"Kabeh mau mung ngenteni "saat/waktu" iku lungguh sak tibo alange, saat nalikane dadi peteng utawa padang, marga mangelingi yen titah iku kedunungan sifat keliru lan bener ing antaraning segoro minang kolbu". (Sunan Bonang) suluk dikutip ; R.M. Imam Koesoepangat (Guru Besar Organisasi Persaudaraan Setia Hati Terate).
Tidak ada perihal yang mengacu pada satu titik dimana kebenaran itu berhenti mutlak selama manusia menjadi mahluk sosial. Berpikir adalah ciri khas yang dimiliki homo sapiens ini. Seakan manusia menjadi mahluk yang menjadi Wakil Tuhan dengan organ spesial yang dimilikinya tersebut yaitu otak. Beberapa sel dalam otak yang menampung segala proyeksi semesta kemudian di jadikan pesan yang dituangkan menjadi ilmu pengetahuan.
Kemudian perangkat kedua yang lebih spesial adalah lokus "qolbu" atau hati yang berada di pineal gland, yang merupakan saluran dimana proses kelistrikan canggih teknologi semesta di upgrade-kan pada diri manusia. Dimana lokus ini memiliki kemampuan untuk menangkap segala keseluruhan semesta meliputi wilayah pararel yang lebih kompleks Dan luas hingga melampaui batas linieritas yang dimiliki di otak. Menurut Maclin (2008) Otak hanya mampu menangkap data dari daya cerap panca inderawi semata, sementara panca inderawi sendiri memiliki tingkat error lebih tinggi, yang dipengaruhi lingkungan (gravitasi bumi). Misal telinga dan mata memiliki ketajaman pendengaran dan penglihatan dari beberapa jarak tertentu saja.
Disinilah yang membuat silang sengkarut sistem semesta yang dikelola manusia sebagai semesta kecil. Otak lah yang menjadi tedensi atas segala resiko dalam perjalanan kehidupan manusia termasuk resiko terburuk sekalipun. Otak memiliki result yaitu pikiran, pikiran turut mengambil alih hampir Dari keseluruhan mekanisme mekanika/ gerak pada tubuh manusia. Pikiran adalah Medan perang, pikiran merusak sistem linier manusia melalui lingkungan (Meyer, 2004).
Pikiran yang melahirkan peperangan (konflik). Kekeliruan yang mendasari pikiran adalah mekanisme sistem semesta yang memisahkan antara gelap-terang, benar-salah, baik-buruk, dan segala bentuk dualisme. Sunaryo menyatakan bahwa "pola pikir yang akan menentukan hidup manusia akan berjalan mudah atau sulit". Kemudian disempurnakan oleh Sigmund Freud " mindset seseorang menjadi penentu awal apakah mereka mampu mengarungi kehidupan dengan berat atau mudah". Mungkin ini alasan mengapa sebagian wilayah agama menjelaskan bahwa takdir manusia bisa berubah kala dirinya sendiri berusaha untuk merubahnya. Penulis mengansumsikan bahwa takdir itu adalah tampungan pola pikir manusia yang beragam jenis bentuknya.
Sub- sub kebenaran yang menjadi pengetahuan merupakan result dari "pemahaman" manusia yang mampu mengurai segala bentuk-bentuk ketiadaan-keberadaan menjadi konsep-konsep pemikiran yang melahirkan teori implisit. Namun tetap saja memiliki kelemahannya sendiri karena sistem alam terus bergerak. Tetap saja melahirkan aksi-reaksi; sebab-akibat. Jika ada diantara mereka manusia menjadi tokoh diatas dan menemukan kesuksesannya pasti ada pengkritisinya yang selalu berlawanan. Disaat sedang meninggi tentunya sub-dibawahnya akan menariknya ke bawah sebagaimana hukum gravitasi bekerja. Namun inilah keseimbangan sistem semesta yang nyata adanya.
Dalam kajian filsafati, ilmu filsafat mencoba menampung keberagaman manusia menjadi beberapa jenis berdasarkan watak-karakter manusia sesuai anagram (Sigmund Freud, Ibnu Sina, dan Aristoteles dalam; Rusli Lutan).
Sebagai berikut:
Manusia Sebagai Homo Educandum
Manusia adalah makhluk yang memerlukan pendidikan atau “homo educandum “. Manusia dipandang sebagai homo educandum yaitu makhluk yang harus dididik, oleh karena menurut aspek ini nanusia dikategorikan sebagai “animal educabil ” yang sebangsa binatang yang dapat dididik, sedangkan binatang selain manusia hanya dapat dilakukan dressur (latihan) sehingga dapat mengerjakan sesuatu yang sifatnya statis (tidak berubah).
Perlunya manusia untuk dididik menurut saya terlebih dahulu harus dilihat dari dua segi aspek pendidikan sebagai berikut: “Pertama dari segi pandangan masyarakat dan kedua dari segi pandangan individu. Dari segi pandangan masyarakat pendidikan berarti pewarisan kebudayaan dari generasi tua kepada generasi muda, agar hidup masyarakat itu tetap berkelanjutan. Atau dengan kata lain, masyarakat mempunyai nilai-nilai budaya yang ingin disalurkan dari generasi ke generasi agar identitas masyarakat tersebut tetap terpelihara”. Dari segi pandangan individu, pendidikan berarti pengembangan potensi-potensi yang terpendam dan tersembunyi. Seperti potensi akal, potensi berbahasa, potensi agama dan sebagainya. Potensi-potensi tersebut harus diusahakan dan dikembangkan agar dapat dipergunakan dengan sebaik-baiknya.
Dilihat dari kedua sudut pandangan tersebut di atas, maka manusia perlu sekali diberi pendidikan, karena tanpa pendidikan pewarisan kebudayaan dan pengembangan potensi manusia tak dapat dilakukan dengan sepenuhnya. Di dalam kitab suci Al-qur’an manusia disebut sebagai ahsanu taqwim, yang berarti sebaik-baik bentuk, dan diantara makhluk Tuhan memang manusialah yang paling baik kejadiannya. Terutama yang paling penting bagi manusia yang membedakannya dengan binatang adalah bahwa manusia mempunyai akal.
Berpikir merupakan suatu potensi vital yang dimiliki manusia. Manusia sebagai homo sapien, Animal Symbolicum, Animal Rationale, dan sebagai Hayawatunatiq. Potensi manusia yang dibawa sejak lahir adalah “akal” yang menjadi dasar pokok bagi pengembangan “Needs for Achievement”.
Contohnya: para ahli psikologi menafsirkan bahwa tingkah laku menangis sang bayi pada saat lahir dan dilahirkan ke bumi ini dihubungkan dengan potensi akal dan arah pengembangan. Contoh lainnya; setiap waktu kita mengerjakan kewajiban seperti shalat lima waktu tapi justru shalat itu, belum mampu membendung tingkah laku seseorang untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan a moral atau perbuatan yang melanggar aturan Tuhan. Sehingga nilai shalat tadi yang dikerjakan tidak lebih dari praktek ritual semata. Prilaku manusia yang berakal hilang dengan pengaruh nafsu, nafsu lebih menguasai akal manusia, yang seharusnya akal mengontrol nafsu itu.
Manusia sebagai HOMO SAPIENS :
Homo SAPIENS adalah mahluk yang berpikir sehingga merupakan mahluk yang cerdas dan bijaksana. Dengan daya pikirnya manusia dapat berpikir apakah yang sebaiknya dilakukan pada masa sekarang atau masa yang akan datang berdasar kan pertimbangan masa lalu yang merupakan pengalaman. Pemikiran yang sifatnya abstrak merupakan salah satu wujud budaya manusia yang kemudian diikuti wujud budaya lain, berupa tindakan atau perilaku, ataupun kemampuan mengerjakan suatu tindakan.
Manusia sebagiai HOMO SOCIUS:
Manusia sebagai HOMO SOCIUS artinya manusia dapat hidup bermasyarakat, bukan bergerombol seperti binatang yang hanya mengenal hukum rimba, yaitu yang kuat yang berkuasa. Manusia bermasyarakat diatur dengan tata tertib demi kepentingan bersama. Dalam masyarakat manusia terjadi tindakan tolong-menolong. Dengan tindakan itu, walaupun fisiknya relatif lemah, tetapi dengan kemampuan nalar yang panjang tujuan-tujuan bermasyarakat dapat dicapai. Jadi pengertian Homo Homini Socio adalah Manusia sebagai makhluk sosial. Adapun ilmu yang mempelajari manusia sebagai makhluk yang mempunyai naluri untuk senantiasa hidup bersama sesamanya dinamakan ilmu sosiologi.
Manusia sebagai HOMO RELIGIUS
Artinya manusia menyadari adanya kekauatan ghaib yang memiliki kemampuan lebih hebat daripada kemampuan manusia, sehingga menjadikan manusia berkepercayaan atau beragama. Dalam tahap awal lahir animisme, dinamisme, dan totenisme yang sekarang dikategorikan sebagai kepercayaan, kadang-kadang dikatakan sebagai agama alami. Kemusian lahirlah kepercayaan yang disebut sebagai agama samawi yang percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, percaya kepada nabiNya, dan kitab suciNya yang dipergunakan sebagai pedoman.
Manusia sebagai HOMO HUMANUS dan HOMO AESTETICUS:
Artinya manusia berbudaya, sedangkan homo aesteticus artinya manusia yang tahu akan keindahan. Dari perbedaan-perbedaan yang sedemikian banyak makin nyata bahwa manusia memang memilki sifat-sifat yang unik yang jauh berbeda dari pada hewan apalagi tumbuhan. Sehingga manusia tidak dapat disamakan dengan binatang atau tumbuhan.
Dalam manusia curiosity (rasa ingin tahu) tidak idle, karena pikiran manusia berkembang dari waktu kewaktu rasa ingin tahunya atau pengetahuannya selalu bertambah sehingga terjadi timbunan pengetahuan . Jadi pengetahuannya tidak idle, sedemikian rupa terjadilah perkembangan akal manusia sehingga justru daya pikirnya lebih berperan dari pada fisiknya. Dengan akal tersebut manusia memenuhi tujuan hidupnya disamping untuk melestarikan hidup untuk memenuhi kepuasan hidup serta juga untuk mencapai cita-cita.
Manusia selalu ingin tahu dalam hal apa sesungguhnya yang ada (know what), bagaimana sesuatu terjadi (know how), dan mengapa demikian (know why) terhadap segala hal. Orang tidak puas apabila yang ingin diketahui tidak terjawab. Keingintahuan manusia tidak terbatas pada keadaan diri manusia sendiri atau keadaan sekelilingnya, tetapi terhadap semua hal yang ada di alam fana ini bahkan terhadap hal-hal yang ghaib.
Manusia sebagai Homo Homini Lupus
Manusia itu serigala bagi manusia lain yang dimaksud dengan Homo Homini Lupus, dalam arti luas manusia orang lain dianggap bukan sesamanya atau sahabatnya melainkan musuhnya. Contoh seperti maraknya penculikan, pembunuhan, mutilasi, premanisme yang mewabah, pencurian maupun tindak kejahatan lainnya dinegara kita ini. Hal tersebut mencerminkan manusia sewaktu-waktu dapat berubah menjadi buas seperti serigala jika dalam dirinya terdapat rasa tidak puas, iri, benci dengan manusia lainnya dikarnakan manusia tersebut malas dan tidak mau berusaha untuk sesuatu yang ia inginkan. Dalam hal ini manusia melakukan tersebut juga karna ambisi dan hawa nafsu yang tidak dilandasi dengan aturan hidup yang benar, sehingga mereka melakukan tindakan yang tidak seharusnya dilakukan dalam bermasyarakat. Kembali pada lokus "hati-sanubari" ia yang menjalankan peran sebagai pengatur Dan pengontrol otak. Otak menjadi pemimpin dalam mekanisme ketubuhan bergerak manusia dengan produk result pikiran. Namun "hati-sanubari" lebih memiliki peran kompleks Dari keseluruhan aktivitas kehidupan pribadi, selain jadi pengontrol, pengatur, ia sebagai penasehat serta penanggung jawab atas segala kosekuen otak-pikiran. Dengan perangkat rasa sejati dan sistem spirit hati sanubari membuat segalanya tertampung menjadi satu. Menyimpan pesan kebenaran mutlak yang menjadi pohon kebenaran yang berbuah sub-sub kebenaran. Penulis membuat kerangka teori tentang Sub-Kebenaran yang menghasilkan beberapa produk result pemikiran manusia diantaranya; Standart moral, etika, estetika, religious, adat-berbudaya, dan pengetauan (science). => Sub-kebenaran di level 1. Kemudian produk-produk tersebut dianalisa lebih kompleks dengan pemantapan pemikiran yang lebih terbuka, pemahaman, penghayatan, permenungan melibatkan pikiran dan hati sanubari yang memandang kekeliruan dan ketepatan itu sama, tidak memihak "bahwa sistem semesta tetaplah sistem yang bergerak sesuai jalurnya" tak ada yang turut andil ego manusia di dalamnya. Yang menghasilkan produk spiritual terarah, tepat guna, sesuai pengkondisian dan kapasitasnya masing-masing. (Tunjung Dhimas, 2017).
Pohon kebenaran adalah kebenaran mutlak tidak memihak memiliki perangkat yang dimeta-subkan menjadi kasih dan cinta. Yang melahirkan perdamaian dan kedamaian. Bertubuh kebijaksanaan dan kebersahajaan. Pohon kebenaran mampu hanya bisa di raba dengan sinkronitas pikiran yang menduduki wilayah, logika dan penalaran yang kongkrit serta adekuat, serta hati-sanubari yang menduduki wilayah spirit, permenungan, penghayatan dari keseluruhan bentuk-bentuk rangka dan suasana jagad gumelar. (Tunjung Dhimas, 2017).
Penulis mencoba mencari titik temu antara berbagai bentuk-bentuk konsep teoritis, terstruktur yang menjadi pohon dasar intelektualitas dan teori yang didasari pengalaman dan pengamalan mandiri pribadi diluar meta-akademis. Dan merumuskan bahwa sub-kebenaran dimunculkan dari segala bentuk pemikiran manusia dalam satu dekade yang kemungkinan bisa absurd digilas gulungan ruang-waktu. Sub-kebenaran diperluas dengan proses pengalaman pribadi dan pengamalan dari warisan leluhur sebelumnya Dari sebuah manuskrip/ kitab/ teks tertentu. Dan menarik konklusi bahwa untuk mencapai kebenaran mutlak atau pohon kebenaran secara teori sebagai berikut: karakter DNA + proses pembentukan kepribadian dan kecerdasan Dari lingkungan menghasilkan "Pemahaman dan pendewasaan". Teori mutasi 1. Kemudian di turunkan; pemikiran + sains (penemuan) = moral ; moral + keyakinan = religi, mengarah pada persetujuan dan mufakat bersama. Dalam bidang eksata 1+1 = 2 adalah persetujuan dan mufakat. Disini sub-kebenaran lahir menjadi kebutuhan kohern manusia bersosial (bersama). Jadi kepastian masih bisa digeser.
Teori mutasi 2, DNA + Pendidikan + pengalaman+ pengamalan+ penghayatan+ permenungan+ ketekunan mengelola keyakinan yang terus bergerak dalam implementasi pemahaman atas penemuan-penemuan pesan semesta = mendekati kebenaran mutlak / pohon kebenaran. Kazanah pengayaan ini bersifat pribadi tidak bersama-sama. Jadi sebagai pribadi sebenarnya manusia sudah di takar kepribadiannya oleh sang Maha Mempribadi. Dan penulis berhenti sampai disini, karena ingat keterbatasan penulis sebagai pribadi, dan menyadari bahwa yang mempribadi telah merawat, meruwat, menumpah pada rumah-Nya yaitu kita manusia. Dan mengijinkan setiap daripada rumah tersebut menemukan kecemerlangan desainnya dengan pola-polanya sendiri yang maha tanpa batas.
Jadi kita hanya bisa menjadi pengatur atas diri kita sendiri, bila bersyukur itu nikmat kenapa tidak? Jika semua kita telah mengerti kapan peran diturunkan pada kita, kapan gelap-terang hadir dalam kita, kenapa justru membuat kita cemas dan kawatir. Tak ada yang mutlak selama kita hidup, yang mutlak adalah "Sang Kehidupa n" itu sendiri. Biarkan semua peran menghapiri kita, cemas, rindu, hancur, duka, dan lain sebagainya. Tetap konsisten pada pesan yang kita dapatkan dari pola perjalanan hidup kita masing-masing. Untuk hamemayu hayuning bawono. Dengan kesadaran kita masing-masing. Dalam tubuh jasad hidup aku manusia bersosial butuh makan untuk hidup, butuh teman untuk berjalan, butuh Tuhan untuk sandaran. Dalam tubuh kehidupan spirit aku mempribadi dengan ke-utuh-an, datang dalam jagad gumelar kehidupan sendiri, pulang pada kematianpun akan sendiri-sendiri. Dalam jasad hidup bersama kita hanya boleh saling mengantarkan pada gerbang kehidupan dan kematian dengan berbagai macam pengajaran kaweruh dan pengalaman masing-masing. Sisanya kita tempuh sendiri-sendiri secara pribadi. Setelah pintu gerbang itu kita temukan dengan laku. Dan itulah penyaksianku dan penyaksianmu. Sampailah kita pada lembah serupa tapi tak sama, berbeda tetap satu jua. Kembali pada sangkan paran.
.....…...........................................................
Manusia adalah mahluk yang terbatas pada sub-kebenaran, yang berada antara milyaran kebenaran yang menyamudera dalam kehidupan yang digelar.
~ Tunjung Dhimas
.…....….........................................................
(Tunjung Dhimas Bintoro)
Sumber:
Darsono, J. 1964. Mukadimah Persaudaraan Setia Hati Terate. Arsip Cabang Psht Surabaya.
Lutan, Rusli. 2002. Pengantar Ilmu Filsafat . Jakarta.
Maclin, Kimberly. 2008. Psikologi Kompleks: pola karakter Dasar. New York.
Meyer, Joyce . 2011. Pikiran Medan Perang. Immanuel Book Store: Jakarta.
Bintoro, T., D. 2017. Asumsi Teori Sub-Kebenaran dan Pohon Kebenaran. Artikel tidak dipublikasikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar