Berbeda itu boleh, tapi jangan terus injak-injakan, jangan pakek panas-panasan. Konflik dan perang memang sebagai syarat evolusi menuju pada "muara ketiadaan". Tapi mengurangi dan mengontrolnya adalah bagian dari manusia sebagai pemimpin di bumi.
Jangan urun rembug kesadaran, dan perihal ke-sepirit-ualan apalagi berebut Tuhan dan kebenaran, apabila masih tuli pada detak jantung sendiri. Tak semudah itu menggapai evolusi perangkat terkuat dan tertinggi kitab jati diri yang kau sebut "kebenaran dan keniscayaan" . Karena ia berpagar baja hasrat kemanusiawian.
Menempuh tanpa laku yang di dasari tekad bulat, walau gurunya sehebat apapun hanya menjadi pundi-pundi pengidolaan dan pengkultusan. Bukan perihal guru dan ilmunya yang hebat tapi seberapa tangguh kita mampu mengisi bobot wadah diri masing-masing hingga tenggelam dan tidak mengambang.
Yah, akhirnya kinebat kaya gabah diinteri, ngalor ngidul, grudak gruduk kaya ombak lautan. Tanpo tuju, tanpa tekad, anane mung ilu-iluan. Olehe mung tuas mbrabas kakean ampas. ; yah akhirnya dikebat seperti padi yang diinteri, berkeliling kesana kemari seperti ombak lautan, tanpa tujuan, tanpa tekad, adanya hanya ikut-ikutan. Dapatnya justru hanya ilusi yang menggebu-gebu, emosi bila guru dan alirannya diguncang sentilan lucu.
Ngger, kitab jati diri iku mapane ana ing laku pribadimu. Ungkalen rasamu, yen wareg sudonen manganmu, yen lali sudone turumu, yen osik, sudonen anggonmu kumpul bojo. Yen bingung lakonono opo kang piwedar gurumu manut ukuranmu, Yen sepi ojo cidera marang sepada-padamu, yen kemrungsung sungsangen ambeganmu. Yen tinemu suwung yoiku sampurnane urip lan mapane patimu. Dudu kosong dudu isi ananging rupo kang podo karo rupamu yen pegat yoiku jejeran manus manungsomu. Kang ambabat jagad tanpo winates.
~ Tunjung Dhimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar