Rabu, 13 Desember 2017

Laku Mbegawan (Menyembuhkan dan Mengelola rasa yang bergumul)

Saat dunia menjatuhkan melalui pikiran-pikiran yang di perdayai lingkungan, tentunya kepedihan dan duka cita selalu menghampiri tanpa permisi. Sering sesak dada itu membuat diri hilang arah bingung dan was-was gelisah tak menentu. Manusia adalah mahluk multidimensional, memiliki tataran tingkat emosional, energi, dan kesadaran. Tingkatan tersebut senantiasa berubah-ubah karena pengaruh gravitasi siklus alam. Kenyataanya neraka paling jahanam yang benar-benar ada adalah siksaan batin (pergumulan perasaan) yang sering menumbuhkan duka cita bagi manusia.
Duka cita sendiri hadir oleh beragam sebab seperti ambisi berlebihan, hukum berumah tangga yang memberatkan, kegagalan, ketakutan akan mengarungi hidup, kemelakatan; mungkin bagi orang-orang awam duka cita bisa disederhanakan lagi sebabnya seperti pada umumnya; tidak punya duit, jatuh mlarat, gagal skripsi, cinta tepuk sebelah tangan, dipaksa nikah, ditinggal selingkuh, selingkuhan lebih cantik,  bingung membagi warisan, takut mati, merawat sanak famili yang sakit, diri sendiri divonis sakit, pekerjaan yang tidak sesuai, dsb. Jika di skala-kan jalan duka cita sangatlah kompleks dan beragam.

Duka cita merupakan syarat mutlak manusia untuk hidup, sebagaimana manusia ditempati rasa. Rasa mewadahi kedua siklus kehidupan, jika tidak berisi duka cita maka diisilah suka cita.  Seperti kutipan wejangan R.M. Syahid (Kanjeng Sunang Kalijaga) ", Sejatining urip iku kenggonan roso-rumongso tumuwuh ing laku mati sakjroning urip; seneng sak jroning susah; susah sak jroning seneng, urip ngawulo roso, urip angon roso
Yen pengen kegayuhuhan urip mukti pakarti ngertenono lakuning rosomu dewe njur ngrumangsanono yen satuhuning urip iku ngemong roso".

Artinya: Hidup itu hakikatnya ditempati rasa dan perasaan, berada pada siklus dualisme yang menjadi satu yaitu hidup dalam mati; susah dalam senang dan keduanya saling berlawanan dan bergantian mengisi rasa. Hidup mengabdi pada rasa, hidup menggembalakan rasa, jika ingin menggapai hidup yang mapan atau bahagia mengertilah lakunya rasamu, dan hayatilah setiap pertukaran nafasmu yang menghidupi laku rasamu karena sejatinya hidup itu ngemong/ merawat rasa.

Saat rasa mengalami pergumulan, sejatinya ia sedang keruh, membutakan mata batin dan membuat batin tersiksa habis-habisan. Kondisi seperti ini memang sangat membingungkan,  radiasi energinya mampu mempengaruhi lingkungan, bahkan sugesti dan nasehat dari orang lain sangat sulit dicerna. Jika larutan pergumulan rasa ini semakin mendalam bisa saja menulari energi orang-orang dekatnya sehingga menurunkan aura yang cerah menjadi redup. Tak jarang Kepedihan ikut menghampiri si pemberi motivasi.

Selain mencari motivasi dari orang terdekat, biasanya ia mencari peneduh dan penyembuh pada Sang Tuhan sebagai pelarian yang dianggap puncak. Karena banyak pemotivator dan pembimbing spiritual menyarankan hal yang sama, Sang Tuhan adalah tempat bernaung terbaik. Namun disini terjadi kebingungan lagi, berharap bertemu Tuhan justru malah diperdayai pikiran yang hanya berujung pada konsepsi.

Orang awam mengira bahwa Tuhan itu hal yang bisa diraba dengan pikiran inderawi namun nyatanya hanya diketahui melalui namanya saja membuat indikator Tuhan yang ada pada dirinya pun sulit dikenalinya. Tak jarang juga ada yang berpikir bahwa Tuhan tidak bisa diraba atau dibayangkan karena terlalu luasnya Dzat Tuhan itu sendiri. Begitu juga seorang penspiritual yang mengira dirinya sudah mampu mengenali dan mengetahui Tuhan ternyata juga masih tersangkut dan terjebak delusi dan perkiraannya yang nyatanya masih ditataran inderawinya sendiri.
Manusia dan Tuhan dianggap berbeda namun sejatinya ia sama.  jika anda mengira manusia itu adalah hal yang lemah terbatas nyatanya  tak ada yang bisa menghitung jumlah sel pada tubuh manusia, sama halnya jumlah sel galaksi di semesta ini yang merupakan bentuk Tuhan yang besar itu. Percayalah itu hanya konsepsi. Orang penspiritual banyak yang masih dilema diwilayah ini. Ketika ia merasa kejatuhan duka ia bingung mencari naungan karena mengetahui bahwa Tuhan itu yang dinyatakanya ternyata dirinya sendiri (manusia itu sendiri). Lalu fakta indikatornya ia merasa Tuhan itu jauh dari tempat untuk meletakan  harapan, karena yang ia tau manusia itu lemah "buktinya jika manusia itu Tuhan, nyatanya aku sendiri masih lemah". Lalu dalam tataran ekstrim ia mengira Tuhan itu maha biasa saja. Dengan demikian pergumulan perasaan semakin sulit untuk disembuhkan.

Lalu bagaimana sejatinya Tuhan dan manusia, sejatinya keduanya satu. Yang memisahkan keduanya hanyalah konsepsi pikiran manusia sendiri. Satu-kesatuan ini berindikator pada sang rasa sejati yang berada jauh di pusat hati manusia.  Dari sanalah semua berawal dan berakhir dari sana pulalah semuanya melebur. Pemisahan-pemisahan perangkat pikiranlah yang membuat semua serba tersekat dan terbatasi. Namun lokus perangkat rasa sejatilah yang mampu menggelarkan kesadaran serta keimanan.  Banyak yang menyarankan produk-produk bagaimana cara menyelami hati untuk menggapai sang rasa sejati ini. Agar hidup cemerlang namun nyatanya tetap saja duka cita silih berganti menghujam siksaan batin.

Di tataran kesadaran level average, seseorang mampu mengerti segala level dimensi entah hukum kelangitan dan kebumian, hukum makro dan mikro kosmik. Namun ketika siksaan batin datang menghampiri banyak dari mereka yang kesulitan untuk menerima dan mengelolanya secara lugas dan mawas. Dari beberapa pengamatan penulis siksaan batin yang riskan dan berat adalah ketika seseorang menjalin kehidupan berumah tangga. Kasunyatannya belum terpecahkan formula rahasia pencerahan dalam menjalani hal tersebut.

Menjalani dan mengelola kesadaran dalam berumah tangga tidak semudah membalikan telapak tangan. Ternyata disana jutaan sel DNA semesta masing-masing memancarkan radiasinya tersendiri dari kedua belah pihak. Semakin menyurutnya laku kesadaran saat menjalani rumah tangga sering menjadi kekalahan telak pada manusia berjiwa istimewa sekalipun, mereka yang sebelumnya memiliki kewaskitaan, dan karomah lainnya sangat mudah terjatuh pada tataran ini. Berumahtangga menjadi momok menakutkan karena dari sanalah pewarisan surga dan neraka sedang dibangun. Sesungguhnya ini laku terberat dalam menempuh jalan dari manusia menuju Tuhan. Hingga kembali pada Ke-utuh-an. Kesadaran adalah kendaraan  untuk mengelola rasa kita sendiri mau diisi duka cita atau suka cita. Atau menjadikan keduanya menjadi bentuk tertinggi dari keseimbangan. (Mengabdi pada rasa; menggembalakan rasa; dan merawat/ memomong rasa).

Dari sekilas penulis hanya ingin berbagi tentang cara menyembuhkan rasa yang bergumul, yang menjadikan seseorang tetap bertahan mengabdikan diri pada rasanya; dalam laku mbegawan yang dialami penulis semenjak berumur 13 tahun. Untuk mencapai level kesadaran yang terbuka tentunya seseorang akan mengalami kesulitan saat rasanya mengalami pergumulan atau siksaan batin. Bagi sebagian orang laku untuk
Penyembuhanpun sangat diperlukan, hingga mengelolanya menuju jalan pencerahan.

Adapun laku tersebut adalah sebagai berikut;

Laku mbegawan level pertama diperuntukan bagi seorang yang masih awam dalam bidang laku rasa (kesadaran masih dilevel dasar).
Jika anda merasa kejatuhan dan disiksa batin maka penyembuhannya adalah:

1. Berdoalah; dengan berdoa setidaknya anda sudah mempercayai bahwa anda memiliki tempat untuk meletakan harapan anda sendiri di dalam Dzat yang ada bersama anda. Kata Onsteen pada bukunya "I DECLARE" bahwa berdoa adalah bentuk deklarasi pengakuan bahwa harapan kita berhak dimuarakan pada apa yang kita imani sebagai Dzat Yang Maha besar.

2. Berafirmasi positif; selalu katakan kata-kata positif pada diri anda dan lingkungan anda, karena kekuatan kata-kata niscaya menjadi sabda yang baik untuk tubuh dan diri kita.

3. Kurangi Bercandaan; istilahnya jangan terlalu banyak celomet/ celotehan/ guyonan karena terkadang anda lupa bahwa anda sedang membuat anda sendiri merendahkan dan meremehkan diri anda sendiri yang sejatinya ada dzat besar yang ada bersama anda.

4. Berkumpulah dengan orang-orang yang berenergi positif; jadi saat diri anda keruh hendaknya anda mencari orang yang suka bertutur positif, memotivasi anda, sevisi, dan semisi dengan anda, yang benar-benar anda merasakan ketulusannya membantu anda serta anda nyaman bersama mereka.

5. Perbanyak baca buku motivasi dan kurangi berada  pada aktivitas layar ponsel anda (kusus era modernisme).

6. Sebisa mungkin perbanyaklah memberi pada sesamamu dan lingkunganmu; entah memberi makan ternakmu, menyirami tumbuhan, atau membuang sampah pada tempatnya. Karena itu wujud bersyukur dan peduli pada diri dan lingkungannya.

Selanjutnya adalah level kedua, laku mbegawan tingkat "lakon" atau belajar mengelola rasa dengan laku prihatin; yang berarti meningkatkan kepekaan rasa bukan lantas menambah siksa diri. Adapun lakunya sebagai berikut:

1. Berpuasalah; dengan berpuasa kita memperhatikan segala bentuk zat kasar (makanan) yang masuk dalam tubuh kita/ rumah Tuhan ini. Entah puasa mutih, vegetarian, puasa weton, puasa daud, dll. Dengan begitu rasa akan terangsang karena sedang dibersihkan dari segala bentuk rasa kehasratan disana pula rumongso/ penggraitan rasa bekerja. Dan memicu kejumbuhan dengan rasa sejati.

2. Kurangi tidur perbanyak kondisi terjaga; jika tak mampu 24 jam, minimal jangan tidur diwaktu magrib atau dibawah jam 12 malam. Karena disaat tersebut sedang terjadi pertukaran energi yang keruh (bibit sengkala). Orang yang banyak tidur akan mudah gelisah dan tubuhnya semakin lemah. Ini sebenarnya karena menghirup energi-energi buruk yang di hembuskan semesta pada waktu tertentu. Kondisi terjaga juga mendekatkan kita pada tataran eling yang dekat dengan kesadaran (kejumbuhan Gusti).

3. Meditasi; meditasi adalah cara mudah mendekat dengan sang Dzat yang ada bersama kita. Meditasi juga merangsang kepekaan rasa. Dengan meditasi kita juga mampu mengecek nafas kita yang bergejolak dipengaruhi pergumulan rasa. Banyak produk meditasi yang diajarkan, dulu ketika penulis mengalami laku tersebut penulis menghitung keluar masuk nafas sampai lupa seperti tertidur namun tidak tertidur dari alam itu pencerahan didapatkan.

4. Mendekatkan diri dengan alam; kunjungilah tempat kramat atau yang berportal energi seperti sumber air, candi-candi, sungai, dan pegunungan. Lakukan kungkum/ mandi, meditasi, dan berdoa menyabdakan kehendak rasa ditempat tersebut. Agar kembali mendapat pencerahan dan keselarasan.

5. Memberikan uang pada pengemis selama tujuh hari berturut-turut. Hal ini adalah melatihkan rasa untuk bersyukur mendalam dan menghormati bahwa pengemis adalah guru/ auliak yang dikirim untuk mengajari setiap pribadi  agar senantiasa melihat dari mata batin bukan mata inderawi semata. Tujuh hari adalah terbentuknya ego manusia, sekaligus menguap pula ego tersebut setelah tujuh hari pasca meninggal. Ini membantu manusia agar tidak terjerat pada tarikan gravitasi akibat ego saat meninggalkan alam fana ini.

Demikian pengalaman dan pengamalan dari laku mbegawan penulis saat menjalani pencarian pegangan dimana sejatinya rasa ini dimuarakan. Untuk kemudian diperdayakan mengikuti hukum-hukum semesta. Memang mengakui punya Tuhan itu sangat mudah dilakukan. Namun menyadari bahwa kita memang hamba-hamba yang memiliki Tuhan itu memang berat.  Seluas apapun kesadaran kita membuka realitas, kasunyatannya kita adalah mahluk-mahluk yang merasa ber-Tuhan karena mengingat bahwa kita selalu butuh tempat untuk meletakan "iman" yang berisi harapan. Tanpa itu semua mungkin kita tidak pernah menginjakan kaki kita di bumi, dan benar-benar dikatakan hidup. Karena tanpa harapan manusia tak akan pernah mengenal diri dan Tuhan. Tanpa harapan pula niscaya tak ada perubahan. Jika ruh kesadaran adalah "kebijaksanaan" maka ruh iman adalah "harapan" jika keduanya mampu diselami maka inilah hakikat pengelolaan menuju keseimbangan.

Rahayu,

~ Tunjung Dhimas Bintoro

Sintasi:

- I DECLARE, Joel Onsteen.
- 7 Hal Yang Mencuri Suka Cita, Joyce Meyer.
- The Power Of Praying Life, Stormie Omartian.
- Wejangan Kiyai Ganjil, Manuskrip Sunan Kalijaga.
- Saat Semesta Berbicara, W. Mustika.
- Catatan Penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...