Zaman kontemporer, milenium trasendent. Ketika zaman terus berubah maka waktu dan ruang akan terus berkolaborasi menciptakan pembaharuan dan hiasan untuk semesta (pepaese rerupan). Pekik-pekik pemikiran juga terus di paksa memahami dari dunia sekeliling yang terus ber-regenerasi tanpa bisa disangkal. Wajah manusia multidimensional yang baru, insenminasi, teknologi maha canggih yang dulu dianggap tahayul dibuktikan oleh science, seakan manusia telah mengambil alih tugas Tuhan.
Muncul ilmuan kelas materialistik, paranormal modernisme, ulama milenium, smart phone menjadi maha buku, maha kitab, dan ajang kehidupan mirror kedua. Tulisan wahyu Tuhan dalam pelepah kurma, daun, kitab2 ketikan tak lagi menunjukan taringnya. Para pecandu prasangka terus berpresepsi dalam terkaannya, melakonkan diri sebagai aktor talipan, mahir dalam tutur lemah dalam perangkat lunak (rasa). Kuat karena masa, dan kekuasaan. Wow pesta tirani yang megah telah dimulai, Tuhan tetaplah Tuhan yang pura2 diam dalam pergerakan para ciptaannya (manusia). Namun inilah esensi hidup terus bergerak dan berubah begitu bengis kata para filsuf.
Ujung magnet positif negatif terus berkecamuk. Tidak ada yang salah ketika saling cibir mencibir, saling kritik mengkritik, saling hujat menghujat ini adalah bagian dari parade pesta modernisme. Namun semua itu ada kelebihan dan kekurangannya dalam buir pengkualitasan. Seperti smartphone, para ulama, paranormal, ilmuwan, produksi masa lalu lebih memiliki kehandalan dan kekuatan dalam menerima terpaan dunia sekeliling walau tak sebegitu canggih.
Sementara ulama, ilmuwan, paranormal produksi era milenium modernisme (sekarang) cerdas dan canggih namun lemah ketika dunia sekeliling terus mencopa menerpanya. Ini hanya perbandingan itinya tidak salah dan perlu dipermasalahkan selama kita menyadari bahwa ini adalah realitas, namun tidak begitu indah bilamana tidak ada kritik mengkritik banding membandingkan, kata mereka pemuja ke-ego-an !!!.
Pabrik-pabrik pencetak ulama, imuwan, dan paranormal tidak pernah terbatasi dan terhentikan entah jadinya palsu dan asli, baik - buruk, handal-tidak, no problem, selama seseorang mampu menerima semuanya apa adanya, tak perlu mengkritik jika dilandasi iri dan kebencian, tak perlu mencibir bila merasa kurang di-existkan, tak perlu konflik jika tidak mencintai kedamaian. Sudahlah mari kita berjibaku memanusiakan manusia mulai dari diri sendiri, semua label atribut diatas tak ada gunanya selain untuk kemanusiaan, apalagi sering membawa nama Tuhan untuk justifikasinya....
Tunjung Dhimas
Muncul ilmuan kelas materialistik, paranormal modernisme, ulama milenium, smart phone menjadi maha buku, maha kitab, dan ajang kehidupan mirror kedua. Tulisan wahyu Tuhan dalam pelepah kurma, daun, kitab2 ketikan tak lagi menunjukan taringnya. Para pecandu prasangka terus berpresepsi dalam terkaannya, melakonkan diri sebagai aktor talipan, mahir dalam tutur lemah dalam perangkat lunak (rasa). Kuat karena masa, dan kekuasaan. Wow pesta tirani yang megah telah dimulai, Tuhan tetaplah Tuhan yang pura2 diam dalam pergerakan para ciptaannya (manusia). Namun inilah esensi hidup terus bergerak dan berubah begitu bengis kata para filsuf.
Ujung magnet positif negatif terus berkecamuk. Tidak ada yang salah ketika saling cibir mencibir, saling kritik mengkritik, saling hujat menghujat ini adalah bagian dari parade pesta modernisme. Namun semua itu ada kelebihan dan kekurangannya dalam buir pengkualitasan. Seperti smartphone, para ulama, paranormal, ilmuwan, produksi masa lalu lebih memiliki kehandalan dan kekuatan dalam menerima terpaan dunia sekeliling walau tak sebegitu canggih.
Sementara ulama, ilmuwan, paranormal produksi era milenium modernisme (sekarang) cerdas dan canggih namun lemah ketika dunia sekeliling terus mencopa menerpanya. Ini hanya perbandingan itinya tidak salah dan perlu dipermasalahkan selama kita menyadari bahwa ini adalah realitas, namun tidak begitu indah bilamana tidak ada kritik mengkritik banding membandingkan, kata mereka pemuja ke-ego-an !!!.
Pabrik-pabrik pencetak ulama, imuwan, dan paranormal tidak pernah terbatasi dan terhentikan entah jadinya palsu dan asli, baik - buruk, handal-tidak, no problem, selama seseorang mampu menerima semuanya apa adanya, tak perlu mengkritik jika dilandasi iri dan kebencian, tak perlu mencibir bila merasa kurang di-existkan, tak perlu konflik jika tidak mencintai kedamaian. Sudahlah mari kita berjibaku memanusiakan manusia mulai dari diri sendiri, semua label atribut diatas tak ada gunanya selain untuk kemanusiaan, apalagi sering membawa nama Tuhan untuk justifikasinya....
Tunjung Dhimas
ninggalke jejak
BalasHapus