Air jernih, itu kalau dikasih brand pasti ternilai, tapi kalau tidak dikasih brand akan hanya sekedarnya saja, seperti layaknya air mineral yang berlabel merk ternama dan air mineral yang hanya dimasukan pada wadah tertentu tentunya walau sama-sama air mineral, akan memiliki nilai dan bobot yang berbeda. Begitulah dengan manusia unsur jernih dari manusia adalah roh dan nafas jika komponen itu dikasih brand dengan label "Tuhan/Allah" niscaya unsur tersebut akan membukus daripada unsur lain hingga covernya menjadi ternilai dan berbobot.
Begitulah hendaknya manusia menyatakan dirinya dengan menyambungkan diri dengan Sang Pemilik Roh dan nafasnya dalam bentuk "iman/kesadaran/hadirat". Niscaya akan membuat dirinya memiliki kualitas pribadi yang cemerlang, karena "iman/kesadaran/hadirat" yang akan membuatnya selamat dan selaras dalam hidupnya. Beriman adalah cara membrandedkan pribadi, pada pemilik-Nya.
Manusia terdiri dari beberapa unsur yang membentuk komponennya, walau dalam kadar dan takaran yang berbeda namun memiliki esensi yang sama seperti layaknya air mineral tadi. Dan mereka berhak memilih atas pemberdayaan akan setiap pribadinya. Dengan menyambungkan diri dengan "Tuhan" mereka memiliki brand yang ternilai, cemerlang, berbobot, selaras dalam hidupnya. Selain air mineral manusia layaknya seperti plastik, plastik akan dianggap ternilai ketika di dalamnya terdapat "isi dari suatu produk, termasuk air mineral, produk pangan dll". Namun ketika isinya sudah hilang atau habis maka plastik akan terbuang begitu saja, sampai ada yang mendaurnya.
Lalu manusia berhak memilih menjadi cemerlang, selamat, selaras, dengan brand "kesadaran/iman/hadirat" terkoneksi dalam "Tuhan" atau hanya sekedarnya saja hidup pesimis, terhancurkan oleh ilusi duniawi (material), lalu ketika tubuhnya sudah tak terisi roh dan nafas layaknya seperti plastik yang terbuang begitu saja, sampai ada yang mendaurnya.
Beriman pada Tuhan bukan hanya sekedar terikat, mengikuti dogma dan doktrin produk-produk agama, keyakinan, kepercayaan tertentu. Namun menggali dan menyelami esensi dari setiap produk-produk tersebut hingga menemukan jalur yang tepat dalam menyambungkan diri pada Sang PemilikNya. Disitulah "iman/kesadaran/hadirat" akan terbentuk tanpa terbatasi produk-produk terikat yang membatasi daripada Tuhan itu sendiri. Mengkoneksikan diri dengan Tuhan adalah selalu mengingat (eling, sadar, mengerti) akan "bersenyawa dan mempribadinya Tuhan dalam setiap prespektif kehidupan atas diri kita, karena kita adalah rupa dan gambar dari Sang Tuhan itu sendiri" . Bahkan dari sini para auliak menyatakan sebagai "dzikir" atau eling, dzikir tidak lantas hanya menyebut dalam ucapan dalam setiap rentan waktu, namun hakikat dzikir adalah menyatukan antara raga, jiwa, rasa, dan ruh dengan saling berkesinambungan dan melahirkan kepekaan dalam bentuk suara hati, pengertian, dan pemahaman dalam menangkap pesan-pesan yang diterakan Tuhan disetiap lapisan kehidupan atas setiap pribadi. Dengan begitu manusia mengenal kapasitas, talenta, karakter, dirinya yang selaras dengan pelukisNya (Tuhan) dan hidupun akan ternilai, cemerlang, dan selaras.
Dari keseluruhan itu adalah berpusat pada progresivitas penataan hati dimana hati sebagai lokus abstrak sekaligus kasunyatan (nyata). Pusat esensi, kendali, dan hierarki ke-utuhan. Hati yang damai, selaras, utuh, dikarenakan memprioritaskan "Tuhan" dalam segala prespektif kehidupan, menguasai seluruh kesadaran akan Ia. Bahkan, disitulah agamawan, ahli ibadah, dan ahli surga terlampaui, karena produk-produk yang mengikat dan melekati tak mampu mengurai makna dari "Iman/kesadaran/hadirat".
Bahkan 6666 ayat, 114 surat, 30 juz yang mengantarkanku pada Sang Maha Hidup, tak mampu membatasi luasnya jagad "kesadaran" dalam diri manusia terhadap hierarki Tuhan.
Hingga pemegang wahyu tersebut, sang baginda Rassulluloh, tak mampu menjelaskan secara rahasia sang Allah dan memilih ber-tauhid, ber-taaruf, dan bertafakur, dalam pertapaannya di "Gua Suwung" untuk mengurai pertanggungjawaban atas pewahyuan yang maha dahsyat atas diri-Nya. Karena beliau sadar secara penuh bahwa dunia ini "pepaese rerupan/ plin-plan" penuh ilusi, tipu daya, kemerlapan, penggoda, magnetifikasi, berubah-ubah, menghancurkan, mengotori, membingungkan, bahkan petunjuk-petunjuk yang beliau tulis dan ilhami dapat dirampas oleh kejamnya daripada dunia ini karena hukum kekelan yang tidak pernah depahami dengan pasti. Hanya iman yang menyelamatkan bahkan iman tersebut tidak mampu menggarasi atas kosa kata ejaannya sendiri.
By : Tunjung Dhimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar