Kamis, 08 Maret 2018

Jer Basuki Mawa Bea (Hukum Pakem Kedagingan)

Ketika mengawali perjalanan spiritual, saya dihadapkan pada permasalahan utama yaitu masalah perut (kedagingan), sebelum menemukan jalan kerohanian. Guru demi guru pengajar jalan spiritual saya temui, rata-rata dari mereka menyengker atau tidak mudah begitu saja mengajarkan ajaran yang menurut mereka adalah sakral, mungkin hal pertama yang saya pahami; pertama Guru tersebut mampu menganalisa tingkat (panggraitan) pemahaman-wadah setiap calon muridnya, kedua; menyadari bahwa mereka harus menjaga kelinieran pola pikir masyarakat yang belum adequate (atau memilki tingkat kesadaran masing-masing), agar tidak terjadi ledakan yang memperkeruh suasana di dalam masyarakat luas tersebut, ketiga; pengaruh tradisi masa lampau yang di pegang teguh dengan prinsip kuat penuh loyalitas, yang diwariskan turun- temurun.

Saya tidak mempermasalahkan, masalah pertama ataupun kedua. Secara rasional itu masih bisa dimaklumi. Seiring berjalannya waktu serta proses menyelami diri lebih mendalam. Saya menemukan transformasi kesadaran baru, petunjuk yang matang dari ledakan sudut pandang saya yang bertransformasi dari olah rasa saya. Bagi saya masalah ketiga secara relevan saya maklumi sebagaimana menghormati sikap kesetiaan serta kebijaksanaan para guru serta sesepuh pembawa tradisi ajaran spiritual leluhur tersebut. Namun secara etimologis serta kekongkritan saya ingin membedah tradisi yang perlu dirombak dari pilar menyengker serta tidak memberikan upah harga yang pantas untuk mereka para guru dan ajaran luhurnya.

Nusantara memang terkenal akan kekayaan hal  magis, spiritual, serta menjadi kearifan lokal yang luhur tak ternilai harganya. Banyak orang-orang pinunjul, sakti, berjiwa kesatryawan dikisahkan pada masa lampau. Kini saya akan memaparkan sudut pandang baru berdasarkan laku kesadaran yang bertransformasi. Bila kekayaan spirit tersebut melahirkan kesaktian, lantas mengapa kita dahulu masih bisa dijajah oleh pihak asing begitu lamanya, menjadi budak serta penindasan melucuti taring kehormatan yang menjadi sejarah kelam tanah ini?. Salah satu kelemahanya adalah terlalu bijaksananya leluhur kita yang memegang prinsip loyalitas tinggi, serta kurangnya ketegasan yang sehat dan cerdik membuat leluhur kita mudah dijatuhkan pada masa itu. Lantas apakah kita ingin mengulangnya, tetap kuat pada tradisi vintage yang gagal tersebut?. Tentunya tidak seperti itu.  Memang kasus penindasan, serta kelaparan memaksa mereka untuk terbiasa dengan hal tersebut, hingga akhirnya menemukan produk laku asketik (tirakat) yang mujarab, karena keyakinan mereka dipertebal hingga menjadi energi yang sakti mandraguna. Namun sekali lagi leluhur kita tetap gagal, mereka lupa bahwa perut anak istrinya tak sekuat seperti mereka. Akhirnya mereka menyadari bahwa pangan, sandang, papan adalah pakem hidup kedagingan yang tak bisa disangkal. Ketika pihak asing dengan cerdik menaikan pajak upeti serta menghisap kekayaan pangan pribumi. Hanya satu jalan yang harus diambil, tunduk pada penjajah atau anak-istri mereka mati kelaparan. Tak berguna kesaktian bila tak dilandasi kesadaran yang cerdas.

Saya mengurai, hari demi hari saya tempuh memohon petunjuk pada Pemangku Semesta. Dari pertama saya yang suka berdiam diri dibalik layar merahasiakan ajaran leluhur yang diwariskan simbah-simbah serta guru-guru saya, karena prinsip tradisi warisan mereka yang sama saya pegang. Ternyata perlu dirubah serta ditransformasi, tidak selamanya kita terjebak tradisi absurd tersebut, berpangku tangan dibalik layar, menenggelamkan diri ketika kita sebagai anak kandung negeri harus menjaga tanah warisan Gusti ini. Tradisi sengker (tidak membabarkan kaweruh/ ilmu) serta tak adanya pemaharan (harga/ nilai) hanyalah ciptaan politik masa silam yang dibawa penjajah. Dengan bijaknya leluhur kita melindungi ajaran tersebut secara diam-diam agar tidak tercium penjajah dimasa itu, serta tidak adanya pemaharan (prestis) karena pada masa silam kaum pribumi mengalami serangan kemiskinan yang dahsyat akibat ulah penjajah, wajar bila tak ada ukuran uang untuk membayar gurunya, namun mereka sering menggantinya dengan pengabdian serta hasil perkebunan, atau ternak. Tak jarang simbah saya mesti mengajarkan untuk membawakan guru dengan (rokok-gula-kopi) bila ada ya diamplopkan seadanya hingga Sekarang. Sayapun kadang berfikir, guru saya punya anak-istri yang harus dikasih makan, dan uang saku. Kenapa upah untuk mereka lebih sedikit daripada guru ajar yang mengajar pendidikan di instansi.  Padahal apa yang mereka ajarkan lebih memiliki nilai yang bisa meresap kedalam tubuh spirit hingga tak jarang muridpun dicerahkan oleh ajaran yang disampaikan beliau.

Ada beberapa oknum menyatakan bahwa ilmu beliau itu ilmu gusti tidak boleh diperjual belikan. Waduh, bukankah segala ilmu yang tertumpah ruah juga berasal dari gusti. Sains, teknologi, yang kini menjulang tinggi. Hingga pemikir barat menemukan hal yang dianggap ghaib dan sakral hingga kini ditemukan dan dibuktikan menjadi jejaring signal serta internet yang berharga trilyunan, yang membuat penemunya menyumbang subsidi untuk kesejahteraan umat -kemanusiaan. Mereka orang barat membuat serta mengemas sesuatunya hanya dengan lebih terstruktur saja hingga layak dihargai dan diapresiasi. Tidak, tidak.., kita hanya terjebak dinamika politik sisa peninggalan masa lalu saja. Kita harus bangkit merubah paradigma lama dengan kesadaran baru. Bangsa kita bangsa besar, tanah kita tanah penuh kekayaan.  Seiring perkembangan zaman kita tak boleh tertinggal.

Saya beritahu pada anda banyak pihak barat mencuri serta membodohi kita, lihatlah namun kenyataannya kini budaya wayang kulit yang memiliki filosofi tinggi diakui sebagai warisan tak ternilai oleh UNESCO, budaya karawitan, tari-tarian, reog, DLL. Ayo bangkit selamatkan dan beri dukungan apresiasi pada warisan kita tersebut. Jangan menunggu diklaim milik asing sementara kita baru memprotesnya kesana - kemari, terlambat !. Mungkin ada esensi yang tak bisa dihargai/ dibeli yaitu proses pencapaian serta wadah kita masing-masing dalam menyerap ajaran leluhur. Serta mantra/ wejangan kususnya. 

Namun wedaran ajaran memang selayaknya kini dibuka, disebarkan, untuk membangkitkan jiwa-jiwa Agung nusantara untuk memapah transformasi bangkitnya kejayaan nusantara baru . Ajarkan, sebarkan, hargai dengan nilai serta kelayakan prestis pada generasi  berikutnya agar tidak musnah dan punah.  Kalau bukan kita siapa lagi. Ubah sudut pandang lama, kita hanya perlu inovasi baru untuk menyampaikan ajaran kuno dengan metode, bahasa, komunikasi secara masa kini, ketika generasi diubah menjadi generasi micin kids jaman now. Kita rubah pula polanya.

Analoginya seperti ini, mungkin kita bisa minum atau mengambil secara cuma-cuma air pada sumbernya. Tetapi bila air tersebut sudah dikemas menjadi merek tertentu misal aqua, atau apapun kita layak membayar/ menghargai inovasi tersebut. Seperti halnya, belajar spiritual kita bisa langsung menuju sumbernya (Tuhan) bila ingin mendapatkan gratis atau cuma-cuma. Namun bila kita membutuhkan seorang praktisi/ guru yang mengajarkan dari proses laku serta petunjuk dari pengalamannya, kita layak menghargai beliau sebagai inovasi yang ditemukannya dengan upah yang setimpal dengan ukuran manfaat kita masing-masing.

Mungkin kita melampaui kesadaran tertinggi dan menjadi Tuhan. Namun di bawah tubuh manusia sebagai jelmaan Tuhan yang harus menjalankan peran kita tak bisa berpangku tangan begitu saja. Dengan misi yang sudah diperuntukan untuk kita. Tanah kelahiran adalah surga warisan terakhir, dari keberadaan kehidupan. Menjaganya adalah sebuah kehormatan dan mandat langit.

SALAM BANGKIT KEJAYAAN NUSANTARA BARU...MERDEKA. ,, RAHAYU....

........... ........................... ...........................

Dalam menjalani peran kesatriyawan kita perlu berkorban bahkan terbuang keneraka sesaat tak mengapa, karena harus berperang serta membunuh untuk melindungi generasi cahaya. Nirwana akan mempermalukan kita sebagai satrya bila tindak kejahatan dan ketidakadilan di bumi dibiarkan merajalela. Apalagi mengijinkan pihak yang ingin merampas kedamaian serta kehormatan tanah leluhur kita sebagai warisan terakhir Sang Hyang Urip.

~ Tunjung Dhimas Bintoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...