Aku tak pernah memperkosa ilmu pengetahuan untuk kujadikan alat mengubah setiap orang yang berdiskusi denganku, karena setiap mereka adalah bagian daripada "ilmu-ilmu pengetahuan" itu sendiri, bagiku pertemanan dan persahabatan adalah bentuk lain dari kemanusiaan, keinginanku membuat perubahan tidak lantas mengubah dari setiap mereka.
Namun melepaskan dia dari status-status sosial yang mungkin mereka dapat dari pola pendidikan yang keliru yang berawal dari embrio "materialistik" bukan pemakanaan akan bagaimana mereka melaju dengan berbagai komposisi kimiawi dan fishikanya sendiri yang terterakan "karakteristik dasar" /bakat / cetak birunya sendiri.
Seorang kawanku bertanya padaku "kenapa engkau terlihat begitu mahir didunia tulis, verbal linguistik, filsafat, dan syair, engkau selalu mendapat peringkat dan mampu menarik ketika engkau berbicara dalam sebuah perkumpulan sosial". Aku menjawab "karena itulah bagianku aku mencintai filsafat, syair, dan dunia tulis karena aku merasa nyaman disitu".
Dulu semenjak kuliah aku sering tidak mendapat apapun kecuali sistem-sistem yang memaksaku untuk melakukan progresitas bahwa "nilai adalah satuan ukur dalam sebuah kompetisi, mereka hanya memahami kerangka berfikir bahwa hidup adalah persaingan siapa yang tak menyerang, bertahan, atau melawan mereka akan tersingkirkan. Inilah yang melahirkan masalah kasta dan status sosial, ini juga yang memicu sara dan distorsi kemanusiaan. Namun aku mulai menentang dan menampiknya setelah aku menemukan upgrade mindset baru tentang pemahaman bahwa hidup adalah menyadari, menerima, berbagi untuk sesama, laju karir bukan ditentukan dari apa yang disebut "nilai materialistik" tapi berjuang adalah menyikapi suatu hal dengan tepat guna mungkin bisa disederhanakan dengan ungkapan dengan "dengan memberi kita akan menerima, dengan berbagi kita bersahaja, dengan ketulusan kita berdamai".
Selama menempuh jalur pendidikan selalu memicu tekanan pemikiran yang menciut dan emosional seperti " ketika hasil ujian diumumkan dipapan pengumuman tertulis predikat rendah dan tinggi, disitu saya menjadi canggung ketika sahabat mendapat predikat rendah saya merasa kecewa dan ketika sahabat mendapat predikat tinggi saya lebih kecewa lagi hahh... Ini lah kerangka berfikir materilalistik yang membuat saya resah, bukankah tak perlu mencantumkan "predikat interval nilai2 itu" bukankah kelemahan seseorang itu tak perlu ditampilkan di kalayak umum" karena ini bukan ajang sosial donor darah". Lalu semester-semester berikutnya saya mencoba mencari kerangka pemahaman yang baru dari diri saya, berani keluar dari tekanan konsepsi-konsepsi dan berani menjadi beda dengan tuak bacaan-bacaan baru walau buku adalah kesatuan validitas namun aku tak suka text book lebih suka memahami lalu menyimpulkan dengan bahasa lugas yang luas dengan simpul pemahaman berdasarkan benang merahku sendiri. Berfikir adalah lambang kemanusiaan kata Roodin. Jadi terus berfikir adalah jalan mencari permenungan benang merah hingga melingkar di medan rasa yang melampaui apa itu "pemikiran dan berfikir".
Bayangkan apa jadinya bila Jet lee dipaksa menjadi seorang "penyanyi" tentu ini lah penyangkalan yang menimbulkan kesengsaraan. Mungkin saya lebih bahagia dengan mobil kecil klasik, rumah sederhana, motor tua, dan istri, yang kudapatkan dari hasil karya-karya cetak biruku, daripada mengejar status sosial dengan cara yang instan (nilai materialistik) yang melahirkan belenggu hasrat yang serba kurang terus menerus secara materi. Memicu disharmonis korupsi, pengubahan sistem birokrasi yg berbelit-belit demi kepentingan pribadi. Tapi no problem itu pilihan kalian ...,??
Tunjung Dhimas
ninggalke jejak
BalasHapus