Ah siapa bilang kebaikan itu tidak dilaksanakan atas nama nafsu. Siapa bilang bahwa nafsu itu selalu jauh-jauh dari kebaikan. Buktinya toh ada yang namanya nafsu kebaikan. Yaitu nafsu untuk berbuat baik. Nafsu untuk terus-menerus berbuat baik dan harus berbuat baik. Sampai pada akhirnya terjerumus pada paradigma bahwa hidup itu harus selalu berbuat baik. Lupa bahwasanya Tuhan menciptakan dua hal yang selalu berdampingan yaitu baik dan buruk, terang dan kegelapan. Lupa bahwa esensi menjalani kehidupan itu adalah untuk memperindah dunia. Itulah kenapa manusia jadi Khalifah di bumi. Itulah kenapa keyakinan dalam berTuhan itu selalu bermuara pada segala perilaku yang rahmatallil'alamin.
Sekarang pertanyaannya adalah jika kebaikanmu itu diselubungi nafsu lalu apakabar nilainya? Apakabar esensi hidup berkeTuhananmu? Jika berkeTuhanan hanya untuk mempersempit pandangan bahwa yang ini benar dan yang itu salah maka anak TK pun bisa membedakan bahwa ini gelap dan ini terang. Jika berkeTuhanan namun dengan nafsu kebaikan maka sudah dijamin bahwa tidak akan bisa membawa maslahat bagi umat lebih-lebih mau jadi rahmatallil'alamin. Ibarat orang berpendidikan idealnya adalah semakin tinggi pendidikannya maka ia akan semakin terbuka pandangannya, makin bijaksana. Lalu buat apa jika makin dalam berkeTuhanan namun terjerumus pada sudut pandang yang makin menyempit? Tidakkah seharusnya semakin faham dan semakin dalam ilmu itu akan dapat diaplikasikan ke berbagai macam hal? Menjadi fleksibel, mampu mengayomi dan menjadi rahmatallil'alamin tadi?
Bukankah seorang sarjana kuliner yang faham akan seluk beluk pangan dan citarasa masakan Nusantara akan mampu mengembangkan produk untuk lebih berdaya guna? Mengembangkan berbagai inovasi agar dapat bermanfaat bagi khalayak ramai? Bukan lantas membatasi bahwa Ayam Gegape itu hanya untuk makanan orang Makasar dan bukan untuk orang diluar Makasar. Harusnya sarjana kuliner itu mampu mengolah Ayam Gegape dengan berbagai inovasi agar juga bisa diterima di lidah orang lain diluar orang Makasar. Itu baru namanya rahmatallil'almin.
Sepertiitulah harusnya berkeTuhanan. Tidak lagi dengan satu pandangan yang lantas mempersempit pemikiran. Karena semakin berketuhanan harusnya bisa makin bijak, makin mengembangkan pemahamannya dalam kebaikan bukan malah terjerat nafsu dibalik kebaikan. Bahwasanya semua bisa berjalan dengan harmonis, luwes dan bijaksana. Kecuali kalau memang nafsu kebaikan yang jadi tumpuan pemahaman dalam kehidupan berkeTuhanan.
Surabaya, 22 Januari 2018
~ Saila Atmaredja
Tidak ada komentar:
Posting Komentar