Selasa, 13 Maret 2018

Nitis bagian 2

Kematian adalah momok paling menakutkan serta menjadi tanda tanya besar bagi sesuatu yang hidup kususnya manusia. Kematian juga menjadi alasan manusia untuk memilih beragama, berkeyakinan, serta mencari jalan untuk menuju hakikat kematian itu sendiri. Kematian bukanlah akhir. Kematian bukan pula hal yang perlu ditakuti berlebihan.

Kematian adalah jalan tempuh untuk mendapat otoritas pembelajaran dalam akses studi kehidupan. Maka kematian sesungguhnya adalah media untuk berevolusi menuju harkat manusia yang unggul secara ruhani maupun jasmani setelah jiwa-jiwa mereka belajar akan segala realitas, intensitas berapa sering jiwa keluar-masuk tubuh memungkinkan jiwa itu akan mendapat banyak pembelajaran dari ingatan waktu (segala fenomena serangkaian penciptaan yang disimpan waktu). Serta memudahkan jiwa beradaptasi dalam siklus alam percepatan dan kecepatan cahaya atau rentan kehidupan dan setelah kehidupan.

Sebelum berada pada siklus nitis, jiwa-jiwa bermutasi dari beberapa siklus setelah jiwa lepas dari tubuh. Jiwa akan berada pada pada stag pertama sebagai berikut:
1. Dalane pati (jalan kematian; siklus keterpisahan).

Jiwa akan mengalami sesuatu tarikan dahsyat saat ia menemui ajal, dalam kondisi ini jiwa secara umum akan mengalami syok akibat tarikan yang memisahkan ia dari wadag/ raganya tersebut. Bagi jiwa yang masih berkesadaran rendah, atau belum matang  serta belum siap menerima kematian, mereka akan mengalami kegelisahan setelah mereka terlepas dari wadag/ raga. Jika kematian itu dikarenakan pembunuhan, bunuh diri, kecelakaan, atau mereka mati dalam kondisi (kaget) atau tidak siap. Jiwa-jiwa ini akan mengalami traumatic biasanya mereka akan berhari-hari di sekitar pemakamannya. Atau mengunjungi rumahnya. Jika keluarga yang ditinggalkanpun belum rela melepaskan kepergiannya, ini juga turut menarik jiwa tersebut secara energi terhadap medan gravitasi kebumian. Serta sulitnya melanjutkan perjalanan menuju dimensi berikutnya.

Jiwa memiliki waktu 40 hari untuk menguap serta matang dalam menerima kematiannya, dalam 20 hari biasanya akan muncul citra-citra diri dari orang-orang yang pernah membuat berkesan semasa dalam hidupnya. Namun ia sudah mengalami kondisi serupa atau mati. Mereka akan mereduksi energi jiwa yang baru mati tersebut dengan citra seperti penghibur, penenang, atau menyadarkan bahwa ia harus menerima kondisinya yang telah tiada dalam keragawian (meninggal). Bila kesempatan tersebut tetap membuatnya gusar serta gelisah yang ekstream atau belum matang secara kesadaran hingga melebihi 40 hari jiwa akan masuk pada jeratan entitas mahluk astral serta menjadi arwah penasaran. Ini juga merupakan kosekuensi hukuman semesta atas ketidakmatangannya semasa hidup.

Bagi jiwa-jiwa yang telah dewasa serta memiliki tingkat kesadaran yang lebih matang mereka akan segera menerima kondisinya, semakin mereka menerima keterpisahan tersebut maka terbukalah pintu selanjutnya hingga jiwa tersebut mengalami ketertarikan menuju dimensi berikutnya.

2. Patrape Pati (kepergian).

Dimensi ini adalah tempat selanjutnya dari jalan kematian, di tempat ini jiwa akan mengalami fase-fase dejavu biasanya mereka akan dijumpakan pada sosok seseorang yang pernah membuat ia  berkesan semasa hidup, ini wujud dari citra diri yang paling dominan, atas puncak suka cita perasaan semasa hidupnya. Penyosokan ini merupakan maniefestasi dari kakang kawah adi ari-ari atau ruh pendampingnya. Mereka akan memberikan pengajaran wawasan alam jiwa sesuai tingkat kematangan jiwa tersebut secara kesadaran. Secara ramah ruh/ kuasa pendamping ini akan menuntun jiwa-jiwa tersebut menuju dimensi yang lebih matang lagi. Catatan; sesungguhnya pengajaran yang diberikan tersebut; bentuk dari pengetahuan yang tersimpan pada kognisi jiwa; citra diri semasa hidup hingga menuai kesadaran. Waktu secara rentan cahaya kecepatan cahaya kebumian berkisar 60 hari setelah kematian. Dalam dimensi ini tak ada batasan seperti pada dimensi pertama.

Karena sebagian besar jiwa-jiwa sudah berada ditahap ini memiliki kemantapan serta penerimaan yang tinggi. Dalam dimensi ini jiwa benar-benar mengalami kepergian karena mereka tidak berada pada ruang dimensi kebumian lagi. Jadi tidak membuat mereka tersangkut/ terlunta-lunta lagi dalam melanjutkan ke dimensi berikutnya.

3. Papane pati (ketibaan/ kedatangan).

Dalam dimensi ini jiwa telah datang pada dimensi penempatan dimana akasic-record atau data untuk melanjutkan kehidupan selanjutnya di bukakan dalam berbagai ragam jobdisk. Serangkaian gambaran kehidupan sebelumnya hingga kehidupan yang kemungkinan akan datang. Karakter setiap jiwa secara spesifik mulai direkonstruksi ulang. Di alam ini jiwa-jiwa seperti sedang menandatangani kontrak dengan Dewan Sumber Keberadaan. Berbagai kesadaran mereka tertumpah serta jiwa seperti pengalami penyaksiaan akan jati dirinya. Terjadi pengelompokan level tergantung kematangan serta kesadaran jiwa masing-masing. Namun bila jiwa yang telah matang total mereka bisa memilih memproyeksi wadah (blue print) secara abstraksi terhadap Sang Dewan. Waktu dalam kecepatan cahaya sekitar 100 s/d 400 hari pasca kematian.

4. Margane Pati (pelepasan total).

Jiwa akan mengalami siklus goda-kencana bagian 2 dari point pertama (jalan kematian).  Dalam kondisi ini jiwa akan dihadapakan 4 rupa yang berwujud seperti rupa mereka sendiri (seperti bercermin). 4 rupa wujud menyorotkan cahaya masing- masing berwarna kuning (supiyah- sari angin), putih (mumainah-sari air), merah (amarah- sari api), hitam (aluamah-sari tanah/bumi). 4 rupa ini merupakan maniefestasi sedulur 4 yang menuntut untuk di sempurnakan setelah Sang Atman (diri sejati) bersama Jiwa menuju dimensi tertinggi. Masing-masing dari mereka berbicara secara telepatik mengisyaratkan mengaku menjadi diri sejati semua (Allah). Serta ingin menarik jiwa masuk pada perangkap konstelasi waktu saat mereka terkecoh oleh tarikan/ ajakan tersebut. Serta tidak hanya 4 tersebut, akan muncul 2 lagi dengan wujud proyeksi seperti kedua rupa orang tua jiwa semasa hidup sebagaimana mereka maniefestasi dari kakang kawah adi ari-ari (pedanyangan pribadi) merekapun juga butuh disampurnakan, mereka mengaku diutus Dewan Keberadaan (Tuhan). Kuasa ini memang menjadi penguji bagi jiwa yang hendak moksa (sampurna).  Jawaban ini akan muncul seketika bagi jiwa yang telah berkesadaran serta mampu menemukan diri sejati semasa hidupnya. Hingga kemudian muncul sosok cahaya hijau pupus dari lorong dan menarik jiwa untuk masuk menjadi satu dengan-Nya. Dan itulah Guru Sejati atau Maniefestasi dari Tuhan yang mempribadi pada pribadi-pribadi jiwa yang menjadi gembalanya/ hambanya. Bila mereka yang tidak mampu menjawab akibat tingkat kesadarannya masih rancu. Atau traumatic dari parasit karma. Mereka akan memasuki jalur reiinkarnasi pada kehidupan diluar manusia. Adapun siklus dimensi ini 500 s/d 1000 pasca kematian.

5. Sampurnane Pati (kelenyapan/ kebebasan mutlak dalam jagad pararel)

Dalam dimensi ini jiwa-jiwa telah berhasil menuntaskan proses konstelasi kosmik. Mereka dibebaskan dengan mutlak berdasarkan hukum realitas kebijakan Sang Sumber, untuk menjadi guru-guru suci di alam kadewatan, menjadi jiwa-jiwa Agung yang siap diturunkan lagi ke bumi, atau memilih terlelap dalam pangkuan semesta hingga ia dibangunkan kembali untuk dikaderisasi ulang menjadi benih-benih kehidupan yang akan diberadakan oleh siklus semesta melalui waktu. Disini jiwa agung mendapat gelar berdasarkan tingkat tertua (old soul), kesadaran, kematangan,  dengan gelar Cahyo tedjo, Cahyo kumara, Cahyo ismoyo (avatar; bila ia turun menempati wadag kembali). Yang berinduk satu gen semesta yaitu banyu Kahuripan (Manungso sejati/ ancient ones) saat turun ke bumi menjelma Guru pembabar kaweruh tua/ kelangitan.

Adapun paparan ini diungkap pertama kali oleh guru penulis " Mbah Ju" yang mendapat wejangan dan laku dari KH. Imam Mustofa. (Pembawa kaweruh Ilmu Asal Sunan Kalijaga serta kaweruh Tuo Sunan Bonang) asal Genteng Walikukun NGAWI JAWA TIMUR. Serta disempurnakan oleh KH. MUHAMMAD UMAR (Pembabar ajaran kawit Syahadat Pesinggahan Pageran Alam Padang jejer banyu kahuripan) berada di Karang Gubito Magetan Jawa  Timur. Demikian yang pernah menggembleng penulis menuju laku-laku asketik kuno warisan leluhur untuk memapah kesadaran penulis. Ucap syukur bagi semesta telah mengijinkan penulis mendapat gemblengan siraman spiritual dari lereng lawu. Sebagai sarana menjalani kehidupan yang berkesadaran. Terimakasih tak lupa diucapkan pada sang guru dan kebijakan semesta. Rahayu...

~ Tunjung Dhimas Bintoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...