhita, kyai, pemuka agama, pastor, dll. Pandai bertuah, berceramah, bertutur, namun karakternya keras dan panas.
Kalau saya menyebutnya dalam tokoh fiksi "sang Sengkuni". Sangat berbahaya, dia mempengaruhi pola nalar untuk menyebarkan bibit pohon iblis. Walau tab covernya seorang guru spiritual sekalipun. Perlu kecermatan dalam menganalisanya. Namun bagi mereka yang peka terhadap perasaan. Aura/ energi orang tersebut dapat terasa. Biasanya muncul parasaan yang tidak stabil pada diri kita, misal memicu emosi, kesal, dll. Berada didekatnya tidak nyaman, kita merasa inferiority complex (rendah diri). Wataknya menunjukan sikap disharmonis dan destruktif, tidak dicocoki banyak orang disekeliling. Tanaman yang disentuh perlahan akan mati, binatang pun juga mengalami penurunan disfungsi tubuhnya, anak kecil suka rewel saat didekatinya.
Pohon iblis banyak tumbuh justru pada orang-orang yang genius, pinter, dan cerdik namun cetek pada tataran kebatinan. Perlu adanya sikap terus-menerus mengolah rasa demi menyelaraskan seluruh fungsional sistem hierarki diri. Pohon iblis adalah "ruh sang pengacau" dalam kisah pewayangan dia adalah rahwana, dalam kisah agama samawi dia adalah Azazil sang malaikat surga yang dikutuk. Dalam tataran kesadaran leluhur jawa kawi dia adalah "Sang Dermomenungso", hawa energi buih kotor saat semesta memberadakan materialnya.
Mari kita bermawas diri, manembah dan ngudo rasa (menerima diri apa adanya dan bersyukur), terus bertransformasi menuju sikap eling (kesadaran yang mendalam). Guna menyirnakan bebendu, sengkala, dan goda kencana. Gugurkan pohon pohon iblis (sifat-sifat disharmonis). Jangan berambisi dan mengukur diri menjadi orang lain. Apalagi orang genius. Sebagian orang mungkin iri kepada para genius dan anak-anak yang berbakat, tetapi jika harus bertukar kehidupan, mungkin mereka akan lebih merana karena akan menemukan bahwa orang Genius memiliki kesulitan dan penderitaan mereka sendiri. Mungkin para genius itu iri terhadap mereka yang memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Daripada saling mengiri, seharusnya kita menyadari kenyataan bahwa lahirnya kita saja adalah suatu prestasi yang ajaib.
~ Tunjung Dhimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar