Teori reinkarnasi menurut Islam
Dalam Al Quran Surat Al Baqarah ayat 28 disebutkan, "Kenapa kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, kemudian Allah menghidupkan kamu, lalu kamu dimatikan dan dihidupkanNya kembali, kemudian kepadaNya kamu kembalikan."
Ayat ini sangat populer dijadikan sebagai justifikasi untuk membahas, mengkaji dan meneliti tentang ayat-ayat Alquran tentang reinkarnasi. Kemudian ada ayat lagi.
"Bangkitlah kamu, sesudah kamu mati agar kamu bersyukur." (Surat Al Baqarah ayat 56).
Dalam surat Al An'aam ayat 122: "Dan apakah orang yang sudah mati, lalu dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang ..."
Surat An Nahl ayat 97: "Barang siapa yang mengerjakan amal saleh, laki-laki atau perempuan dalam keadaan beriman, sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami berikan balasan untuk mereka dengan pahala yang labih baik dari apa yang telah mereka kerjakan."
Surat Al Maidah ayat 60: "Apakah akan Aku beritakan kepadamu tentang orang-orang yang lebih buruk pembalasannya dari (orang-orang fasik) di sisi Allah, yakni orang-orang yang dikutuk dan dimurkai Allah, di antara mereka dijadikan kera dan babi dan menyembah thaghut?. Mereka lebih buruk tempatnya dan lebih tersesat dari jalan lurus.
Surat Al A'raaf ayat 166: "Maka, ketika mereka bersikap sombong terhadap apa yang dilarang mereka mengerjakannya, Kami katakan kepadanya, 'Jadilah kamu kera yang hina."
Surat Al Waqi'ah ayat 60-61: "Kami menentukan kematian di antara kamu dan Kami berkuasa merubah rupa kamu dan menciptakan dalam (bentuk) yang tidak kamu ketahui."
Seorang sufi Muslim dunia, Jalaludin Rumi menuliskan suatu karya sastra yang penuh dengan filosofi kehidupan. Tulisan itu oleh sebagian orang dikaitkan dengan teori reinkarnasi.
Aku mati sebagai mineral dan menjelma tumbuhan, Aku mati sebagai tumbuhan dan terlahir binatang, Aku mati sebagai binatang dan kini manusia. Kenapa aku mesti takut? Maut tak menyebabkanku berkurang. Namun sekali lagi, aku harus mati sebagai manusia, dan melambung bersama malaikat. Dan bahkan setelah menjelma malaikat, aku harus mati lagi. Segalanya kecuali Tuhan, akan lenyap sama sekali. Apabila telah kukorbankan jiwa malaikat ini, Aku akan menjelma sesuatu yang tak terpahami.
Kata “reinkarnasi” asalnya dari kata re+in+carnis. Kata Latin carnis berarti daging. Incarnis artinya mempunyai bentuk manusia. Sedangkan reinkarnasi adalah masuknya jiwa ke dalam tubuh yang baru. Jadi, jiwanya adalah jiwa yang sudah ada, tapi jasadnya baru. Maka, reinkarnasi juga dapat disebut kelahiran kembali. Kondisi ini disebut pula sebagai migrasi jiwa. Artinya, jasad lama ditinggalkan alias mati, dan pada suatu kesempatan jiwa tersebut masuk ke dalam jasad baru, alias menjadi bayi kembali. Dalam bahasa Inggris reinkarnasi disebut sebagai reborn atau reembodiment.
Bagi agama-agama di Timur, agama-agama yang tumbuh di India, Tibet, Cina, Jepang, dan di Kepulauan Nusantara; reinkarnasi bukan lagi sebagai hal yang aneh. Reinkarnasi bukan dipahami sebagai kepercayaan atau keimanan, tapi sebagai hukum alam.
Bagaimana dengan reinkarnasi di Dunia Barat? Sumber dasar filsafat Barat adalah budaya Yunani dan Romawi. Pada kedua budaya tersebut, reinkarnasi diterima sebagai kepercayaan. Di antara filsuf Yunani kuno, Plato yang hidup pada abad ke 5–4 seb. M, percaya bahwa jiwa tidak pernah mati, dan mengalami reinkarnasi berkali-kali. Lalu, kapan reinkarnasi itu berakhir? Ya, segala sesuatu pasti berakhir. Menurut agama Hindu, reinkarnasi berakhir bila sang manusia mengalami moksa. Menurut agama Buddha kelahiran kembali tak akan terjadi lagi bila roda samsara telah berhenti. Sang Jiwa selanjutnya ke alam nirwana.
Sebagaimana saya kemukakan di awal tulisan, saya disini tidak membahas perdebatan tentang re-inkarnasi dari sudut dalil Ayat-Ayat atau Hadist karena kalau anda ingin mengetahui silang pendapat tentang itu bisa anda dapatkan dengan mudah dengan hanya mengetik kata “Re-Inkarnasi Menurut Islam” di google, dan disana akan banyak sekali artikel yang berhubungan dengan hal tersebut. Pada kesempatan ini saya ingin membahas tentang re-inkarnasi menurut hakikat atau menurut apa yang diyakini dalam masyarakat berhubungan dengan arwah atau roh para wali yang konon katanya bisa ber re-inkarnasi kedalam jasad orang-orang yang masih hidup dan hal ini nyata terjadi dan diyakini oleh sebagian besar masyarakat kita.
Apa Benar Roh Wali Allah Bisa Memasuki Jasad Orang Lain?
Anda yang bergelut dalam dunia gaib tentu hal ini bukan suatu yang aneh, kemasukan roh wali, kemasukan sahabat Nabi dan saya sendiri sewaktu kecil menyaksikan sendiri orang yang kamasukan roh saidina Umar bin Khatab, berbicara dalam bahasa Arab yang fasih, membentak banyak orang termasuk imam mesjid, semua orang takut karena yakin yang masuk dalam tubuh dia adalah benar-benar saidina Umar.
Kalau kita merujuk kepada al-Qur’an dan Hadist, bahwa roh seseorang ketika meninggal akan berada di alam lain, dia tidak akan kembali lagi kedunia termasuk roh para Nabi. Rohani para Nabi dan Wali yang telah disucikan akan berada di dalam Ketuhanan, tidak lagi mengurus urusan duniawi. Keabadian rohani para Nabi atau Wali bukan berarti mereka kemudian mengurus segala urusan duniawi apalagi masuk ke dalam raga orang lain. Atas kuasa Allah SWT, siapapun yang menyebut nama kekasih Allah, berdoa dengan memohon berkat dari Wali-Nya, maka Allah akan mengabulkan permohonan tersebut, yang mengabulkan bukanlah rohaniah Wali Allah akan tetapi Allah sendiri. Atas kuasa Allah juga, para wali kemudian membantu para murid-muridnya, dalam jarak dan waktu yang berbeda, semasa hidup Allah sudah memberikan kehendak-Nya kepada Wali Allah maka setelah Wali Allah meninggal dunia juga Allah tetap memberikan kehendak-Nya.
Fenomena “kematian” itu ternyata kompleks. Dan mencermati fenomena ini, membuat kita benar-benar belajar tentang kehidupan dan bagaimana menjalani hidup secara tepat. Dalamartikel ini penulis hendak menguraikan beberapa kesadaran terbaru penulis mengenai realitas yang terkait dengan “kematian” dan kehidupan pasca “kematian”.
Mati Sulit, Hidup Juga Sulit
Penulis pernah menjumpai seorang nenek yang 2 tahun hanya bisa terbaring di tempat tidur. Tubuhnya telah demikian kurus, tulang tinggal berbalut kulit. Ia pun tak bisa meluruskan kakinya. Dua tahun kakinya tak bisa ditekuk. Ada juga seorang kakek yang 8 bulan megap-megap kesakitan di ranjangnya. Tubuhnya juga sudah demikian kurus, hanya tinggal tulang berbalut kulit. Menyaksikan realita ini, wajar jika kita bertanya-tanya, mengapa hidup mesti berujung pada kondisi demikain. Itu jelas sebuah penderitaan tak terkira, bagi yang menjalaninya maupun bagi anggota keluarga yang merawatnya.
Semua yang terjadi – termasuk pada sang nenek dan kakek tersebut - tak lebih dari konsekuensi sebuah pilihan hidup. Gusti sudah memberi kehendak bebas pada manusia. Dengan kehendak bebas itu, bahkan Gusti tidak melarang ketika manusia memilih untuk terjun ke jurang. Nah, mengenai derita yang muncul akibat tindakan itu, itu adalah bagian dari hukum semesta yang berlaku pada siapapun.
Dalam banyak kasus, muncul persoalan ketika seorang manusia pernah membuat pilihan tertentu yang membuat sukma mereka terikat pada raga, walau raga sebenarnya sudah rusak. Ketika membuat pilihan itu, tentunya ada unsur ketidakcermatan. Ketika ketidakcermatan ini terjadi pada situasi genting, tentu saja konsekuensinya menjadi sangat berat.
Ternyata kehidupan ini memang kompleks. Raga manusia ini sebenarnya produk istimewa di jagad raya ini. Ia laksana kendaraan high class dan super canggih yang bisa dipergunakan untuk melakukan penjelajahan hebat. Nah, ras-ras lain di jagad raya ini, tidak sedikit yang ingin mendapatkan kegunaan dari raga yang dimiliki manusia.
Maka, mereka bisa menggoda manusia dan memancing manusia agar berada dalam kekuasaan mereka. Dan itulah yang acapkali terjadi. Hasrat-hasrat tertentu manusia- yang sebagian besar sangat halus dan tersembunyi, menjadi pintu masuk ras-ras lain untuk mengambil alih kendali dan jika mungkin, menguasai. Ras-ras itu umumnya menawarkan bantuan untuk mendapatkan apa yang dihasratkan manusia. Ketika manusia setuju, transaksi terjadi. Dan masuklah ras-ras tersebut ke dalam raga manusia lalu merubah tatanan di sana. Maka, terjadilah keterikatan itu dan manusia bisa tak lagi memegang kendali bahkan sampai tak punya kuasa atas raganya sendiri.
Pada jangka pendek, ikatan dengan ras lain, biasanya belum terlihat dan terasa buah penderitaannya. Malah bisa jadi berdampak sesuatu yang terkesan membawa kegunaan. Sesuai yang dihasratkan manusia. Tapi pada jangka panjang, ujungnya adalah penderitaan. Salah satu bentuknya, manusia menjadi sulit mati tapi hidup pun menderita. Atau, jikapun bisa mati, sukma yang telah berpisah dengan raga, tidak mencapai ketuntasan sebagaimana wajarnya. Sukma tertahan di atmosfer bumi tak bisa meneruskan perjalan ke tempat yang sewajarnya ditempati.
Fenomena manusia yang sukma atau jiwanya sulit berpisah dengan raganya, bisa dijelaskan sebagai berikut. Ras lain yang sudah mendapatkan persetujuan (baik secara sadar maupun tak sadar) akan masuk ke dalam raga dan menjadikan raga itu sebagai perangkat atau rumah barunya. Dari dalam ia mempengaruhi pikiran, perasaan, dari orang yang raganya ia tempati. Ras tersebut lalu menjadi pengendali bahkan penguasa terhadap orang yang raganya ditempati itu. Dan akan mendorong orang tersebut untuk bertindak sesuai kepentingannya.
Proses selanjutnya, ras ini tak mau kehilangan raga itu. Walaupun raga itu sebenarnya telah rusak, ras ini memberikan energi yang dimilikinya. Sehingga raga tersebut tetap punya daya hidup. Walaupun seseorang sebetulnya sudah punya kehendak meneruskan perjalanan ke dimensi baru dan lepas dari raga itu, ia tak bisa melakukannya. Nyawanya tak kunjung lepas, karena terikat.
Mereka yang sukmanya tertahan dalam raga yang telah rusak, bisa dibantu oleh pribadi berkesadaran yang dipenuhi Kasih Murni. Pribadi yang sadar ini yang mengalirkan energi kasih murni, dan melakukan negosiasi dengan ras-ras yang memasuki raga, agar mereka bisa mengikuti aturan main semesta, dan terjadi kepulihan pada pribadi yang semula terikat.
Dengan kasih murni, segala sesuatunya dipulihkan, diharmonikan, dikembalikan pada proporsionalitasnya. Ketika ras-ras yang semula memasuki raga itu bersedia keluar, memutus ikatan, dan raga kembali pada kemurnian, orang-orang seperti yang digambarkan di atas, bisa kembali ke jalan kehidupan yang tepat dan proporsional baginya. Lugasnya, mereka bisa meninggal dunia dengan tenang, untuk kemudian menjalani fase kehidupan baru di dimensi berbeda.
Arwah-arwah Tertahan

Penulis memiliki rekan-rekan seperjalanan yang sering membantu arwah-arwah yang tertahan di dimensi yang jika dibahasakan dalam bahasa manusiawi, “penuh dengan ketidaknyamanan.” Rekan-rekan penulis di Magelang yang sama-sama belajar laku spiritual Jawa Kuna , tidak cuma 1-2 orang yang memiliki pengalaman membantu arwah-arwah tertahan. Nyaris semua rekan di sana pernah mengalaminya.
Sebagai contoh, rekan penulis bernama Giok yang suatu saat ke Madura guna mendampingi rombongan peziarah. Saat rombongan peziarah itu mulai berdoa di makam tujuan, Giok memilih tempat sepi untuk bermeditasi. Ternyata, dalam meditasi itu ia malah didatangi oleh arwah-arwah yang minta disempurnakan. Dalam penuturannya, ia seperti dikerubuti oleh tubuh-tubuh energi yang berterbangan mengerubutinya. Maka, sesuai dengan kesadaran yang ia miliki, Giok mememenuhi permintaan arwah-arwah itu dan mengalirkan energi murni dari pusat hatinya sambil menyabda kesempurnaan bagi para arwah. Maka, arwah-arwah itupun melesat naik dan memasuki terminal penantian sebelum terlahir kembali dengan raga baru.
Mengapa arwah-arwah ini tertahan? Jawaban sederhananya, karena mereka terlalu melekat dengan berbagai kesenangan ragawi dan pikirannya juga terikat dengan apa yang ia tinggalkan di Planet Bumi. Saat di penghujung kehidupan dan menghembuskan nafas terakhir jiwanya tidak jernih, justru penuh dengan gejolak. Termasuk yang membuat arwah tertahan adalah pikiran yang dipenuhi dogma dan ketakutan yang ilusif akibat dogma tersebut.
Dimensi Vertikal dan Horizontal
Ada hasil perbincangan penulis dengannya yang perlu diungkap dalam bagian ini, yaitu mengenai dimensi vertical dan dimensi horizontal di jagad raya ini. Dengan memahami ini kita bisa mengerti apa yang terjadi pada arwah atau sukma yang telah lepas dari raganya.
Secara sederhana dimensi vertical menjelaskan keberadaan lapisan-lapisan semesta dari aspek kehalusan/kepejalan energi yang membentuknya. Semakin tinggi dimensi, ia semakin halus karena semakin murni. Sementara semakin rendah, semakin pejal bahkan kasar.
Nah, arwah atau sukma yang telah lepas dari raganya, memasuki dimensi vertical ini sesuai dengan tingkat kesadaran dan ketuntasan dalam menjalankan missi dan tugas kehidupannya. Mereka yang berkesadaran rendah, tidak menuntaskan missi, dan melekat pada bumi, akan ada di dimensi rendah yang membawa ketidaknyamanan.
Arwah atau sukma yang semula ada di dimensi ini disempurnakan, dalam artian dinaikkan posisinya, diangkat ke terminal terdekat di mana ia bisa menunggu kelahiran baru dalam kenyamanan. Nah, kata “terminal” ini adalah pembahasaan manusiawi saja. Pada esensinya ia hanya sebuah tempat atau dimensi lembut dimana sukma berhenti sejenak, beristirahat, sebelum kemudian mendapatkan kehidupan baru dengan raga baru.
Nah, dimensi vertical ini tak bisa diungkap ada berapa lapis. Yang pasti, semakin tinggi ia semakin halus. Dan ada sukma-sukma yang kesadarannya demikian tinggi, jiwanya jernih, sekaligus telah menuntaskan missi kehidupannya, yang setelah berpisah dengan raga mendiami dimensi yang sangat halus. Di dimensi ini mereka hidup tanpa raga sebagaimana manusia yang ada di bumi. Pada tataran tertingginya, bahkan keberadaannya omnipresence, tidak terikat ruang dan waktu sehingga bisa ada dimana-mana, dan
Sementara itu, dimensi paralel berkaitan dengan keberadaan semesta pada dimensi fisiknya, yang terdiri atas planet, bintang-bintang dan galaksi. Dimensi paralel inilah yang menjadi tempat tinggal bagi sukma-sukma yang karena tingkat kesadarannya dan kejernihan jiwanya, masih harus hidup dengan raga tertentu dan berada pada ruang tertentu.
Orang-orang yang semula berada di Planet Bumi, saat sukma telah berpisah dengan raganya, bisa kembali ke Planet Bumi atau menempati satu planet baru di semesta yang demikian luas ini. Ada tempat yang tak terbatas jumlahnya guna menjadi panggung kehidupan baru bagi jiwa-jiwa yang langgeng.
Sebelum menempati raga baru di salah satu tempat di dimensi paralel inilah sukma-sukma berada di terminal yang sesuai dan berada dalam kenyamanan.
Moksha
Dalam kesadaran penulis, mokshabukanlah berarti usainya lakon kehidupan sang jiwa. Tapi itu hanya satu capaian tertinggi dari satu jiwa, ketika ia bisa mencapai tataran tidak lagi terikat oleh ruang dan waktu, dan tidak mesti hidup dengan raga tertentu.
Mereka yang moksha, tidak meninggalkan sampah raga di muka bumi. Mereka bisa mengurai raganya dan mengembalikan semua unsur itu kepada asalnya dengan kesadaran. Yang api kembali pada api, yang tanah kembali pada tanah, yang air kembali pada air, yang udara kembali pada udara. Dan tinggallah jiwa yang murni.
Lebih jauh, mereka yang moksa bisa memutus mata rantai reinkarnasi dan terus melanjutkan perjalanan menuju kehidupan baru yang lebih murni. Moksa dengan demikian, adalah kata yang menggambarkan kondisi sempurna yang dicapai manusia.
Mereka yang kamuksan hidup dalam dimensi vertical yang sangat halus. Tidak beraga, tidak pula terikat ruang dan waktu, bisa omnipresence, ada dimana-mana. Namun, karena pagelaran kehidupan di jagad raya ini tak pernah usai, mereka yang telah mencapai kamuksan pun tidak menutup kemungkinan bisa kembali ke muka bumi, jika diperuntukkan demikian, tanpa membuat mereka menderita layaknya orang kebanyakan yang hidup di bumi. Mereka kembali ke bumi bukan karena daya tarik bumi dan keterpaksaan, tapi karena tugas tertentu. Sosok-sosok demikianlah yang dalam kesadaran penulis bisa dimengerti sebagai para avatar di Planet Bumi.
Apakah ada reiinkarnasi ?
Idealnya, setiap manusia yang pernah hidup di muka bumi tidak mesti kembali ke muka bumi atau mengalami reinkarnasi. Mereka bisa terus melanjutkan kehidupan dengan mendiami planet lain, baik di galaksi yang sama atau galaksi yang berbeda. Capaian itu sesuai tataran perjalanan mereka ketika hidup di muka bumi. Bahkan idealnya manusia bisa mencapai tataran ketika tidak lagi terikat oleh dimensi ruang dan waktu, benar-benar bettransformasi menjadi keberadaan dalam gatra energi murni yang omnipresence, bisa ada di mana-mana.
Tetapi kenyataannya, manusia yang dilahirkan di Planet Bumi memilikifree will. Maka selalu ada kemungkinan manusia bertindak yang menyimpang dari penugasan atau missi sebagaimana tertera dalam cetak birunya. Manusia juga bisa membuat jiwanya melekat pada Bumi dan segala perkara menarik yang ada padanya.
Faktor kemelekatan inilah yang menjadi pemicu manusia mengalami reinkarnasi. Dalam perbincangan dengan R Aprilia Gunawan, partner penulis dalam menyelenggarakan Pelatihan Medseba, penulis mendapatkan konfirmasi terhadap apa yang tumbuh dalam kesadaran penulis. R Aprilia Gunawan yang diberi talenta bisa membaca perjalanan jiwa, mengungkapkan penyaksiannya bahwa jiwa mengalami reinkarnasi karena berbagai faktor.
Jiwa-jiwa yang pada saat hendak memasuki “kematian” yang merupakan gerbang kelahiran baru, pasti mengalami reinkarnasi ketika ada dalam kesadaran yang tidak jernih dan tidak benar-benar berserah diri total. Ketika seseorang pada ujung kehidupannya di Planet Bumi ini masih memiliki hasrat ragawi yang bergolak, masih ada rasa penasaran karena ada kesenangan ragawi yang belum puas dinikmati, ia pasti mengalami reinkarnasi.
Demikian pula, ketika seseorang yang berada dalam ujung kehidupan, masih memikirkan apa yang dia tinggalkan, entah itu pekerjaan yang belum selesai, keluarga yang sangat disayangi, harta benda yang melekat kuat pada jiwanya. Reinkarnasi adalah kepastian. Bagi yang seperti ini, daya tarik bumi menjadi demikian kuat sehingga menarik sang jiwa untuk kembali.
Bahkan orang-orang yang memiliki pengetahuan spiritual luas, bisa saja mengalami reinkarnasi, kembali ke Planet Bumi. Faktor penyebabnya antara lain karena merasa diri sebagai “orang suci” atau “orang terpilih”. Kesenangan yang mempertebal keakuan karena dianggap sebagai mahaguru juga bisa menjadi factor pemicu reinkarnasi.
Tentu saja, tidak semua orang mesti dan pasti mengalami reinkarnasi. Namun ada hukum semesta yang memungkinkan orang kembali hidup di Planet Bumi. Pada ujungnya, kita sendirilah yang menentukan apakah akan bereinkarnasi kembali di Planet Bumi atau meneruskan perjalanan ke dimensi baru yang lebih halus dan sempurna.
(Tunjung Dhimas)
Sumber:
~ Musaf Sufi tafsir - Jalalalyn (23-56).
~ Kajian Islam Nusantara (Prof. Soepartono).
~ Re-inkarnasi, Inkarnasi, dan panitis (Deny Supoyo)
~ Islam Dinamis (E. Ainun Nadjib).
~ Islam Abangan; Puisi (Gus Mus).
~ Metseba (S.H. Dewantoro)
~ Dharmagandul ( Damarshasangka)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar