Sabtu, 30 Desember 2017

Jalan sepi (2) ( episode Jokowi )

Dari DdB:

“Kamu tahu,” kata saya, “Mungkin berkah tak terhingga bagi Rakyat Prancis di tengah krisis global yang melanda negerinya adalah tampilnya Francois Hollande sebagai Presiden”

“Mengapa?"  Katanya berkerut kening.

“Hollande sebagai seorang sosialis memang dekat kepada rakyat dengan pribadinya yang rendah hati. Betapa tidak,  dia memilih skuter bermerek Vespa untuk kendaraanya ke mana-mana. Tinggal di Apartement sewaan. Kesederhanaannya, di tengah kehidupan dunia barat yang mengagungkan materialistis,  membuat rakyat Prancis tersentuh .

Mungkin dampak krisis global yang dipicu oleh kerakusan para pemimpin yang menampilkan gaya hidup glamour telah membuat rakyat muak dan Hollande memang sosok yang dirindukan. Walau tadinya dipandang sebelah mata bagi pencinta kapitalis
namun bagi rakyat, itu menjadi sebuah keyakinan tentang harapan di masa depan”

“Apa kebijakannya yang menyentuh secara personal?"

“Dia memotong anggaran 30% biaya kepresidenan termasuk gajinya sendiri. Kebijakan itu seakan dia berkata kepada elite Prancis. Cukup sudah kemewahan seorang pemimpin. Cukup sudah kemanjaan seorang pempimpin. Berkali-kali krisis terjadi karena para elite rakus. Saatnya pemimpin bekerja keras dan melupakan kemewahan karena jabatannya.

Tapi kamu harus tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Hollande sudah diterapkan oleh Jokowi ketika menjabat Walikota. Dia menerima gaji sebagai walikota namun tidak untuk pribadinya. Dia mendapatkan anggaran untuk fasilitas kedinasannya namun dia tidak membeli mobil mewah.

Ketika para pemimpin lebih senang berada di kantor mendengar laporan dari bawahannya namun dia mendengar langsung dari rakyat dan kemudian bersikap untuk memaksa bawahannya bekerja efektif untuk rakyat. Ketika kebanyakan pemimpin memanipulasi angka kemiskinan rakyatnya dengan menetapkan kriteria miskin sesuai standar statistik, Jokowi menetapkan garis kemiskinan berdasarkan apa yang dilihatnya langsung di lapangan. Maka jadilah Solo sebagai kota dengan tingkat kemiskinan yang tinggi. Ia tidak peduli bila karena itu citranya rusak. Tapi dengan itu membuat dia terpacu untuk memaksa dirinya dan bawahannya agar bekerja lebih keras untuk rakyat. Program sekolah gratis dan kesehatan gratis dicanangkannya lewat sistem yang memudahkan rakyat mengaksesnya.

Kesederhanaan Jokowi bukan berarti dia miskin. Sebelum menjabat walikota dia adalah pengusaha berkelas dunia dan sempat berkarir sebentar sebagai karyawan magang. Uang berlebih yang didapatnya dari bisnis tidak ditumpuk di bank tapi digunakannya untuk meluaskan kesempatan orang lain mendapatkan pekerjaan. Sebagai pengusaha, memang dia sukses walau tak sekelas konglomerat. Namun harta yang dia punya dia gunakan untuk keperluan pribadinya selama menjabat sebagai walikota tanpa harus membebani APBD. Itu sebabnya harta pribadinya menurun setelah menjabat sebagai walikota. Sangat kontras dengan pejabat lain yang justru hartanya bertambah setelah mendapatkan kekuasaan.

Jokowi tidak pernah berpikir bahwa kekuasaan adalah segala-galanya. Baginya kekuasaan adalah tanggung jawab spiritual yang harus dipertanggung jawabkan tidak hanya kepada rakyat tapi juga kepada Tuhan.

Pencalonan dirinya sebagai Gubernur ala demokrasi dan kemudian Presiden tidak membuat dia larut dengan gaya kampanye kapitalis. Tidak ada billboard yang memajang foto dirinya untuk dikenal orang banyak. Tidak ada iklan televisi yang bertujuan untuk menggugah orang untuk mempercayainya dan memilihnya. Dia lebih memilih mendatangi rakyat langsung. Yang kaya dan miskin dia perlakukan sama dengan rasa hormat yang tulus. 

Walau begitu tanpa inferior complex diapun tampil di hadapan para akademisi dan kelompok menengah  untuk berdialog apa yang sepatutnya dilakukan oleh pemimpin. Tak peduli bila sebagian mereka meragukan kemampuannya. Dia tetap fokus dengan keyakinannya dan tidak memaksa orang untuk memahaminya namun dengan kesederhanaannya membuat orang mengerti apa niat besar di balik kata-katanya.

Ini pelajaran mahal bagi siapa saja, terutama bagi Elite politik yang mengusung jargon Agama, nasionalis sosialis. Jangan lagi bermimpi bahwa partai besar akan membesarkan anda hingga pantas terpilih. Rakyat sudah bosan melihat gambar partai. Rakyat butuh pemimpin yang berhati mulia , yang dekat kepada rakyat dengan kesederhanaan bersikap dan berkata namun gagah berani membela kepentingan rakyat banyak; Yang memastikan orang kaya harus berbagi kepada yang lemah dan yang lemah terlindungi,“ kata saya.

“Luar biasa ya, Pak. Sudah saatnya para pemimpin entah itu di eksekutif, legislatif atau yudikatif untuk bersama-sama mengubah attitude-nya dari hidup kemaruk harta dengan segala trik atas nama rakyat menjadi hidup sederhana dengan kerja keras demi amanah untuk kesejahteraan rakyat banyak.“

“Yakinlah, kalau kita jujur dengan hati nurani kita, kehadiran Jokowi sebagai pemimpin adalah pesan Cinta Tuhan dan seharusnya menjadi inspirasi bagi siapa saja dalam meniti karir kepemimpinan." Karena kita punya segala-galanya tapi kita langka orang baik. Terutama yang menjadikan kekuasaan sebagai jalan pengabdian dengan menjauh dari kehidupan glamor namun mendekat kepada rakyat miskin. Ingatlah sabda Rasul yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwa “Tidak bakal susah orang yang hidup sederhana."

“Ya, Pak. Bagaimanapun, negeri kita yang besar ini butuh banyak pemimpin di semua lini. Hidup sederhana adalah kekuatan sesungguhnya. Bila amal kebaikan dengan sikap rendah hati  disemai di dunia maka buahnya akan didapat di akhirat, dan itu janji pasti dari Allah.”

“Tepat sekali,“ kata saya tersenyum. Anak muda ini memang cerdas”

“Terus gimana dengan keberanian?"

“Teman saya seorang politisi bilang,
sepertinya Jokowi tidak punya urat takut. Banyak kebijakannya dihindari oleh pemimpin sebelumnyakarena takut menimbulkan kekacauan politik. Maklum, walau presiden dipilih langsung oleh rakyat ratusan juta orang, namun setelah terpilih, negeri ini dikuasai oleh elite politik yang jumlahnya tidak lebih 1000 orang. Tidak sulit mereka menjatuhkan Jokowi apalagi kalau terjadi konspirasi dari mereka.

Tapi memang apapun kebijakan yang memaksa kita keluar dari zona nyaman, dia lakukan tanpa rasa takut. Walau berkali-kali diperingatkan dengan segala resiko goncangan politik, dia tidak peduli. Semakin tinggi rasa takut kita semakin dia kencang untuk melaksanakan.

Menurut saya, secara manusiawi tentu Jokowi punya rasa takut namun dia mampu mengalahkan rasa takut itu sendiri. Mengapa? Rasa takut itu bisa membuat pikiran dan pertimbangan kacau. Akibatnya banyak keputusan dibuat tidak tepat karena pikiran kacau dicekam rasa takut. Akhirnya, keputusan-keputusan itu justru menciptakan masalah yang lebih besar. Dampak keputusan yang salah amatlah merugikan. Banyak orang menderita, karena kesalahan kebijakan yang dibuat pemerintah. Sayangnya, banyak kebijakan tersebut dibuat atas dasar rasa takut akan masa depan. Rasa takut mengaburkan kejernihan berpikir, dan memperbesar masalah yang sudah ada sebelumnya.

Dari mana akar ketakutan semacam ini? Saya melihat, akar ketakutan terletak pada kegagalan memahami arti hidup sesungguhnya. Artinya, ketakutan lahir, ketika orang gagal memahami kenyataan apa adanya. Ia melihat dunia hanya semata dengan pikiran dan perasaannya, yang seringkali dianggap utopia. Menurut saya karena kita anggap hidup ini terlalu serius. Padahal hidup ini hanya senda gurau saja.  Engga percaya? Banyak orang menghindari rasa sakit. Mereka takut akan rasa sakit. Berbagai cara dilakukan, mulai dari yang masuk akal sampai dengan yang mistik, untuk menghindari rasa sakit. Padahal, rasa takut akan rasa sakit adalah rasa sakit itu sendiri. Usaha untuk menghindari rasa sakit akan menghasilkan rasa sakit itu sendiri. Ketika orang berusaha untuk menghindari rasa sakit, maka rasa sakit itu akan bertambah.

Banyak orang berusaha mencari kedamaian dalam hidupnya. Banyak yang melihat agama sebagai jalan menuju kedamaian. Banyak pula yang mencari jalan lain, guna memperoleh kedamaian di dalam hatinya. Namun, keinginan untuk merasa damai justru menciptakan perasaan tidak damai. Segala upaya untuk mencapai kedamaian hanya akan menghasilkan ketegangan. Ketegangan itulah yang menjadi akar dari rasa tidak damai.

Banyak orang menghindari rasa takutnya. Mereka mencari berbagai cara, supaya bisa melampaui rasa takutnya. Mereka bekerja keras untuk menemukan keberanian di dalam hidupnya. Padahal, keinginan untuk berani adalah tanda dari ketakutan. Semakin kita ingin berani, semakin ketakutan akan mencekam hidup kita. Orang yang mencari segala cara untuk melampaui ketakutannya justru akan selamanya dijajah oleh rasa takut di dalam hatinya. Banyak orang takut memberi, karena mereka takut kehilangan. Akhirnya, mereka menjadi pelit. Mereka menutup diri dari dunia, dan hidup semata untuk dirinya sendiri.

Padahal, di dalam hidup ini, semakin banyak kita melepas, semakin banyak kita mendapat. Orang harus keluar uang, guna mendapat uang. Orang harus memberi, guna mendapat. Orang harus melepaskan keinginan untuk damai, jika ingin memperoleh kedamaian di dalam hidup.

Semakin kita mengontrol orang dengan ketat, semakin semuanya kacau. Namun, semakin kita memberikan ruang kebebasan di dalam manajemen, maka produktivitas dan kebahagiaan anggota organisasi akan meningkat. Kontrol yang keras akan menghasilkan kebencian dari pihak yang dikontrol.

Banyak orang mencari pengetahuan di dalam hidupnya. Mereka pergi ke sekolah dan perguruan tinggi ternama. Mereka mencari pengetahuan di negara lain, jauh dari tanah air mereka. Padahal, pengetahuan yang sesungguhnya bisa dicapai, jika kita berhenti dan berdiam diri. Pengetahuan yang sejati tidak berada di luar diri kita, melainkan di dalam diri kita. Ketika bergerak dan berbicara, kita justru akan terlepas dari pengetahuan yang sejati. Kita lalu hanya akan terjebak di dalam jutaan pendapat yang mayoritas adalah omong kosong.

Jadi gimana seharusnya? Menurut saya dan pengalaman saya hidup di atas usia 50, caranya, ya, lepaskan semua ambisi yang berlebihan. Maknailah keseharian kita sebagai cara Tuhan berdialog dengan  kita. Hadapi keseharian kita dengan senyum. Mengapa? Semua peristiwa itu adalah cara cinta Tuhan untuk melatih kita sabar, rendah hati, ikhlas. Soal peristiwa yang terjadi itu hanya senda gurau saja. Itulah hebatnya Tuhan. Orang bego aja yang anggap hidup serius amat. Dan lihatlah Jokowi, dia bisa melakukan hal yang luar biasa karena dia mampu melawan rasa takut. Nyatanya aman-aman aja. Dia masih bisa santai piara kambing dan kodok. Orang lain saja yang tiap hari stress pakai baper segala, bawa orang demo segala…Mau ngapain?

“Ya, Pak. Luas sekali pemahaman bapak menilai seorang Jokowi. Saya sudah tekad akan menjadi salah seorang yang akan berada di samping Pak Jokowi. Bapak memberi jalan saya menemukan pesan cinta dari Tuhan, bahwa memilih Jokowi adalah itjihad orang beriman yang berahklak baik."

Bersambung.

Sumber: Buku Jalan Sepi (sedang  proses edit design & layout).              AB. Christian via Tunjung Dhimas Bintoro

Minggu, 24 Desember 2017

Wejangan Kembar Mayang

Berbeda itu boleh, tapi jangan terus injak-injakan, jangan pakek panas-panasan.  Konflik dan perang memang sebagai syarat evolusi menuju pada "muara ketiadaan". Tapi mengurangi dan mengontrolnya adalah bagian dari manusia sebagai pemimpin di bumi.

Jangan urun rembug kesadaran, dan perihal ke-sepirit-ualan apalagi berebut Tuhan dan kebenaran, apabila masih tuli pada detak jantung sendiri. Tak semudah itu menggapai evolusi perangkat terkuat dan tertinggi kitab jati diri yang kau sebut "kebenaran dan keniscayaan" . Karena ia berpagar baja hasrat kemanusiawian.

Menempuh tanpa laku yang di dasari tekad bulat, walau gurunya sehebat apapun hanya menjadi pundi-pundi pengidolaan dan pengkultusan. Bukan perihal guru dan ilmunya yang hebat tapi seberapa tangguh kita mampu mengisi bobot wadah diri masing-masing hingga tenggelam dan tidak mengambang.

Yah, akhirnya kinebat kaya gabah diinteri, ngalor ngidul, grudak gruduk kaya ombak lautan.  Tanpo tuju, tanpa tekad, anane mung ilu-iluan. Olehe mung tuas mbrabas kakean ampas. ; yah akhirnya dikebat seperti padi yang diinteri, berkeliling kesana kemari seperti ombak lautan, tanpa tujuan, tanpa tekad, adanya hanya ikut-ikutan. Dapatnya justru hanya ilusi yang menggebu-gebu, emosi bila guru dan alirannya diguncang sentilan lucu.

Ngger, kitab jati diri iku mapane ana ing laku pribadimu. Ungkalen rasamu, yen wareg sudonen manganmu, yen lali sudone turumu, yen osik, sudonen anggonmu kumpul bojo. Yen bingung lakonono opo kang piwedar gurumu manut ukuranmu, Yen sepi ojo cidera marang sepada-padamu, yen kemrungsung sungsangen ambeganmu. Yen tinemu suwung yoiku sampurnane urip lan mapane patimu. Dudu kosong dudu isi ananging rupo kang podo karo rupamu yen pegat yoiku jejeran manus manungsomu.  Kang ambabat jagad tanpo winates.

~ Tunjung Dhimas

Kamis, 21 Desember 2017

Problem in Marriage (Unfaithfulness in Marriage)

Description

Unfaithfulness in marriage may be defined as breaking of the marriage vows. It involves intimate sexual relations with a married or single person who is not a marriage partner. In much of western civilization there is an alarming upswing in unfaithfulness. In certain circles it seems almost the norm, yet this utter disregard  of the secreadness of the marriage vows is undoubtedly a major factor in the rapidly increasing divorce rate. Children in such marriages are often the innocent victims, suffering in many ways and becoming predisposed toward adult maladjustments.

Etiology

Lack of spiritual dedication. This condition is probably responsible for more unfaithfulness than all other causes combined. The unsave nature of man is corrupt and apart from God. It should be no suprise, then, that without godly retraint, men and women find extra-marital sexual relations difficult to resist. Even the believer in God is not immune from falling into the sin of unfaithfulness if he is content to remain a babe, spiritually speaking, or to follow the Lord afar off. There is no standing still in the Guru Sejati life. If there is not growth and maturity, then there is retrogression, which leads to disobedience. Although the carnal nature does not need to dominate the life of laku sumeleh/ shareh, it is still within him and is capable of gross immorality. Marital unfaithfulness is but one pitfall of a believer who refuses Guru Sejati / God's daily leading and who gives in to his carnal appetites.

General immaturity. This is one of the most common causes of unfaithfulness on the part of either husband or wife. Couples who marry young are particularly susceptible to immature actions, although maturity and age do not necessarily go hand in hand. One who has been accustomed to having his or her own disires satisfied immediately is hardly equipped for the demands of constant sharing imposed by marriage. Extreme self-centeredness contributes strongly to marriage unhappiness which often leads to unfaithfulness.

Lack of vocational skills. Highly industrialized societies demand high levels of vocational skills. Unless one has a reasonably adequate education and specialized training he is unable to secure a satisfying job. This fact bears directly upon one's happiness and success in marriage. If an individual is not happy at work and if he unable to furnish the home with necessary finances, many problems will ensue. Such dissatisfaction leads to bitter quarreling and outright deprivation. In these instances it is only natural for a marriage partner to turn to another for help and for comfort. Unwillingness to accept family responsibilities. The coming of children into the home and the unwillingness of either partner to accept his or parental responsibility can lead to an illicit relationship. The husband or wife who views children as something to tie one down and keep one from enjoying life is fair game for an outsider who capitalized on such attitudes.

Overcritical partners. The husband or wife who demands perfection of the marriage partner, who seldom compliments or praises, and who nags constantly, is inviting unfaithfulness. Although this does bot excuse unfaithfulness, it should, nevertheless, be recognized as a major factor in driving one's mate into the arms of another to seek solace for a wounded ego. Sexual dissatisfaction in marriage. Oftentimes, husband and wife have come from different backgrounds where the wonder and mystery of sex was viewed from entirely different perspectives. Some husbands see sex as only the fulfillment of a biological urge, and some wives view sex as something vulgar to be endured or tolerated but certainly not to be enjoyed. A lack of sound sexual information, and impatience in adjustments in the marriage relationship can lead to seeking sexual satisfaction with someone else.

Hostility toward the parent of the opposite sex. Anger that was felt
Was felt by a girl toward her father during childhood and that has persisted through adolescence and young adulthood may be projected later upon her husband. The faults of a father may take on greater proportions in the imperfections of a husband. Similarly, the somethering overprotectiveness of a mother may seem to be repeated in a wife who is somewhat domineering. Sometimes this hostility becomes generalized toward all those of the opposite sex, causing one to leave the marriage partner, seeking in vain for happiness from another. In-law interference. Well-meaning parents can contribute to unfaithfulness on the part of a son - in-law or daughter-in-law by constant and unwarranted interference. The inability of in-laws to permit a newly married couple to make their own decisions and live their own lives has, at times, been responsible for a weakened resistance on the part of husband or wife to an outsider who offered sympathy and physical response. In-laws who constantly take sides, who make unfavorable comparisons with former girl friends and suitors, and who fail to retire into the background at critical moments, may contribute to a broken marriage as much as does the third party in a triangle.

Lack of confidence in people. Some persons, becsuse of early experiences, seem incapable of trusting another human being. Consequently, they are supicious and distrustful of their mates. Other things being equal, trust begets trust in marriage. But some unfortunate persons, by their utter lack of confidence, drive a wedge between themselves and their marriage partners. This is often due to unhappy childhood experience such as a broken home or the death or desertion of one or both parents. Sometimes it is caused by the traumatic betrayal of a trust by a close friend or a respected adult. Lack of teaching regarding the sanctity and permanence of marriage. This is another principle causing unfaithfulnes. An increasingly prevalent attitude says, " Let's go ahead and get married anyway; if it doesn't work out, we can always try it with somebody else. " It is felt that marriage partners can be shed or exchanged in much the same way as a piece of merchandise. Certain segments of society smile patronizingly upon the person who has extra-martial affairs as long as he does not get caught. Moral and spiritual standards are largely ignored.

Illustration,

Identification; White male, age 30 presenting problem: The couple came to a marriage counselor because of unfaithfulness on the part of the husband. During separate sessions the wife said she wanted to keep the marriage together but felt that she could not handle the problem emotionally if her  husband continued in this way. The husband admitted by his mother. The father was a week although expressively loving personality. The husband's mother was undermonstrative and very strict religiously, without any demonstration of spiritual maturity. As a child, the client was submissive for the sake of "peace". He claimed he had an unhappy, "stifling" childhood.

During counseling he revealed that his sexual relations with his wife were unsatisfactory. He claimed that she could not meet his needs. As a result, he became moody and uncomunicative. The wife was submissive and tried to please him. He felt that most of the time she was " doing him a favour" rather than enjoying the relationship herself. In therapy  it became evident that the husband felt inadequate as a man and was attempting to prove his masculinity by extra-marital offairs. He was also preceiving his wife as a mother-substitute.

On the order hand, he feared women and withdrew from desirable emotional relationships with them. He darred not love his wife deeply since he felt this would involve domination and consequent loss of personal adequacy. He feared that she would dominate him, yet he wanted his wife to be a strong personality. He attempted to control her, yet he was dependent and resentful of his dependency needs. His wife's submissiveness angered and frustated him, causing him to lose respect for her. However, when she attempted to show strength, he rebelled for fear she would rob him of his self-confidences.

Treatment,

To approach the problem of marital unfaithfulness caused by general immaturity, it is of little value to lecture or rebuke the unfaitful partner. Much more is accomplished through the process of discussion and insight. The direction which therapy takes will often be determined by the results of psycho-diagnostic testing. Modern treatment of personality problems usually involves the of psychological tests. They are helpful in identifying particular ureas that the counsele may conceal, either deliberately or unconsciously. The general concept of maturity should be considered in relationship to a variety of situations in married life. The ingredients of healthy, whole-some emotional development should be examined. In this process the counselor should seek to help the client uncover past experiences that have hindered his development. Through insight and understanding, maturity will begin to emerge. Willingness to forego illicit sex relations can then be viewed as leading to greater permanent happiness, thus helping to resolve the outward problem of unfaithfulness.

Some couples are unprepared emotionally and psychologically to cope with the responsibilities of a family. In some cases, the unfaithfulness of a wife has resulted partially from the persistent, never-ending pressure of being responsible for young children with little if any help or recognition from the husband. Changing diapers, preparing meals, cleaning house, applying, bandages, answering the phone, setting quarrels, giving baths, teaching discipline- these and other responsibilities, without any break, can drive a woman to utter discouragement, and sometimes to unfaithfulness. Husband need to be encouraged to provide periodic release for their wives from household duties and the care of children, even if only for a few hours each week. The wife's physical condition, too, is vitally important. When unfaithfulness has been the result of an overcriticalmate, counseling is needed to uncover the causes of such attitudes. The person who critizes, nags and constantly complains, needs to understand what is causing his behavior. Frequently, a person who has this problem is attempting to compensate for feelings of inadequacy and inferiority. The counselor and countselee should examine acceptable, non-critical ways of gaining self - respect and the respect of one's life will be seen as the sinning or sinned-against partner. If a married couple is complaining of sexual dissatisfaction, the counselor should seek to convey an understanding and appreciation of the vastly different viewpoints regarding sex that a husband and wife may bring to their marriage. An adequate understanding of the counselor. The recommendation of a sound marriage manual may be especially helpful in the prevention or treatment of unfaithfulness.  Thr counselor's own attitude toward sex will, of course, be crucial one in treating the problem of unfaithfulness. The significance of sex . He attempts to interpret it in proper perspective - normal and God-given, to be statisfied and enjoyed within the limits of marriage as outlined in the Word of God. In treating  the problem of hostility toward the opposite sex, the counselor discusses with the subject the feelings of anger, hostility or resentment that may be traced to early childhood experiences. A sorting process is encouraged to help separate feelings toward a parent figure from those toward a husband or wife. When differences between the parent and the marriage partner are discussed, it is sometimes helpful in resolving hostility. An open confession and discussion of such feelings, to gether with an unreserved forgiveness of real or imagined wrongs,  will usually result in a new appreciation of one's mate, thus eliminating the temptation to seek happiness elsewhere.

In-law interference represents a delicate area,   and treatment here involves both the intellect and the emotions. The needs and characteristics of parents emerging into the "golden years" can be discussed and explained by the counselor with considerable benefit to husband and wife. The "leave and cleave" principle of Scripture may profitably be examined from many angels; in other words, the new relationship of husband and wife takes precedence over the old tie to parents. The former may still be cherished and respected, but it becomes secondary to the primary responsibility to husband or wife. The counselor's role here is proper perspective and at the same time encouraging emotional tolerance and consideration for relatives acquired by marriage. In addition, mutual agreement is sought in certain areas where in-law interference cannot be tolerated.

Experienced counselors know that unfaithfulness in marriage may stem from experiences one had as a child or youth. If the counselee reveals that his. Own parents were sparated, divorced or unfaithful, or otherwise maladjusted, he should be led to discuss these factors. He may well discover that his lack of confidence in his parents has interfered with his feelings of confidence in his own spouse, and hence has led to infidelity in marriage. With adequate insight, he will be able to distinguish between his parents and his spouse, thereby causing him to love and trust his mate. This improved attitude of mutual respect and confidence will mitigate a tendency to unconsciously "punish" his parents via his wife. Some marriage partners are deeply disturbed, requiring longterm therapy. As one wife told the psychologist during her first visit, " i don't think we need marriage counseling. Basically, we love each other, and that's not our problem. I think we've been this way all our lives, and it would be bad enough if just one of us was crazy, but we both are, maybe that's why we got married in the first place ! " through  psycho diagnosis and initial interviews it became apparent that the woman was not far from accurate.

Both were a long period of time. Counselors will do well to consider the nature and seriousness of the maladjustment presented by one or more of the marriage partners. Indeed, there are many who will respond only to professional diagnosis and long-term, Guru Sejati - centered therapy.

Undoubtedly the most significant factor in overcoming unfaithfulnes and other problems in marriage is spiritual conversion and dynamic soul growth. When a client is led to a saving knowledge of bright soul he is reciepient of a new nature as well as new desires. He is also empowered by the holy Spirit to control himself and to live an exemplary life. When he is yielded each day to Guru sejati he is sustained and led into paths of righteousness which allow no place for ungodliness. The spiritual Counselor, therefore, helps the client to understand that he spiritual being in need of spiritual help. This should be followed by a definite commitment to soul and a life that is pleasing to God. As a person is gradually led into a close walk with the Lord the counselor will need to help him resolve his feelings of guilt over his former unfaithfulness. When one his feelings of guilt over his former unfaithfulness. When one resolves his past feelings he is able to develop new and whole some attitudes toward his total marital and sexual adjustment. A process of counseling, combining both the emotional and spiritual aspects of the problem of unfaithfulness, can help a person completely overcome this problem and reestablish his marriage on a new and secure foundation.

Article by: Tunjung Dhimas Bintoro

Source:

Dewantoro, S.H. 2017. Suwung. Javanica.

Lewin, S.A. and Gilmore, John. 1962. Sex Without Fear, The Medical Research. Press, New York.

Mantofa, Philip. 2000. Before 30, and  Discipleship. Pustaka Rajawali.

Narramor, Clyde. 2001.Psychologigal Problems. Mchigan.

Parke, Davis and Company.1963. Pattern of Disease. Ground Publishing.

Omartian, Storme. 2004. The Power Of Praying Life. Imanual Press.

Samuel, Richard. 2002. And Then I Saw Him. Imanuel Press.

Minggu, 17 Desember 2017

Kitab Hidupku Hanya Mencintai Tanpa syarat

Sebelum mencintainya, aku tidak membuat syarat, agar hidupnya lebih panjang dariku, cintanya hanya untukku, atau apapapun. Tak ada syarat dalam cinta. Aku mencintai karena tak sempat aku melupakannya, dari awal cinta itu menyapaku pada daya tarik keindahannya. Bagi sebagian orang cinta memang hanya genangan kisah romantika yang menghiasi tulisan puisi. Bahkan cinta hanya jalan duka yang dikemas dengan lantunan kata-kata saja.  Jika aku berani menjalani hidup lantas kenapa takut mencintai.

Namun,  pada kenyataannya mereka hanya menolak cinta yang jelas nyata ada dan menjadi anugerah pada setiap lembaran takdir yang dijalaninya. Mereka mungkin saja merasa diri  bisa menjalani hari-harinya dengan baik, tetapi sesungguhnya ia lemah karena cinta yang memaknai hidup diabaikannya. Bagiku mencintai kekasihku, adalah kesempurnaan. Tak mungkin aku mencintai Tuhan tanpa mencintaiku kekasihku. 

Kenyataannya pula kita mengenal jatuh cinta hanya melalui debar rasa pada kekasih kita. Melalui cinta pada kekasihnya, membuat manusia mengerti cinta pada Sang Pencipta.  Benih cinta memang dari Tuhan, namun pohonnya adalah tumbuh pada kekasih berbuah lebat kasih sayang pada sesama. Seorang ibu dan ayah hanya mengasihi sayangi anaknya, dan sebaliknya anak juga mengasihi sayangi ayah ibunya. Kasih sayang adalah buah cinta sejoli.

Tak ada cinta sejati, melainkan melalui kekasih. Mungkin kita bisa meninggalkan bahkan melupakan ibu dan ayah untuk hidup mandiri dan melanjutkan perjalanan hidup. Bahkan  orang-orang terdekat kitapun dengan mudah bisa melupakan dan meninggalkanya, tapi tidak munafik kita sangat berat melupakan dan meninggalkan kekasih kita atau orang yang kita cintai. Karena disanalah benih cinta yang ditanamkan pada kita oleh Tuhan tumbuh bersemi menjadi pohon cinta yang kokoh.

Kita akan meninggalkan orang tua untuk menjalani hidup dengan kekasih, bahkan anak-anak kitapun akan meninggalkan kita untuk menjalani hidup dengan kekasihnya pula. Dan kita tetap menyatu dengan kekasih kita hingga menua dan mati,  memang begitulah cinta, yang sejatinya memanunggalkan bukan meninggalkan, seperti kita memanunggal dengan Tuhan. Bukan dengan kitab-kitab langit, namun sejatinya dengan cintalah manusia bisa memanunggal dengan Penggembala-Nya.

Jadi  sebelum mencintai kekasihmu kamu tidak membuatkan syarat, kan? Jangan gagalkan cintamu begitu saja. Temukan dia cintailah dia setulusnya, dari cinta pada kekasihmu kau membuahkan buah kasih sayang, lalu ajarkan pada sesamamu. Taukah arti kehidupan sesungguhnya adalah memberi dan menerima cinta berbuah lebat kasih sayang pada sesamamu, tak lebih dari itu.  Cintapun seperti hidup tidak semua liku-liku hidup bisa ditempuh. Hingga selamanya tak akan pernah ada jalan bahagia, lantas bila kita tak bisa meninggalkan hidup.  Kenapa harus meninggalkan cinta?. Meski pecinta mati, meski kekasih hilang. Meski pecinta menua, meski pecinta lenyap. Tapi cinta mereka akan abadi. Dan menggenangi kisah-kisah hidup di bumi yang meluas menjadi permadani ras generasi pecinta-pencinta yang kusebut manusia.

~ Tunjung Dhimas Bintoro


Sabtu, 16 Desember 2017

Pertalian Jiwaku

Harta itu adalah engkau kekasih, semenjak luka ini kusemayamkan dengan tenang. Diri ini terus bertahan, saat pertarunganku melawan hatiku sendiri. Jiwa ini berlindung padamu, hendaknya jangan dikecewakan harapannya.

Percayalah padaku bahwa kekayaanmu itu ada dalam diriku, bukan harta bukan jabatan. Melainkan cinta yang terus bertumbuh dari waktu ke waktu. Engkau tidak pernah bahagia bila menghilangkan aku dari hidupmu, begitupun aku tak akan mampu mengarungi hidup tanpa menyerahkan kekayaan ini pada engkau kekasih.

Karena sekejam apa jarak membuatnya berpisah dari tubuh ke tubuh lainnya. Namun sesungguhnya hanya aku yang mengisi dan kokoh abadi didalam hatimu.  Membuatku terbunuh hanya salah satu jalan untuk bunuh dirimu. Tanpa aku matipulalah engkau kekasih. Karena hidupmu hanya didera siksa  batin dan kemlaratan suka cita.

Percayalah, tak ada pernikahan yang kokoh tanpa cinta yang mendasarinya, percayalah tak ada kisah yang abadi melainkan kisah cinta dua pasang manusia. Percayalah tak ada manusia kuat dan bahagia bila ia kehilangan cinta pada dirinya. Hikayat ini kulantunkan sebagai ibadahku pada Tuhan, karena cinta-Nya kini menggenangiku melaluimu kekasih. Yang kutahu melaluimu aku mencintai Tuhanku.  Untukmu pertalian jiwaku kugantungkan pada setiap nafas dan bait-bait doa yang bermuara memapah harapanku sebagai manusia fana.

~ Tunjung Dhimas

Jumat, 15 Desember 2017

Alam dalam huruf Alif Lam Mim

Saya akan membabarkan hasil permenungan saya dari kode yang diungkapkan oleh:

Romo Krath. Bandy Nagoro
" Alam dalam huruf Alif Lam Mim"

Alif berlokus pada kening, Lam berlokus pada rongga dada, serta Mim berlokus pada tali pusat (perut).

Mengacu dari manuskrip suluk linglung Kanjeng Sunan Bonang;

Sejatining Allah iku pandulu ugerane ana ing sigaran jagad alif asmo wadah manungso wujud, sejatining  ingsun wes ambabarake wujud ingsung ana ing blegere manungso wujud.  Ingsun nyerat jism alif latief kang kababar ana ing bait ingsun; bait siji kasebut baitul mukkadas, bait loro kasebut bait beltajemur adammakna, bait katelu bait Alif Mukawadisi. Bait baitul mukkadas isine:
Sejatining parameyan ingsung lungguhe ana ing sirahe adam sakjroning sirah iku utek sakjroning utek iku dimak sak jroning dimak iku cipta ingsun kang murbo wisesa. Sejatining klarat ingsung lungguhe ana ing dadane adam sakjroning dada jantung sak jroning jantung ana ikeran howo ingsun tumuwuh wit sajaratul yakin kang kasebut rasa sejati sejatining rasa. Sejatining daya ingsun lungguhe ana ing wetenge adam sakjroning weteng usus sakjroning usus kalingga kang muser dadi daya ingsun. Iku sejatining kawujudan ingsung kang wus kawadah ono shiro jagad alit kang karan manungso wujud kang katuwuh dadi telu-telune tri tunggal cipta, rasa, karsa kang mamengku titah ingsun manungsa wujud lumaku ana ing gelaran jagad ambyar. Sirep kamungkut kari sak mrico jinumput.

Artinya:

Sejatinya Allah itu berada pada belahan alif bernama manusia berwujud, sejatinya AKu sudah membabarkan wujud-Ku di dalam manusia berwujud. AKu sudah membabar jism alif latief yang sudah tersirat dalam bait-Ku;  bait pertama adalah bait baitul mukkadas, bait ke dua adalah bait beltajemuradammakna, bait ketiga adalah bait alif mukkawadisi. Bait baitul mukkadas berisi ; sejatinya pusat keramaian-Ku berada di dalam kepala Adam, dalam kepala adam berisi otak, dalam otak adam berisi dimak, dalam dimak berisi cipta-Ku yang mewakili kehendak. Sejatinya klarat/ cahaya-Ku berada di dalam dada Adam di dalam dada Adam berisi jantung, dalam jantung ada pusat hawa-Ku yang berawal dari pohon keyakinan disebut rasa sejati. Sejatinya daya-Ku berada di perut adam di dalam perut berisi usus dalamnya lagi berisi kalingga yang melingkar menjadi daya-Ku. Itu semua adalah Kawujudan-Ku yang sudah ku tuangkan pada wadah yang kusebut Manusia berwujud yang menyatu menjadi tritunggal untuk menopang titah manusia berada di gelaran jagad luas. Hanya akan tergulung menjadi sebiji mrica.

(Serat, Wejangan Suluk Linglung Kanjeng Sunan Bonang).

Dari naskah tersebut jika dikupas makna Alif Lam Mim sangat mendalam sekali, disana jelas menerangkan bahwa Tuhan dan Manusia adalah kesatuan yang utuh. Jika manusia adalah perangkat kasar maka Tuhan menjadi perangkat halus. Dua sejoli manusia dan Tuhan ini sesungguhnya telah beriringan dalam satu periode kehidupan. Manusia sesungguhnya hanya sebutan sebagai pemetaan bahwa keterbatasan menjadi syarat mutlak menaiki tangga dasar kesadaran dalam kehidupan. Walau sejatinya manusia adalah organ bagian dari Sang Tuhan itu sendiri.  Karena Tuhan tidak bisa dikatakan mahluk, tapi Ia lah yang mengada meliputi apapun termasuk mahluk. Pemisahan kata "Tuhan" dan "manusia" adalah bentuk lain klaim pengakuan semata mengingat bahwa mahluk memiliki keterbatasan. Agar memudahkan manusia mengelola pikiran dan perasaannya sendiri untuk menggapai keseluruhan dari perangkatnya sendiri yang dipercayai sebagai Tuhan.

Mengurai Alam dalam huruf Alif Lam Mim.

Dalan khazanah penciptaan yang meliputi dunia paradoks multitrasenden, alam di bagi menjadi dua pula alam makro dan alam mikro , yang memenuhi keseluruhan realitas kosmik. Jika dalam bible, religion dan manuskrip dipetakan sebagai "Tuhan dan Manusia" , sementara dalam kajian sains dipetakan sebagai "Makro kosmos dan Mikro kosmos".  Dari kedua pemetaan itu diturunkan lagi menjadi multimeta yang beragam-ragam dan kompleks. Sesungguhnya Alif Lam Mim dalam diri manusia berlokus pada kepala, dada/hati, dan tali pusat/ perut. Yang secara epistemologi disebut sebagai Alif adalah kepala yang berisi cipta atau pikiran yang melahirkan ide-ide kreatif, jika dikelola kekuatan pikiran/ ciptalah yang melahirkan penciptaan-penciptaan warna warni dunia fana ini melalui setiap pribadi. Namun juga sering kali pikiran yang membuat hasrat pribadi manusia menjadi seorang perusak dan disharmonis.  Lam adalah dada/ hati yang berisi rasa/ qolbu, ia sebagai pengontrol dari keseluruhan unsur diri manusia. Perangkat rasa ini juga menjadi penyeimbang penuh dan memiliki daya tangkap luas dari keseluruhan hukum realitas, yang merupakan kiblat sifat Tuhan  yaitu kasih dan kebijaksanaan.  Mim adalah tali pusat atau perut, yang berisi daya/ karsa, perangkat ini yang memberikan kekuatan,  yang menjadi dorongan manusia untuk bertindak menggerakan seluruh organ tubuhnya untuk menggapai tujuan.  Dalam pradaya sains manusia secara alami juga memiliki sistem kelistrikan, jika Alif/ brain menjadi benih kelistrikan yang berupa neuron maka  sistemik proton-elektron mengkontemplasi karsa yang berada di talipusat, sementara Lam/ rasa menjadi resistor (tahanan dan keseimbangan).

Mahadaya semesta sungguh unik membentuk diri manusia yang merupakan robot paling spektakuler yang luar biasa dengan segala kompleksitas sistemiknya. Alif Lam Mim menjadi pondasi kongkrit keseimbangan. Yang masing-masing dari tiga unsur tersebut memiliki kinerja masing-masing sesuai pradaya kuasanya. Dalam ajaran kapitayan dan hindu, semesta memiliki tiga siklus yaitu mencipta, merawat, dan merusak yang menjadi syarat berjalannya kehidupan. Dalam mayapada mungkin konstelasi alam mencipta gunung berupa gundukan tanah kemudian merawat segala pepohonan dan binatang penghuni gunung, kemudian gunung meletus dan merusak segala unsur penghuni gunung. Lalu konstelasi alam melalui hujan, daur larva, dan pengolahan lainya menumbuhkan bibit baru mengadakan pembaharuan, serta dirawat menjadi gunung lestari lagi, kemudian meletus dan rusak lagi. Demikian beitulah tiga siklus kehidupan yang berada pada Alif Lam Mim.

Begitu pula dalam alam mikro manusia, pikiran mencipta ide, untuk mendapat dan mengolah makanan, kemudian makanan direasorbsi hati, sisanya dibusukan usus kemudian dikeluarkan menjadi kotoran, kotoran dikembalikan ke bumi, bumi memberi benih hewani dan nabati kemudian diambil lagi menjadi sumber makanan dan seterusnya berulang-ulang. Dalam ajaran hindu Alif Lam Mim adalah Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai perawat, dan Siwa sebagai perusak/ pembusukan.

Sebenarnya secara ringkas Tuhan telah mempribadi melalui Alif Lam Mim pada diri manusia. Hendaknya manusia mengelola Alif Lam Mim pada dirinya untuk mencapai puncak hakikat kesadaran. Serta menjadikan pegangan dan kendaraannya dalam meniti kehidupan. Alif Lam Mim bergerak dan hidup melalui zat kesah atau oksigen secara umum. Hendaknya melalui laku meditasi, mangening, sembayang selalu ingatlah pada lajunya nafas kita sendiri untuk mendapatkan unsur kesah murni yang menjadi penghidup Alif Lam Mim pada diri masing-masing. Alif Lam Mim dalam gerakan Sholat (Agama Islam).

Dalam sekapur sirih tembayat hakikat sholat Alif Lam Mim menjadi pondasi dasar dari hukum syariat sebagai tatacara menyembah pada bahasa tubuh (sembahyang).

Mengacu pada kutipan suluk wujil Kanjeng Sunan Kalijaga;

"Utamaning sarira mengertenono sejatining sholat, sembah lawan pujine sholat iku tumuwuh sakjroning batin, dudu dhuhur kalawan ashar, iku amung karan kembang budi atawi tatakrama waraga kang karan sembahyang, mraju amung mingeti ayang-ayang, kang karan sholat sejatine dhaim, tan kalawan wulu kadasi salat batin sabenere mangan, syahwat, turu, ngising."

Artinya: Yang utama pada diri ini seharusnya mengerti sejatinya sholat, menyembah dan memuji itu berasal dari batin, bukan mengerjakan dhuhur atau ashar, itu hanya bunga budi atau tata krama raga yang disebut sembahyang, tidak hanya melulu melihat bayangan diri, yang sholat itu sejatinya dhaim, tidak lantas diharuskan berhadas, sholat sebenarnya adalah saat kondisi apapun makan, bersegama, dan bertinja. Karena sejatinya dalam malam atau siang kita harus selalu ingat pada-Nya tanpa putus, itulah unggulnya manusia.

(Suluk Wujil, Kanjeng Sunan Kalijaga).

Dalam kondisi mengerjakan sembahyang bila dikupas sejatinya maksud dari manuskrip diatas adalah hendaknya kita mengerti hakikat Alif Lam Mim pada diri kita, agar menjadi kesempurnaan dalam beribadah. Dalam tatacara gerakan sholat jelas bahwa sholat menerangkan tentang lambang pentingnya menggali Alif Lam Mim pada diri.

Awal berdiri dan mengangkat tangan bertakbir mengingatkan kita pada Alif; tubuh berdiri membentuk alif; serta takbir tangan diangkat mengingat kepala yang berisi cipta; dari permulaan itu cipta selalu berada di awal.   Lantas tangan bersedekap di ulu hati mengingatkan kita pada Lam; hati karena rasa telah memanunggalkan Tuhan didalam diri. Terakhir ketika duduk diantara dua sujud takhiyat akhir: mengingatkan kita pada Mim; perut yang berisi daya/ karsa.  Karena kondisi duduk perut ditekan, untuk mengontrol daya karsa yang dipenuhi ambisi. Menahan kentut dan larangan melakukan gerakan tiga kali diluar gerakan sholat merupakan bentuk menjaga dan mengontrol Alif Lam Mim pada diri. Agar kita senantiasa menjaga dan mengelola tiga unsur Tuhan pada diri selama meniti jalan kehidupan. Mulai dari dalam hingga luar  (dari perangkat halus hingga perangkat kasar).

Demikian penjabaran singkat penulis tentang rahasia Alif Lam Mim yang harus diketahui dan digali agar menyempurnakan diri sebaik-baiknya diri ber-Azas Ke Tuhanan, dan berperikemanusiaan.

Rahayu,

~ Tunjung Dhimas Bintoro

Sintasi:

• Sejarah Tuhan. Karen Amstrong. Mizan.
• Surga dan Alam Baka. James L. Garlow, Dkk. D.P.T Imanuel.
• Tuhan Segala Agama. W. Mustika. Elex Media.
• Tatal Manuskrip Suluk Wujil dan Suluk Linglung Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Sunaryo.

Rabu, 13 Desember 2017

Dialektika Hujan dan Rindu bulan Desember

Saat sebuah pemahaman jauh lebih dalam dari sekedar terhujamnya lapisan dermis oleh dingin yang berlalu, dan jauh lebih kelam dari lintasan- lintasan hitam putih yang berkelebat di kepala. Mengilusikan seseorang yang begitu jauh maka aku harus tahu percakapan metafora antara rindu dan hujan. Yang sering menjadi jebakan bahwa jarak adalah senjata pembunuhan bagi para pecinta. Yang menjadi refleksi dari hati yang terbelenggu.

Hujan menginterpretasikan kedatangannya sebagai pengingat bagi para manusia. Menciptakan lintasan kenangan. Padahal rindu adalah pemilik yang sebenarnya. Hujan dan rindu bersimbiosis. Terkoneksi melalui cara-cara Ilahi, hubungan mereka terlalu misterius. Seolah rindu menjadi lebih kuat karena hujan. Dua mahluk Ilahi ini pembawa kesenduan di bulan Desember.

Rindu begitu setia menemaniku caranya memperlakukanku istimewa. Mendekapku dengan sentuhan hangatnya. Saat hujan menari dengan begitu riangnya diantara aku dan rindu yang duduk melihatnya. Hujan tertawa sembari menebarkan kesejukannya. Rindu dan hujan adalah sahabat yang baik bagi penyendiri sepertiku. Yang begitu suka menghilang dalam gelap.

~ Tunjung Dhimas

Laku Mbegawan (Menyembuhkan dan Mengelola rasa yang bergumul)

Saat dunia menjatuhkan melalui pikiran-pikiran yang di perdayai lingkungan, tentunya kepedihan dan duka cita selalu menghampiri tanpa permisi. Sering sesak dada itu membuat diri hilang arah bingung dan was-was gelisah tak menentu. Manusia adalah mahluk multidimensional, memiliki tataran tingkat emosional, energi, dan kesadaran. Tingkatan tersebut senantiasa berubah-ubah karena pengaruh gravitasi siklus alam. Kenyataanya neraka paling jahanam yang benar-benar ada adalah siksaan batin (pergumulan perasaan) yang sering menumbuhkan duka cita bagi manusia.
Duka cita sendiri hadir oleh beragam sebab seperti ambisi berlebihan, hukum berumah tangga yang memberatkan, kegagalan, ketakutan akan mengarungi hidup, kemelakatan; mungkin bagi orang-orang awam duka cita bisa disederhanakan lagi sebabnya seperti pada umumnya; tidak punya duit, jatuh mlarat, gagal skripsi, cinta tepuk sebelah tangan, dipaksa nikah, ditinggal selingkuh, selingkuhan lebih cantik,  bingung membagi warisan, takut mati, merawat sanak famili yang sakit, diri sendiri divonis sakit, pekerjaan yang tidak sesuai, dsb. Jika di skala-kan jalan duka cita sangatlah kompleks dan beragam.

Duka cita merupakan syarat mutlak manusia untuk hidup, sebagaimana manusia ditempati rasa. Rasa mewadahi kedua siklus kehidupan, jika tidak berisi duka cita maka diisilah suka cita.  Seperti kutipan wejangan R.M. Syahid (Kanjeng Sunang Kalijaga) ", Sejatining urip iku kenggonan roso-rumongso tumuwuh ing laku mati sakjroning urip; seneng sak jroning susah; susah sak jroning seneng, urip ngawulo roso, urip angon roso
Yen pengen kegayuhuhan urip mukti pakarti ngertenono lakuning rosomu dewe njur ngrumangsanono yen satuhuning urip iku ngemong roso".

Artinya: Hidup itu hakikatnya ditempati rasa dan perasaan, berada pada siklus dualisme yang menjadi satu yaitu hidup dalam mati; susah dalam senang dan keduanya saling berlawanan dan bergantian mengisi rasa. Hidup mengabdi pada rasa, hidup menggembalakan rasa, jika ingin menggapai hidup yang mapan atau bahagia mengertilah lakunya rasamu, dan hayatilah setiap pertukaran nafasmu yang menghidupi laku rasamu karena sejatinya hidup itu ngemong/ merawat rasa.

Saat rasa mengalami pergumulan, sejatinya ia sedang keruh, membutakan mata batin dan membuat batin tersiksa habis-habisan. Kondisi seperti ini memang sangat membingungkan,  radiasi energinya mampu mempengaruhi lingkungan, bahkan sugesti dan nasehat dari orang lain sangat sulit dicerna. Jika larutan pergumulan rasa ini semakin mendalam bisa saja menulari energi orang-orang dekatnya sehingga menurunkan aura yang cerah menjadi redup. Tak jarang Kepedihan ikut menghampiri si pemberi motivasi.

Selain mencari motivasi dari orang terdekat, biasanya ia mencari peneduh dan penyembuh pada Sang Tuhan sebagai pelarian yang dianggap puncak. Karena banyak pemotivator dan pembimbing spiritual menyarankan hal yang sama, Sang Tuhan adalah tempat bernaung terbaik. Namun disini terjadi kebingungan lagi, berharap bertemu Tuhan justru malah diperdayai pikiran yang hanya berujung pada konsepsi.

Orang awam mengira bahwa Tuhan itu hal yang bisa diraba dengan pikiran inderawi namun nyatanya hanya diketahui melalui namanya saja membuat indikator Tuhan yang ada pada dirinya pun sulit dikenalinya. Tak jarang juga ada yang berpikir bahwa Tuhan tidak bisa diraba atau dibayangkan karena terlalu luasnya Dzat Tuhan itu sendiri. Begitu juga seorang penspiritual yang mengira dirinya sudah mampu mengenali dan mengetahui Tuhan ternyata juga masih tersangkut dan terjebak delusi dan perkiraannya yang nyatanya masih ditataran inderawinya sendiri.
Manusia dan Tuhan dianggap berbeda namun sejatinya ia sama.  jika anda mengira manusia itu adalah hal yang lemah terbatas nyatanya  tak ada yang bisa menghitung jumlah sel pada tubuh manusia, sama halnya jumlah sel galaksi di semesta ini yang merupakan bentuk Tuhan yang besar itu. Percayalah itu hanya konsepsi. Orang penspiritual banyak yang masih dilema diwilayah ini. Ketika ia merasa kejatuhan duka ia bingung mencari naungan karena mengetahui bahwa Tuhan itu yang dinyatakanya ternyata dirinya sendiri (manusia itu sendiri). Lalu fakta indikatornya ia merasa Tuhan itu jauh dari tempat untuk meletakan  harapan, karena yang ia tau manusia itu lemah "buktinya jika manusia itu Tuhan, nyatanya aku sendiri masih lemah". Lalu dalam tataran ekstrim ia mengira Tuhan itu maha biasa saja. Dengan demikian pergumulan perasaan semakin sulit untuk disembuhkan.

Lalu bagaimana sejatinya Tuhan dan manusia, sejatinya keduanya satu. Yang memisahkan keduanya hanyalah konsepsi pikiran manusia sendiri. Satu-kesatuan ini berindikator pada sang rasa sejati yang berada jauh di pusat hati manusia.  Dari sanalah semua berawal dan berakhir dari sana pulalah semuanya melebur. Pemisahan-pemisahan perangkat pikiranlah yang membuat semua serba tersekat dan terbatasi. Namun lokus perangkat rasa sejatilah yang mampu menggelarkan kesadaran serta keimanan.  Banyak yang menyarankan produk-produk bagaimana cara menyelami hati untuk menggapai sang rasa sejati ini. Agar hidup cemerlang namun nyatanya tetap saja duka cita silih berganti menghujam siksaan batin.

Di tataran kesadaran level average, seseorang mampu mengerti segala level dimensi entah hukum kelangitan dan kebumian, hukum makro dan mikro kosmik. Namun ketika siksaan batin datang menghampiri banyak dari mereka yang kesulitan untuk menerima dan mengelolanya secara lugas dan mawas. Dari beberapa pengamatan penulis siksaan batin yang riskan dan berat adalah ketika seseorang menjalin kehidupan berumah tangga. Kasunyatannya belum terpecahkan formula rahasia pencerahan dalam menjalani hal tersebut.

Menjalani dan mengelola kesadaran dalam berumah tangga tidak semudah membalikan telapak tangan. Ternyata disana jutaan sel DNA semesta masing-masing memancarkan radiasinya tersendiri dari kedua belah pihak. Semakin menyurutnya laku kesadaran saat menjalani rumah tangga sering menjadi kekalahan telak pada manusia berjiwa istimewa sekalipun, mereka yang sebelumnya memiliki kewaskitaan, dan karomah lainnya sangat mudah terjatuh pada tataran ini. Berumahtangga menjadi momok menakutkan karena dari sanalah pewarisan surga dan neraka sedang dibangun. Sesungguhnya ini laku terberat dalam menempuh jalan dari manusia menuju Tuhan. Hingga kembali pada Ke-utuh-an. Kesadaran adalah kendaraan  untuk mengelola rasa kita sendiri mau diisi duka cita atau suka cita. Atau menjadikan keduanya menjadi bentuk tertinggi dari keseimbangan. (Mengabdi pada rasa; menggembalakan rasa; dan merawat/ memomong rasa).

Dari sekilas penulis hanya ingin berbagi tentang cara menyembuhkan rasa yang bergumul, yang menjadikan seseorang tetap bertahan mengabdikan diri pada rasanya; dalam laku mbegawan yang dialami penulis semenjak berumur 13 tahun. Untuk mencapai level kesadaran yang terbuka tentunya seseorang akan mengalami kesulitan saat rasanya mengalami pergumulan atau siksaan batin. Bagi sebagian orang laku untuk
Penyembuhanpun sangat diperlukan, hingga mengelolanya menuju jalan pencerahan.

Adapun laku tersebut adalah sebagai berikut;

Laku mbegawan level pertama diperuntukan bagi seorang yang masih awam dalam bidang laku rasa (kesadaran masih dilevel dasar).
Jika anda merasa kejatuhan dan disiksa batin maka penyembuhannya adalah:

1. Berdoalah; dengan berdoa setidaknya anda sudah mempercayai bahwa anda memiliki tempat untuk meletakan harapan anda sendiri di dalam Dzat yang ada bersama anda. Kata Onsteen pada bukunya "I DECLARE" bahwa berdoa adalah bentuk deklarasi pengakuan bahwa harapan kita berhak dimuarakan pada apa yang kita imani sebagai Dzat Yang Maha besar.

2. Berafirmasi positif; selalu katakan kata-kata positif pada diri anda dan lingkungan anda, karena kekuatan kata-kata niscaya menjadi sabda yang baik untuk tubuh dan diri kita.

3. Kurangi Bercandaan; istilahnya jangan terlalu banyak celomet/ celotehan/ guyonan karena terkadang anda lupa bahwa anda sedang membuat anda sendiri merendahkan dan meremehkan diri anda sendiri yang sejatinya ada dzat besar yang ada bersama anda.

4. Berkumpulah dengan orang-orang yang berenergi positif; jadi saat diri anda keruh hendaknya anda mencari orang yang suka bertutur positif, memotivasi anda, sevisi, dan semisi dengan anda, yang benar-benar anda merasakan ketulusannya membantu anda serta anda nyaman bersama mereka.

5. Perbanyak baca buku motivasi dan kurangi berada  pada aktivitas layar ponsel anda (kusus era modernisme).

6. Sebisa mungkin perbanyaklah memberi pada sesamamu dan lingkunganmu; entah memberi makan ternakmu, menyirami tumbuhan, atau membuang sampah pada tempatnya. Karena itu wujud bersyukur dan peduli pada diri dan lingkungannya.

Selanjutnya adalah level kedua, laku mbegawan tingkat "lakon" atau belajar mengelola rasa dengan laku prihatin; yang berarti meningkatkan kepekaan rasa bukan lantas menambah siksa diri. Adapun lakunya sebagai berikut:

1. Berpuasalah; dengan berpuasa kita memperhatikan segala bentuk zat kasar (makanan) yang masuk dalam tubuh kita/ rumah Tuhan ini. Entah puasa mutih, vegetarian, puasa weton, puasa daud, dll. Dengan begitu rasa akan terangsang karena sedang dibersihkan dari segala bentuk rasa kehasratan disana pula rumongso/ penggraitan rasa bekerja. Dan memicu kejumbuhan dengan rasa sejati.

2. Kurangi tidur perbanyak kondisi terjaga; jika tak mampu 24 jam, minimal jangan tidur diwaktu magrib atau dibawah jam 12 malam. Karena disaat tersebut sedang terjadi pertukaran energi yang keruh (bibit sengkala). Orang yang banyak tidur akan mudah gelisah dan tubuhnya semakin lemah. Ini sebenarnya karena menghirup energi-energi buruk yang di hembuskan semesta pada waktu tertentu. Kondisi terjaga juga mendekatkan kita pada tataran eling yang dekat dengan kesadaran (kejumbuhan Gusti).

3. Meditasi; meditasi adalah cara mudah mendekat dengan sang Dzat yang ada bersama kita. Meditasi juga merangsang kepekaan rasa. Dengan meditasi kita juga mampu mengecek nafas kita yang bergejolak dipengaruhi pergumulan rasa. Banyak produk meditasi yang diajarkan, dulu ketika penulis mengalami laku tersebut penulis menghitung keluar masuk nafas sampai lupa seperti tertidur namun tidak tertidur dari alam itu pencerahan didapatkan.

4. Mendekatkan diri dengan alam; kunjungilah tempat kramat atau yang berportal energi seperti sumber air, candi-candi, sungai, dan pegunungan. Lakukan kungkum/ mandi, meditasi, dan berdoa menyabdakan kehendak rasa ditempat tersebut. Agar kembali mendapat pencerahan dan keselarasan.

5. Memberikan uang pada pengemis selama tujuh hari berturut-turut. Hal ini adalah melatihkan rasa untuk bersyukur mendalam dan menghormati bahwa pengemis adalah guru/ auliak yang dikirim untuk mengajari setiap pribadi  agar senantiasa melihat dari mata batin bukan mata inderawi semata. Tujuh hari adalah terbentuknya ego manusia, sekaligus menguap pula ego tersebut setelah tujuh hari pasca meninggal. Ini membantu manusia agar tidak terjerat pada tarikan gravitasi akibat ego saat meninggalkan alam fana ini.

Demikian pengalaman dan pengamalan dari laku mbegawan penulis saat menjalani pencarian pegangan dimana sejatinya rasa ini dimuarakan. Untuk kemudian diperdayakan mengikuti hukum-hukum semesta. Memang mengakui punya Tuhan itu sangat mudah dilakukan. Namun menyadari bahwa kita memang hamba-hamba yang memiliki Tuhan itu memang berat.  Seluas apapun kesadaran kita membuka realitas, kasunyatannya kita adalah mahluk-mahluk yang merasa ber-Tuhan karena mengingat bahwa kita selalu butuh tempat untuk meletakan "iman" yang berisi harapan. Tanpa itu semua mungkin kita tidak pernah menginjakan kaki kita di bumi, dan benar-benar dikatakan hidup. Karena tanpa harapan manusia tak akan pernah mengenal diri dan Tuhan. Tanpa harapan pula niscaya tak ada perubahan. Jika ruh kesadaran adalah "kebijaksanaan" maka ruh iman adalah "harapan" jika keduanya mampu diselami maka inilah hakikat pengelolaan menuju keseimbangan.

Rahayu,

~ Tunjung Dhimas Bintoro

Sintasi:

- I DECLARE, Joel Onsteen.
- 7 Hal Yang Mencuri Suka Cita, Joyce Meyer.
- The Power Of Praying Life, Stormie Omartian.
- Wejangan Kiyai Ganjil, Manuskrip Sunan Kalijaga.
- Saat Semesta Berbicara, W. Mustika.
- Catatan Penulis.

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...