Kamis, 30 November 2017

Mencintai Karena Allah katamu?

Tidak ada cinta realistis, cinta puitis, cinta romantis, itu semua hanya ilusi ruang waktu tipuan hasrat keduniawian. Cinta itu adalah menyatukan takdir menjadi satu sebentuk asih asah asuh utuh mewadahi keseluruhan atas ukuran-ukuran hasrat yang dicipta pikirmu jadi jika kau sebut mencintailah karena Allah/Tuhan maka itulah keutuhan, bukan mengukur secara real materi, sudah pasti mengikari bila cinta itu di materikan karena kekosongan adalah mutlak.

Cadangan perbendaanmu akan sirna, rupamu akan menua, kata-kata indahmu akan usang dan terlupa, lalu masihkan kau bangga dan yakin mencintai dengan syarat-syarat itu. Masihkah mengukur cintamu itu?! Ya sudah pilihan ada di kamu. Tapi ingat jodoh itu keseluruhan dari gugurnya daun arsy di atas daulat realitas agung tertinggi dijemput dengan usaha yang sesuai.

Bukan lantas memaksakan. Jadi masih mengukur cintamu ? Memang kamu mau berjualan? Sungguh kamu kemanakan suara nuranimu itu.  Jodoh itu ibarat benih ia akan tumbuh bila dirawat walau itu masih kemungkinan. Jika kau memaksa mengusahakan tanah yang subur tapi tak ada benih (tak berjodoh) kucuran usaha dan keringatmu hanya jatuh menyaksi ketidakmengertian akan usahamu. Tak mengapa semua perlu belajar mengerti karena hidup ini tidak lantas sekali mati. Tapi terus mengadakan kisah-kisah manusia yang abadi. Jadi tetap berbesar hatilah.

~ Tunjung Dhimas

Rabu, 29 November 2017

Turun-Nya Wahyu Akhir Zaman


Sabda alam atau bencana alam terjadi di dalam proses alam itu sendiri (Alladzikhalaqa fasawwaa). Allah menciptakan sesuatu dan mengembangkannya. Proses penciptaan tak akan pernah selesai.

Alam akan terus berkembang, dan untuk itu akan terjadi berbagai hantaman dan goncangan untuk menciptakan keseimbangan dan pembaharuan. Kalau bencana itu terjadi karena proses alam itu sendiri kita harus rela menerimanya. Pasti ada kebaikan dibaliknya. Namun ada kalanya bencana alam terjadi akibat ulah tangan manusia. Yang merasa memisahkan diri dari alam yang merupakan bagian dari dirinya sendiri.

Alam mengingatkan agar manusia hendaknya kembali pada dirinya masing-masing yaitu alam itu sendiri. Agar senantiasa pergulatan yang ditimbulkan olehnya karena jalan kebenaran yang dibelokan akibat tumpukan free will-nya dapat diluruskan. Manusia telah lupa bahwa ia merusak perasaan dan damainya sendiri ketika dengan lantang menantang bagian yang tak terpisahkan dari dirinya yaitu alam.

Tentunya wahyu langit akan turun, tak peduli siapapun yang akan dilewatinya. Allah membuatkan "sabda bencana" bukan karena ia murka namun karena ia mengasihi. Ia menebarkan benih-benih kesadaran pada hamba-hambanya. Tentunya kesadaran manusia akan terbangkitkan kala ia dilukai hingga duka kencana membuat kering tetes tangis  yang membuat hatinya berteriak mencari sumber pengalir kasih tersebut. 

Maka, bertobat adalah pilihan yang tepat. Bertobat itu bukan hanya kembali pada jalan agamawi semata. Bertobat adalah memutuskan untuk meninggalkan masa lalu secara pribadi, menerima perubahan-perubahan, berjalan perlahan menuju pelepasan hasrat keduniawian, bangkit tertunduk pada diri sendiri untuk menggali jutaan rahasia Illahi, mencintai diri sedalam - dalamnya, kemudian meloloskan rasa yang masih diisi syarat-syarat (mengurangi berandai-andai) yang membuat pegumulan rasa itu sendiri, bila ingin bersuka cita jangan biarkan duka cita itu nyaman tinggal pada diri bagaimanapun juga itu adalah neraka yang benar adanya,   dan memilih mengisi ruang kosong itu dengan Allah SWT. Agar energi kasih yang teduh mendamaikan merawat dan memayungi tanah warisan penciptaan ini.

Maka keseimbangan akan perlahan menata kesenjangan. Apapun yang terjadi sesungguhnya irama-irama kehidupan akan terus seperti itu. Iman, salah satu jalan yang menyelamatkan. Adapun satria langit yang turun untuk menyelesaikan apa yang menjadi misinya,  kenyataannya ia merupa menjadi sosok jiwa-jiwa yang ber-iman. Begitulah wahyu akhir zaman yang tiba saat dibawa hujan nyatanya hanya peringatan agar manusia-manusia senantiasa beriman untuk menumbuhkan puncak kesadaran. Sudahkah kita beriman? Hanya nafas dan detak jantung yang bisa menjelaskan.

~ Tunjung Dhimas

Jumat, 24 November 2017

Guru

Guru adalah angin dan gunung yang menghiasi wajah moralitas dan ilmu. Guru bukan sekedar profesi, hakikat guru adalah pembawa terang panjang yang bergaman ilmu dan moralitas. Tidak hanya sebagai alat pemberantas buta aksara yang dari dulu hingga kini belum tuntas.

Ideologi guru tidak hanya mencari pangkat dan jabatan, apalagi sesuak nasi. Karena guru memang tidak berpangkat dan menjabat. Dahulu guru mengabdi tanpa pamrih, namun sekarang harus pamrih karena anak didiknya yang semakin banyak dalih, banyak nasib guru yang dikebiri oleh sikap anak didiknya sendiri, karena zaman terus menyudutkan hak asasi seorang guru.

Dulu guru memakai sepeda, motor yang sering mogok tahun 70 an serta baju lusuh untuk mengabdikan diri tanpa pamrih. Tapi kini ia harus memaksakan diri punya mobil dan motor sedikit mewah karena ingin menjaga martabat anak istrinya yang sudah terjebak sistem-sistem pendidikan yang kapital.

Kadang ia sendiri terjebak pada dilema sistem yang semakin absurd. Mau mengabdi tanpa pamrih, namun atasan mewajibkan untuk mengajukan proposal anggaran yang begitu ruwet dan mengancam eksistensinya. Dulu  guru hanya mengajar sekarang guru dituntut pandai bikin proposal-proposal pencairan.

Ia rela mengajari anak orang lain, dan mengabaikan anaknya sendiri. Namun yang didapat justru dikriminalisasi oleh orang tua anak didiknya. Sungguh berat sekali ia memapah derajat hidupnya. Bagiku guru adalah manusia-manusia yang setia pada kewajibannya sebagai pemahat manusia generasi berikutnya. Yang mempertanggungjawabkan citra, pahala, dosa-dosa, dan kemaslahatan bersama.

Jadilah guru-guru yang sebenarnya guru, yang mengerti akan diri sendiri dalam berguru, menggurui, dan digurui. Terus berpegang teguh pada hati seorang guru. Guru tetaplah guru mati manusianya namun guru tetaplah abadi dalam kenang sepanjang hari yang terus berlalu.

Selamat hari guru, untuk ayah ibu, guru-guru dan dosen-dosenku semoga senantiasa dicerahkan untuk terus menebar cerah di seluruh penjuru negeri...

25/11/ 2017

~ Tunjung Dhimas

Tak Ada Yang Sia-Sia

Tak perlu kita resah dan kawatir, karena kita merasa belum berbuat apa-apa, itu hanya jebakan sudut pandang. Semua orang memiliki waktu untuk mengisi dan menyelesaikan "kisah" masing-masing. Sering kita merasa rendah diri, resah, kawatir saat kita mengira diri kita belum berbuat apa-apa sementara yang lain sudah terlihat lebih selangkah atau beberapa langkah di depan kita. Saya pun pernah merasa seperti itu.

Ada yang kuliah selesai tepat waktu, ada yang cumlaude, ada yang terlambat dari waktu yang ditentukan. Ada orang sukses di usia muda, ada yang meraih sukses disaat sudah tua. Semua terisi oleh waktu dan kita mengira itu adalah lini kompetisi. Tidak, tidak, tetap tenanglah Tuhan memiliki rencana lebih besar dari yang kita kira, melalui waktu yang ditentukan-Nya.

Seorang sarjana muda sukses menjadi CEO sebuah perusahaan di usia 28 tahun tapi meninggal usia 35 tahun. Seorang sarjana menyelesaikan kuliahnya lebih cepat dari waktu yang ditentukan (Cumlaude) tapi setelah itu dia kesusahan kesana kemari mencari pekerjaan. Seorang sarjana menyelesaikan kuliah terlambat hingga stress hampir di D.O. ; tapi setelah itu dia diterima di perusahaan yang kebetulan membutuhkan skill di luar basic kuliahnya.

Seorang gadis menikah diusia 24 tahun dengan pasangannya yang sudah mapan, namun 2 tahun kemudian dia bercerai karena suaminya selingkuh. Seorang pria muda ditinggal menikah kekasihnya karena ia belum mendapat pekerjaan, 1 tahun kemudian dia dinikahi atasannya sendiri di suatu perusahaan yang menerimanya bekerja. Tidak ada yang terlambat, dan tercepat, tidak ada yang salah atau benar, semua adalah ketitiwancian/ sudah ada jatah masing-masing rancangan agung Tuhan. Obama pensiun presiden di usia 50 tahun Donald Trump menjadi presiden di usia 70 tahun.

Jadi bila kita merasa belum berbuat apa-apa disaat yang lain kita anggap lebih selangkah di depan kita sesungguhnya kita telah membuang waktu. Kita lupa menikmati proses hidup, kita lupa bersyukur, kita terpenjara perkiraan kita sendiri. Jangan terburu-buru untuk ingin cepat sampai pada tujuan. Karena proses menggapainya tentu sangat dirindukan. Nikmati setapak demi setapak proses tersebut agar pendewasaan dan kematangan tertanam dengan baik pada diri kita. Rawatlah perasaan kita masing-masing agar tidak pecah dan goyah.

Renungi apa yang sudah kamu miliki dan lakukan sekarang karena itu naskah istimewamu sekarang. Mungkin orang yang terlihat serba berkemewahan, terlihat tertawa bahagia disana sedang menyembunyikan deritanya masing-masing, dan mungkin beberapa dari mereka ingin menjadi sepertimu sekarang. Kata simbahku beginilah "urip sawang sinawang".

Kita tak bisa mengukur sama ukuran kita dengan siapapun disana. Jadi mulai sekarang buang jauh-jauh sudut pandang yang menakutkan itu, kita terima keadaan kita apa adanya. Karena kupastikan rencana Tuhan lebih besar untuk setiap daripada kita. Kita boleh kecil dan hina tapi dalam hati kita, kita adalah hamba-hamba Tuhan. Kenapa takut miskin mental dan materi sementara Tuhan kita maha kaya. Rawat imanmu. Karena ia yang akan membuatmu hikmat dan selamat.

~ Tunjung Dhimas
   

Ini Zaman Apa?

Hari-hari akan kejam, lingkungan juga bengis merusak kita melalui pikiran. Apa yang kita dambakan menjadi sirna. Iblis menyusupi orang-orang dekat kita. Dimana pekerjaan "sandang, pangan, papan" menjadi skala prioritas yang menyiksa kita melalui perut-perut yang serakah. Dunia semakin menggila, banyak dari mereka mampu membeli gadget. Tapi abai pada jiwa-jiwa mereka sendiri yang gersang. Pohon-pohon yang tumbang.

Dipenuhi tower-tower pemancar kehidupan generasi maya. Anak-anak mengalami pertumbuhan yang semakin cepat. Cepat-cepat merayap menjadi dewasa. Dewasa gayanya. Hacur karakter moralnya. Ini akibat percepatan yang diseret dengan paksa. Waktu-waktu semakin cepat dalam siklus putar. Dimana dihentikan oleh nikmatnya beronani. Onani pada layar maya.

Aku bingung, kaupun bingung, kita bingung. Kreatifitas tergilas. Bakat terjerat. Cetak biru blur menjadi kelabu. Dimana kita hanya dibodohi penyakit milenial ini. Lebih suka jadi followers. Berat sekali bangkit, bangkit menjadi diri yang produktif dan kreatif. Mau meninggi terseret dimensi teman-teman baik yang berbisik mengutuki. Mau melambung dilemahkan keluarga yang tertulari radiasi zaman ini.

Ya sudah. Kita boleh berada disana untuk seseorang. Tapi jangan tinggalkan diri kita sendiri jauh dibelakang. Mari belari. Mari kembali mengingat warisan diri pribadi. Itu harta terakhir Tuhan.  Kehidupan bermasyarakat menjebak batin sendiri. Padahal aku dan kamu mati sendiri. Menanggung jawabkanyapun juga sendiri-sendiri. Jadi jangan terlalu peduli pada siapapun. Sebelum dirimu diselamatkan dari kutukan zaman ini.

~ Tunjung Dhimas

Sebaris Mukadimah...


Seorang bertanya mengapa dengan kekerasan, tendangan, pukulan jika kalian ingin mengSHkan orang?
ia menjawab, “tak akan jadi pedang yang tajam menebas pohon yang merintang dijalan tanpa besi yang disepuh dan ditempa.
tak semua pukulan dan tendangan adalah pendidikan kekerasan, kami tahu untuk jadi kuat, tulang dan pikiran serta hati mereka harus selaras lepas dari program otak yang melemahkan mental karena mengakses rasa takut.

Tendangan dan pukulan itu bak terpaan sang empu untuk menempa besi sampai menemukan inti besi yang tajam. Sampai mereka menemukan inti diri yang berkilau tajam.Seberapa tajam mereka, sementara setia hati itu tentang kelembutan?
ia menjawab “lihatlah lembutnya angin, tapi kelembutanya bisa membuat ombak dan meruntuhkan pohon yg kokoh.

apa mereka hebat?
ya mereka hebat,
Kebal senjata bukanlah sakti, tapi rasa takut mati yang bermantra. Sementara kami sudah berkalung mori.
Memenangkan perkelahian tak selamanya disebut kejayaan, tapi kebanggan yang menjadi racun karisma kehormatan budi pekerti. Sementara kami mampu mengalah, menyerahkan kepuasan merasa menang pada lawan agar tiada permusuhan.
Salam persaudaraan setia hati terate
Salam persaudaraan!!!

by: Pshtindonesia

Foto Repost: SrikandiPsht
Via: Tunjung Dhimas Bintoro

#psht #1922 #jaya #persaudaraan #pshtindonesia1922 #terate1922 #fighters #pshtindonesia

Rabu, 22 November 2017

Marrying An Intelligent Woman Will Help Men Live Longer, According To Science

Men, it’s time to stop getting intimidated by intelligent women and embracing the smarts. According to a study by the University of Aberdeen, men who marry smart women live longer than those who don’t. Intelligent women can literally add years to your life, and as per the study, it is to do with their superior ability to protect you against degenerative disease.

In the Aberdeen research, identical twins were studied keeping into account their spouses, their environment, and so on. The study found that having a smart spouse challenges one’s cognitive function which in turn keeps our brain healthy and far from nurturing dementia.

According to the CEO of Alzheimer’s Australia, Carol Bennett, “Brain activity is one of the most critical when it comes to dementia, and social engagement has real benefits for cognitive functioning and mental health.”

Columbia professor and author, Lawrence Whalley, is in fierce agreement and states that in some men, even when signs of dementia were found in their brain scans, they did not experience any symptoms. These were highly intelligent men or men with intelligent spouses.

So, men, it’s time to make intelligence your top priority in finding the right life-partner. Maybe being ‘sapiosexual’ isn’t such a bad thing after all.

By : Tunjung Dhimas

Translate by: Bunga Rosdiana

Reference:

Copy Right EWA-O L-TD

The Pineal Gland: One of the BIGGEST secrets withheld from HUMANITY


Ancient cultures knew about the pineal gland and its importance thousands of years ago. Today, little is talked about the Pineal Gland and why ancient cultures believed the Pineal Gland was so important.

The Pineal Gland, the third eye is a small cone-shaped part in our brain that is responsible for producing serotonin derivative melatonin which directly deals with our hormones which in turn modulate sleep, wake patterns, and our seasonal functions.

Located near the central part of our brain, the pineal gland occupies a small area between our two hemispheres.

Thousands of years ago, cultures like the ancient Egyptians knew that the pineal gland was of great importance to humans.

Today, little information is shared about the pineal gland which according to many researchers can help humanity achieve its full potential.

It is considered by many as a portal that connects the physical and spiritual world in human. When activated, the pineal gland offers a sensation of euphoria, and oneness that hills the person mind, offering a sense of knowledge and enlightenment.

It is said that humans can activate the functionality of the pineal gland through yoga, meditation, and other methods.

The pineal gland is considered as a way of traveling between dimensions, referred by many as astral projection or remote viewing.
Interestingly, remote viewing has been researched by the government.
In fact, Stanford Scientists observed a Man ‘Travel Outside his Body’ & into Space. He was able to accurately view and describe a ring around Jupiter, a ring that scientists had no idea even existed until the Pioneer 10 spacecraft flew past Jupiter.

All of this was said to be achieved via the Pineal Gland.

However, not only were Stanford Scientists and the US government working on projects related to the Pineal Gland, the former Soviet Union, and numerous shadow organizations have been studying the effects for decades. The information, results and potential related to the Pineal Gland are said to have been locked away from mankind.

Interestingly, the ancients knew about the power of the pineal gland and through a number of ancient methods and practices –which have been lost for centuries— ancient man was able to control thoughts and actions of other people in the physical world.

But why are we not able to use the full potential of the Pineal Gland today?
An interesting question that deserves a rather simple answer. It is believed that the full potential of the pineal gland is locked due to the amount of SODIUM FLOURIDE people ingest each day.

The Pineal Gland is believed to absorb most of the sodium fluoride that enters our body.
It is believed that this causes the Pineal Gland to work with less ‘juice’ creating an unbalance between hormonal processes in our body.

Interestingly further study related to the Pineal Gland takes us to Rick Strassman, M. D. who firmly believes DMT is highly connected to the pineal gland.

Rick Strassman MD performed the first new human studies with psychedelic drugs in the US in over 20 years.
His research involved the powerful naturally-occurring compound, DMT – N,N-dimethyltryptamine. Led to this substance through his earlier study of the pineal gland as a potential biological locus for spiritual experiences, he administered several hundred doses of DMT to approximately 60 volunteers between 1990 and 1995. He wrote about this research in the popular book, DMT: The Spirit Molecule, which has sold over 100,000 copies, has been translated into 12 languages, and is now available as an audio-book.
It also inspired an independent documentary by the same name, picked up by Warner Bros distributing in Fall, 2011. With three distinguished collaborators, he co-authored Inner Paths to Outer Space, which looks more carefully at the common “other worlds” experience that volunteers frequently reported during his research.

“I was drawn to DMT because of its presence in all of our bodies. I believed the source of this DMT was the mysterious pineal gland, a tiny organ situated in the center of our brains. Modern medicine knows little about this gland’s role, but it has a rich metaphysical history. Descartes, for example, believed the pineal was the ‘seat of the soul’ and both Western and Eastern mystical traditions place our highest spiritual center within its confines.”

By: Rick Strassman via Tunjung Dhimas Bintoro

Source;

Reference:

DMT: The Spirit Molecule: A Doctor’s Revolutionary Research into the Biology of Near-Death and Mystical ExperiencesPaperback – December 1, 2000, by Rick Strassman (Author)

Minggu, 12 November 2017

MEMBABAR SASTRAJENDRA (Seri 2)


Di hening malam, mataku agak capek mengedit laporan tesis, melihat angka-angka statistik yang rumit...
Hasratku ingin berbagi tentang Sastrajendra tiada tertahankan lagi....
Hasratku langsung disambut hujan (beberapa menit saja) ketika jari-jemariku menekan tuts keyboard Personal Computer ku pukul 00:55 (12 Nov 2017) .....
Mungkin karena Daya Kekuatan Kidung Sastrajendra yang luar biasa.
Semoga Hyang Jagad Pratingkah berkenan memberikan ijin Wedaran dan Wewengan Sastrajendra ini, agar bermanfaat bagi sesama.

Yuuk kita mulai...

Dalam Serat Lokapala (Arjunasasrabahu), Raden Ngabehi Sindusastra dan Yasadipura II (keduanya pujangga Keraton Surakarta) memberikan deskripsi secara singkat tentang makna Sastra Jendra. Ulasannya sebagai berikut: 

Sastṛajendṛa Hayuningrat
Ngelmu wadining bumi kang sinengker Hyang Jagad Pratingkah
pangṛuwat barang sakaliŕ
kapungkuŕ sagung rarasan
ing kawṛuh tan wontên maliḥ
wus kawêngku sastṛadi
pungkas-pungkasaning kawṛuh

[ Sastra jendra hayuningrat
Ilmu rahasia dunia atau alam semesta yang dirahasiakan oleh Tuhan Yang Maha Esa
sarana pembebas segala petaka
segenap pembicaraan (tentang ilmu) tiada yang menandingi
sudah tidak ada lagi
(karena) sudah tercakup dalam sastra adiluhung
puncak tertinggi dari segala ilmu ]

Ditya diyu rasaksa
myang sato siring wanadṛi
lamun wêruh aŕtine kang sastṛa jendṛa
rinuwat dening bathara
sampuŕna patinireki
atmane woŕ lan manusa

[ (semua jenis) raksasa
serta satwa seisi hutan
jika tahu makna sastra jendra
akan memperoleh pembebasan dewa
sempurnalah kematiannya
rohnya berkumpul (dengan roh) manusia ]

manungsa kang wus linuwiḥ
yen manungsa udani
wor lan dewa patinipun
jawata kang minulya

[ manusia yang utama
yang telah memahami (sastra jendra)
akan berkumpul dengan dewa (setelah) kematiannya
dewa yang mulia ]

Betapa agung makna dari Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sebagaimana diuraikan oleh kedua pujangga tadi. Lalu apa sejatinya yang menjadi intisari dari Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu? Siapapun yang mampu memaknai dan mengaplikasikan dalam kehidupan nyata akan mengalami peningkatan kemuliaan dan kesejahteraan hidup! ABR akan mengupas dan membabarnya dari sisi kepraktisan yang sederhana agar mudah dipraktekkan dalam kehidupan nyata.

MAKNA DI BALIK CERITA

Makna dalam lakon wayang  “Babaran Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” diselipkan dalam nama-nama tokoh yang dimainkan. Wisrawa sendiri dapat dimaknai sebagai “wisa sing rowa” (wisa = racun; rowa = liar, beranak pinak, tiada terkendali).  Jadi, Resi Wisrawa menggambarkan kehidupan kita sendiri yang penuh ranjau dan racun, yang bila kita terjebak di dalamnya, kita akan mengalami penderitaan hidup.

Kalau kita amati, banyak kesengsaraan hidup yang ditimbulkan oleh ketidakmampuan kita melepaskan diri dari godaan-godaan racun kehidupan (wisa sing rowa), baik dalam tataran kehidupan pribadi, keluarga atau pun masyarakat. Sebagai contoh:
• Pada tataran pribadi, munculnya kegelapan batin karena dirundung masalah. Di siang hari yang terang benderang pun, mereka yang melanggar hukum alam dan hukum moral kasih merasakan dunia mereka gelap. Misal seseorang yang terdakwa sebagai koruptur mengalami kegelapan batin walau mungkin mereka bergelimang harta. Seorang DPO yang menjadi buronan polisi karena mencuri atau mbegal, mengalami suasana batin yang gelap.
• Pada tataran keluarga, suami-istri bisa cekcok karena “sayur yang terlalu asin, lalu suami ngomel,” “istri mengamuk karena suami pulang terlambat dengan penghasilan pas-pasan” yang membuat rumah tangga menjadi retak dan anak-anak menjadi korban perceraian.
• Pada tataran masyarakat, godaan itu bisa berwujud rasa irihati ketika tetangga membeli mobil baru atau pun si pemilik mobil merasa sombong dengan mobil barunya. Manusia lebih mengutamakan gengsi daripada fungsi. Mengadakan pesta ulang-tahun atau perkawinan anaknya secara berlebihan sehingga membuatnya berhutang banyak.
• Orang atau umat berdebat tentang keyakinan kepercayaan atau agama mereka sehingga menimbulkan perselisihan bahkan pertumpahan darah karena membela keyakinan atau memaksakan keyakinan. Saling menuduh sesat satu sama lain adalah bentuk ketidakmampuan mengendalikan hawa-nafsu! Merasa diri paling benar adalah bentuk kesesatan itu sendiri !

Sementara itu, nama Sukesi sendiri bisa dimaknai sebagai “suko ka’ èksi” (senang dilihat atau suka pamer atau gebyar duniawi).  Inilah gengsi kehidupan. Manusia seringkali lebih mengutamakan gebyar dunia dan suka mendapatkan “pujian wah.” Demi gengsi, memaksa diri membeli mobil mewah di luar kemampuan finansial untuk sekadar menjaga gengsi. Ketika menikahkan anak mungkin bisa menelan biaya Rp 5 milyar untuk sekadar mendapatkan “pujian wah” dari teman-temannya. Itulah yang dimaksudkan dengan Sukesi (“suko ka’ èksi”).

Wisrawa (wisa sing rowa) bila bertemu dengan Sukesi (suko ka’eksi = suka pamer) melahirkan karakter raksasa dalam diri kita, antara lain Rahwana (menggambarkan sikap serakah, ambisius, bengis, dan kejam), Kumbakarna (loba, tamak, malas, suka tidur), dan Sarpha Kenaka (sifat hasrat melankolis asmara). Jelasnya, hawa-nafsu kita semakin liar dan menari-nari seperti api yang dikipas dan ditambah bahan bakarnya.

• Rahwana sendiri menggambarkan nafsu amarah, yang identik dengan SIFAT RAJAS (dari anasir api);
• Kumbakarna sendiri mewakili nafsu alumawah, yang identik dengan SIFAT TAMAS (dari anasir tanah/bhumi);
• Sarpha Kenaka sendiri mewakili nafsu supiyah, yang identik dengan sifat/karakter ASMARA, yang membangkitkan rasa “sengseng” (wuyung) atau keinginan yang menggebu-gebu pada sesuatu hal, yang menjadi “klangenan.”
• Gunawan Wibisana sendiri mewakili nafsu mutmainah, yang identik dengan karakter SATVAM atau SATVIKA, yaitu karakter ke arah kesucian hidup (dari anasir angin).

Dengan menerapkan prinsip “Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu” dalam hidup kita sehari-hari, kita akan mampu mengatasi racun kehidupan (wisa sing rowa) dan juga godaan gebyar dunia (suko ka’eksi = suka pamer, atau suka gebyar dunia). Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu sendiri adalah sarana untuk mengendalikan sifat-sifat raksasa (hawa-nafsu) dalam diri kita. Sastrajendra Hayuningrat Pangruwating Diyu adalah Kawruh Luhur Nusantara yang penuh makna untuk mewujudkan Keselamatan Dunia. Mari kita simak bersama!

Sastra artinya: Tulisan
Jendra berasal dari kata: Harjendra = Harja + Indra. “Raharja” artinya Selamat, “Indra” artinya Raja/Ratu. Jadi “Sastrajendra” artinya adalah Tulisan yang merupakan Rajanya Keselamatan (Tiada lain adalah Hukum Alam itu sendiri). Maksudnya, manusia diharapkan lebih mengutamakan fungsi daripada gengsi. Kalau Anda membeli mobil memang niatnya menggunakannya untuk sarana transportasi, bukan untuk pamer kesombongan atau gengsi. Hukum Alam merupakan Sabda Tuhan yang kekal, universal, dan eksak yang berlaku bagi siapapun. Dengan rajin bertanya, belajar mencari ilmu pengetahuan dan teknologi (tepat guna dan ramah lingkungan) kita artinya semakin banyak menguasai Ilmu Tuhan (Sabda Alam). Betapa banyak kemudahan dan kemurahan yang kita rasakan berkat hasil penemuan para ilmuwan, mulai dari kendaraan, smart phone, Fb yang kita gunakan berkomunikasi ini merupakan sebagian dari kemudahan dari apa yang tergelar sebagai Sastrajendra.

Sastra Jendra dapat diartikan secara lebih luas dan mendalam seperti dinyatakan dalam KIDUNG KASUNYATAN berikut ini :

Kang gumelar ana ngarepmu (Yang digelar dihadapanmu)
Iku rupa kitab  (Berupa kitab)
Rupa crita – bab jagad  (Berupa cerita – tentang dunia)
Bab kowe lan aku  (Tentang kamu dan aku)
Bab kawula lan Gusti  (Tentang Kawula dan Gusti)
Nyawanga  (Lihatlah)
Banyu mili – angine semilir – geni murup   (Air mengalir-angin berhembus-api menyala)
Nyawanga   (Lihatlah)
Abure peksi – kelike wulung  (Terbangnya burung – keliknya atau pekik elang)
Kepake pitik – kluruke sawung   (Kepaknya ayam – kokoknya jago)
Kedhepe kartika – abure mega  (Kedipnya bintang – mega berarak)
Kabeh padha crita nganggo ukarane dewe  (Semua bercerita dengan caranya sendiri)
Tetesing bun kang crita bab gebyaring Baskara  (Tetesnya embun bercerita tentang fajar)
Kabeh kuwi rupa Sastra Jendra  (Semua itu wajah Sastra Jendra)
Yen kowe bisa mangerteni  (Kalau kamu bisa mengerti)
Unining sandhi kang ana swalike gatra  (Bunyi sandi yang ada dibalik gatra)
Rupa basa kang tanpa ukara  (Wajah bahasa tanpa ukara)
Kowe pranyata dipalilahi ngawuningani   (Kamu ternyata diijinkan untuk mengetahui)
Kasunyatan ing Jagad iki. (Realitas di Dunia ini)
Yen sliramu ngunandika bab rasa pangrasa   (Kalau kamu berbicara ttg rasa pangrasa)
Tamtu mbok weca tanpa tembung   (Tentu kamu baca tanpa ucapan)
Awit ing kana ora ana basa   (Karena disana tidak ada bahasa)
bisa gadug mbabarake isi ati   (Bisa menggapai menjelaskan isi hati)
Mangkonoa uga Sang Jagat Nata  (Begitu juga Sang Jagad Nata -Tuhan)
Denya ndedongeng – wewuruk lan wewarah (Bercerita-mengajari dan menjelaskan)
sadhengah rupa – apa bae – sakabehane   (Segala rupa-apa saja-semuanya)
Kawedar ake tanpa ukara   (Dijelaskan tanpa kata)
Awit mênêng kuwi dudu bisu   (Karena diam itu tidak berarti bisu)
Sanadyan ana ing sawiji iji   (Meskipun ada di hanya satu esa)
ning sawenehing pitakonmu  (Terhadap segala pertanyaanmu)
Wus cumepak jawaban ma ewu ewu   (Sudah tersedia beribu-ribu jawaban)
Nanging ora maido yen durung kababar   (Tetapi tidak mencela/membantah kalau belum disingkap atau diwahyukan)
Jer ora sadhengah pawongan gadug mangerteni  (Tidak banyak orang yang bisa mengerti)
Jawaban “nyata ning kalimput”   (Jawaban “benar tapi tersembunyi”)
Kang kinira wadi  (Yang dikira rahasia)

Kidung Kasunyatan di atas menggambarkan Alam yang Tergelar ini adalah Kitab Suci yang hakiki nan abadi, Hukum Alam adalah Tulisannya. Sebagian telah disingkap atau diwahyukan kepada para ilmuwan, termasuk Thomas Alva Edison, yang menerangi dunia dengan bola lampu listrik penemuannya. Selanjutnya akan diulas tentang “Hayuningringat Pangruwating Diyu.”

Hayuningrat berasal dari kata: Rahayu + rat (Keselamatan Dunia).

Pengruwating Diyu berasal dari kata : “Meruwat” adalah mengelola atau membenahi; sedangkan “Diyu” adalah sifat raksasa dalam diri kita. Jadi “Pengruwating Diyu” mengandung makna “meruwat, membenahi atau mengelola KEAKUAN atau EGOISME kita yang berupa hawa nafsu (Diyu)”. Kita tidak dianjurkan MEMBUNUH hawa-nafsu, tapi kita diminta untuk mengelola atau meruwat. Tanpa hawa-nafsu manusia akan mati, karena hawa-nafsu termasuk piranti untuk hidup!

Jika dirangkai secara keseluruhan, artinya adalah:

BARANG SIAPA YANG MAMPU MEMBACA DAN MENANGGAPI HUKUM ALAM (SASTRAJENDRA) MELALUI RAJIN BERTANYA, MENCARI ILMU PENGETAHUAN DAN TEKNOLOGI (TEPAT GUNA & RAMAH LINGKUNGAN) DAN BEKERJA MENGAMALKAN ILMU DAN MEMBAGIKAN HASILNYA UNTUK KEMASLAHATAN BERSAMA (DENGAN MERUWAT EGO MASING-MASING) MAKA DIA TELAH TURUT ANDIL DALAM MEWUJUDKAN KESELAMATAN DUNIA (HAYUNINGRAT). INILAH JALAN UNTUK MENUNDUKKAN SIFAT RAKSASA (DIYU) DALAM DIRI KITA. DIA SUDAH MEMAHAMI MAKNA DAN PENJABARAN “SASTRAJENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU.” HIDUPNYA AKAN MENINGKAT MENJADI LEBIH MULIA DAN LEBIH SEJAHTERA, SEPERTI YANG DIJANJIKAN DALAM KIDUNG DI ATAS. HIDUPNYA AKAN MEMBAWA BANYAK MANFAAT BAGI SESAMA !

SEBERAPA PUN BESAR HAWA-NAFSU ANDA, SEJAUH MASIH DAPAT DIKENDALIKAN OLEH AKAL-BUDI DAN HATI-NURANI, MAKA MASIH AMAN. HAWA NAFSU IBARAT API. BISA ANDA ATUR SESUAI KEBUTUHAN, UNTUK MASAK SAMPAI DENGAN KEBUTUHAN MEMBAKAR BATA. SEBAGAI CONTOH, UNTUK MENGGARAP LADANG 100 HA ANDA MEMBUTUHKAN ENERGI DAN AMBISI YANG KUAT, TAPI SEJAUH HASIL PANENNYA ANDA GUNAKAN UNTUK KEMASLAHATAN BERSAMA, TIDAK AKAN MENJADI MASALAH. MASALAH TIMBUL JIKA HASIL LADANG ITU ANDA KUASAI SENDIRI TANPA MEMPEDULIKAN SESAMA YANG MEMBUTUHKAN, LALU ANDA GUNAKAN UNTUK KESOMBONGAN DAN GENGSI BELAKA !

KEHANCURAN SEBUAH PERADABAN BANGSA SELALU BERKAITAN DENGAN PELANGGARAN SALAH SATU ATAU KEDUA HUKUM UTAMA ITU ! BANGSA YANG KURANG BELAJAR MENJADI BANGSA BODOH DAN MENJADI BULAN-BULANAN BANGSA LAIN. BANGSA YANG MENGUASAI IPTEK NAMUN TIDAK BERMORAL AKAN MENJADI BANGSA TIRANI YANG MENINDAS BANGSA LAIN !

OLEH KARENA ITU, PARA PENDIRI BANGSA TELAH MENGAMANATKAN KITA SEMUA DALAM PEMBUKAAN UUD 45 UNTUK MENCERDASKAN KEHIDUPAN BANGSA DAN MENJAGA PERDAMAIAN DUNIA, SERTA MEWUJUDKAN KESEJAHTERAAN BAGI RAKYATNYA !  INI SEJALAN DENGAN KIDUNG SASTRAJENDRA !

Salam rahayu sagung dumadi!

Ajaran BUDI Rahayu

Sabtu, 11 November 2017

Tiga Ruang Kehidupan


Apa yang anda sadari, ketika anda memulai hidup yang benar-benar hidup. Kita melupakan satu konsep vital yaitu "waktu". Dimana kita sering terjebak oleh "waktu". Waktu menggilas ruang semakin cepat, sementara kita mengabaikan hal itu. Saya menemukan permenungan dari laku spirit yang bangkit dalam relung jiwa. Ia menyata bahwa semua naskah atas kehidupan digelar oleh waktu.

Saya menemukan kesadaran bahwa hidup kita dimulai dari 3 perkara, mani, darah, dan nur. Selanjutnya 3 perkara menjadi sengketa atas pola-pola hidup kita. Kenyataan yang saya temui adalah hidup hanya berada pada 3 ruang yaitu; hari kemarin, hari esok, dan lusa / masa lalu, masa sekarang, masa depan. Dan itu kenyataannya. Siklus hari, tanggal, tahun hanya di ulang-ulang.

Lalu, sudahkan kita mengisinya dengan efisien? Penuh makna dan apresiasi ? Banyak dari kita sering terjebak pada pola ruang ini. Disaat kita hanya menghabiskan waktu bergumul dengan penjara terberat yaitu pergumulan perasaan yang dipengaruhi pola pikir, disaat itu pula kita tersesat. Medan pikiran selalu membuat diri hambar dan tersesat. Kita banyak terjebak pada kehidupan masa lalu dan masa depan, melupakan esensi hidup yang nyata di masa sekarang.

Ketika sulit bangkit dari masa lalu, kita menjadi lemah, tak semangat, power aura menurun memandang hidup adalah ilusi yang jahat. Mungkin kita pernah melakukan kesalahan terberat kala itu di masa lalu. Membuat kita terjebak dilingkaran ruang waktu. Semakin kita berandai-andai ingin mengulang masa lalu, dan berpikir "seandainya aku tak melakukan hal itu dulu" atau "seandainya aku bisa kembali ke masa lalu  menanggulangi dan memperbaiki hal itu dulu" . Sementara itu tidak sadar waktu terus berputar secepat mungkin dan anda belum berbuat apapun di masa sekarang.  Bukankah memperbaki diri tak perlu nanti, atau harus kembali terjerembab di masa lalu? Karena sekarang adalah kenyataan yang mengada bagi diri kita.

Selama anda terjebak pergumulan medan pikiran, selama itu pula anda telah terjebak sengketa pola pikir anda sendiri. Setelah anda terlepas dari masa lalu ketakutan kedua adalah sikap apatis menyambut masa depan. Kita sering kawatir saat dihadapkan pada masa depan? Meraba-raba masa depan justru lebih menakutkan daripada dikejar harimau sekalipun. Masa depan adalah hal yang belum terjadi, entah itu satu tahun mendatang, satu minggu mendatang, ataupun satu jam mendatang.

Ketimpangan-ketimpangan selalu hadir dan menipu. Tak sadar hasrat yang tertinggal dimasa lalu dan masa depan membuat buram kehidupan masa sekarang. Coba kita simak seksama, saat anda terus mengalami kesemrawutan pikiran anda sendiri, membuat lupa bahwa waktu berjalan cepat dan sisa umur tak ada yang tau pasti.  Jika anda bertindak, berubah, bangkit menunggu nanti. Sementara hari esok anda tidak mengerti bahwa anda masih tetap berdiri atau mati.

Bukankah seorang maestro besar dalam sejarah apapun bangkit dimulai dari keberaniannya melawan masa lalu. Dan menutup raba-raba pedut petang masa depan. Namun mereka  percaya mereka punya keteguhan iman yang menuntun pada satu keyakinan dalam menggapai apapun, atas tangga tujuan  termasuk ruang Tuhan.
Ingatlah bahwa pikiran adalah medan perang kata Meyer, iblis membunuh kita melalui pikiran-pikiran berlebihan. Penjara besar bukan besi baja dengan kepadatan titanium atau penjara ditengah samudera yang dikelilingi hiu ganas, namun penjara besar adalah keterbatasan pola pikir kita sendiri.

Seorang ayah, mengabaikan permintaan anaknya yang ingin diajaknya pergi bermain. Ia mengatakan "nanti ya sayang, kalau ayah sudah dapat THR an, kalau ayah sudah kaya, ayah sementara ini akan lembur kerja nanti setelah semua beres ayah akan mengajakmu bermain sesukamu". Ungkapan sang ayah menunjukan ketakutan yang besar pada masa depan serta membuatnya mengabaikan hal besar yang dibutuhkan anaknya dimasa sekarang ketika anak-anak membutuhkan perhatian dan indahnya bermain dengan waktu yang seharusnya diberikan ayahnya.

Ayah tersebut lupa sementara waktu terus berjalan cepat hingga membuat anaknya bertumbuh dewasa. Berganti dari masa kanak-kanak menjadi masa remaja. Saat itu sesuatu yang digapai ayahnya (harta kekayaan materi apapun) sudah tak diperlukan kala anaknya meminta di waktu kemarin disaat masih menjadi anak-anak. Orang-orang seperti ini akan selalu menemui Ketidaksukacitaan/ kebahagiaan dalam hidupnya. Ia hanya meraba-raba sesuatu dalam perkiraannya. Namun sering diskualifikasi dari kenyataan hidupnya. Masa hidupnya lapuk tak bermakna.

Apapun yang ada dalam kehidupan ini akan selalu berubah. Rata-rata manusia tak bisa menerima begitu saja segala perubahan. Perubahan membuat sebagian dari kita yang memeluk kemelekatan dihancurkan bertubi-tubi oleh genggaman hasrat kita sendiri. Hingga mereka tidak sempat hidup berkarya, bagi saya karya terbaik dalam kehidupan adalah bilamana seseorang telah menerima perubahan.  Menerimanya dengan syukur dan terus bangkit apabila hantaman kisah pilu terus menerpa, karena sejatinya hidup ini adalah proses pendewasaan (permenungan intuisi manusia menuju kesadaran dewa dan Sang Ke-Esaan). Hanya iman yang teguh dalam hati yang membabarkan kesadaran yang membuat kita tenang, teguh, kuat, semangat dalam berlayar di tengah badai ombak kehidupan.

Iman muncul dari spirit kasunyatan, bukan dari masa lalu dan masa depan. Gambaran Kasunyatan adalah keseluruhan fakta-fakta empiris; buah masa sekarang; dan kenyataan sekarang,  muncul dari permenungan mendalam menapaki portal waktu "now", serta laku pengalaman di masa sekarang, berawal dari penerimaan, rasa bersyukur, dan mengalami esensial secara langsung, merasakan kepekaan keluruhan panca inderawi yang melebur menjadi panca ndriyawi (batin) bahwa kenyataan tetap nyata sekarang. Bukan empirisme fakta-fakta yang terbawa dari masa lalu dan spekulatif masa depan.

Sementara "kasunyatan" sendiri adalah iman yang memecah menjadi kesadaran yang meng-utuh-kan realitas dari waktu ke waktu. Dari laku masa sekarang, yang sudah menjadi lelaku masa lalu dan lakon baru di masa depan. Yang sesungguhnya adalah berawal dari kenyataan masa sekarang. Mari belajar tanggap waskita, eling, sadar dan menyatu dalam pusat "sanubari" yang "menyatu".  Bahwa semua bukan perihal berawal dan berakhir namun terus menyatu menjadi trasendenitas transformasi pembaharuan terus menerus.

Kita mulai dari memelihara iman, karena iman adalah gantungan pangkal nafas yang terus keluar masuk tak berbentuk terhadap keberadaan mikro bersama makro. Biarkan hari-hari jahat, hidup lapuk usang dan berkarat. Namun "AKU" yakin iman akan membuat aku selamat. Hingga kiamat mengembalikanku pada Sang Pemilik Jasad.

~ Tunjung Dhimas Bintoro

Rabu, 01 November 2017

Sang Pengacau

Laku tekun dan pola-pola kehidupan setiap waktu dengan seksama saya amati, peranan diri kita selalu berubah-ubah mengikuti siklus semesta yang berotasi. Setiap kali terjatuh. Saya merasa bahwa pijakan saya pada luasnya samudera misteri ini, diakibatkan oleh siklus diri yang terhantam siklus besar semesta. Membuat diri yang belum mengerti realitas menjadi berkabuh dan bertahan dalam luka dan kesedihan. Tak mengapa ini hanya salah satu proses. Kemungkinan besar justru lebih membuka hijab-hijab kemengertian yang masih terbuntu dan inilah jalan belajar dan menempa diri menuju kesempurnaan.

Tataran energi berubah saat kondisi semesta berubah. Semisal saat kondisi cuaca dingin tentunya saya sangat tidak mudah untuk marah. Namun saat cuaca panas ditengah kemacetan jalanan kota, sungguh mudah sekali energi terpicu untuk pecah dan marah. Menggumpal keras di dalam jantung. Ini yang membuat jiwa-jiwa keruh. Dan tubuh menjadi sakit. Namun memang ada seseorang yang tak sadar menanam bibit "kemarahan, kedengkian, sikap iri, dan tamak". Ini saya sebut "sang dermo menungso" dia adalah seseorang yang menanam "bibit pohon iblis". Walau di kasih petuah-petuah apapun dia menolak karena manusiawinya terenggut dari dalam. Bahkan yang lebih mencengangkan dia terkadang menampakan diri sebagai seorang begawan, pinandhita, kyai, pemuka agama, pastor, dll.  Pandai bertuah, berceramah, bertutur, namun karakternya keras dan panas.

Kalau saya menyebutnya dalam tokoh fiksi "sang Sengkuni". Sangat berbahaya, dia mempengaruhi pola nalar untuk menyebarkan bibit pohon iblis. Walau tab covernya seorang guru spiritual sekalipun. Perlu kecermatan dalam menganalisanya. Namun bagi mereka yang peka terhadap perasaan. Aura/ energi orang tersebut dapat terasa. Biasanya muncul parasaan yang tidak stabil pada diri kita, misal memicu emosi, kesal, dll. Berada didekatnya tidak nyaman, kita merasa inferiority complex (rendah diri). Wataknya menunjukan sikap disharmonis dan destruktif, tidak dicocoki banyak orang disekeliling. Tanaman yang disentuh perlahan akan mati, binatang pun juga mengalami penurunan disfungsi tubuhnya, anak kecil suka rewel saat didekatinya. 

Pohon iblis banyak tumbuh justru pada orang-orang yang genius, pinter, dan cerdik namun cetek pada tataran kebatinan. Perlu adanya sikap terus-menerus mengolah rasa demi menyelaraskan seluruh fungsional sistem hierarki diri. Pohon iblis adalah "ruh sang pengacau" dalam kisah pewayangan dia adalah rahwana, dalam kisah agama samawi dia adalah Azazil sang malaikat surga yang dikutuk. Dalam tataran kesadaran leluhur jawa kawi dia adalah "Sang Dermomenungso", hawa energi buih kotor saat semesta memberadakan materialnya.

Mari kita bermawas diri, manembah dan ngudo rasa (menerima diri apa adanya dan bersyukur), terus bertransformasi menuju sikap eling (kesadaran yang mendalam). Guna menyirnakan bebendu, sengkala, dan goda kencana. Gugurkan pohon pohon iblis (sifat-sifat disharmonis). Jangan berambisi  dan mengukur diri menjadi orang  lain. Apalagi orang genius. Sebagian orang mungkin iri kepada para genius dan anak-anak yang berbakat, tetapi jika harus bertukar kehidupan, mungkin mereka akan lebih merana karena akan menemukan bahwa orang Genius memiliki kesulitan dan penderitaan mereka sendiri. Mungkin para genius itu iri terhadap mereka yang memiliki kemampuan biasa-biasa saja. Daripada saling mengiri, seharusnya kita menyadari kenyataan bahwa lahirnya kita saja adalah suatu prestasi yang ajaib.

~ Tunjung Dhimas

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...