Sabtu, 28 April 2018

Ilmu Bukan Barang Dagangan


Sejatining ngelmu kui ora keno dol tinuku, Ilmu kui amung titipan dermo urip, mergo sarano ilmu, uong biso urup. Urup ngempakne panggraitane, iso mbel sak dulito ngurip ngurupi anggone sesandang, pangan, papan. Tumuju marang mapane urip  sampornane pati.

Artinya: Ilmu itu sejatinya memang bukan barang yang diperjual belikan, Ilmu itu hawa lembut titipan Gusti. Karena dengan  ilmu manusia bisa menyala. Menyalakan sifat penginderaannya. Bisa menggerakan sifat-sifat Gusti yang menggatra pada dirinya untuk menghidupi-merawat- mengangkat martabat atas gatra/organ-organ tersebut dengan kebutuhan sesandang, pangan, dan papan. Agar menuju hidup yang mapan, dan mati yang sempurna. Begitulah hakikat bersyukur yang sebenarnya.

Iilmu memang bukan suatu barang yang memang bisa diperjual belikan. Karena ilmu itu hawa pengertian dari yang maha mempribadi. Di tulis oleh-Nya dalam satu keutuhan tubuh pribadi. Sanepan filosofi ajaran jawa sangatlah bijaksana. Dari situ hendaknya setiap kata itu diungkap serta dimaknai agar tidak salah kaprah hingga memicu kesalahpahaman pada pengertiannya.

Ilmu itu sesuatu yang bisanya dibagikan, untuk memicu pengetahuan, pengertian, dan pemahaman pribadi dalam mencari penjelasan atas anugerah Sang Maha Mempribadi. Dibagikan dengan tulus dan penuh kasih. Ketulusan itu datangnya dari pusat hati, bukan sesuatu yang disuarakan oleh jebakan konsepsi lingkungan umum.

"Ilmu iku ketemune sarono laku, angel e yen durung ketemu"

Artinya: Ilmu itu ketemunya karena laku pembuktian-oserving, sulitnya bila belum ketemu.

Banyak cara orang untuk berbagi serta mencari tentang ilmu, ada yang menuliskan pada buku-lontar, ada yang berbicara langsung (verbal direction), lewat sarana prasarana institusi (sekolah, universitas, pesantren) entah yang formal ataupun non formal. Untuk pencarinya, ada yang melakukan serangkaian laku puasa, kungkum di air, naik turun gunung, atau menemukan guru dari alam sunya ruri ataupun pembimbing manusia.

"Jer Basuki Mawa Bea"

Artinya: Segala sesuatu untuk menggapai tujuan, butuh biaya.

Ketika seorang membagikan ilmunya melalui karya menulis, melukis, serta verbal linguisitik disitulah yang hendaknya dihargai. Bukan ilmunya yang dijual/dibayar, melainkan karya inovasinya dalam menyampaikan. Karena sejatinya hidup merekapun sama dengan yang lain. Butuh sanggeman urip, sandang, pangan, papan sebagaimana telah menjadi kasunyantan kehidupan.

Saat menulis, mereka butuh tenaga, bahan untuk mencetak buku, yang tentunya semua perlu pengeluaran finansial. Saat menyampaikan secara verbal juga membutuhkan makanan, minuman, atau rokok sebagaimana kebutuhan jasmaniah yang diperlukan. Atau ketika mengajar di institusi
tentunya tenaga ketubuhan si pengajar dan sarana-prasarana juga butuh finansial untuk pengelolaanya. Jadi kalau bicara soal ketulusan dan pengabdian itu tidak serta merta tentang sesuatu yang gratis. Namun lebih mengamati seksama, menyadari kasunyantan kehidupan. Utamanya meningkatkan kesadaran untuk membenahi mental miskin hingga berubah menjadi mental kaya. Agar hidup selaras sejahtera hingga berbuah suka cita dari dalam diri.

Jadi, yang tidak bisa dibeli atau dibayar itu adalah proses pencapaian ilmu dari perjalanan setiap pribadi. Namun media, alat, serta sarana-prasarananyalah yang tetap membutuhkan upah atau biaya sesuai tata letak penggunaannya. Yang sejatinya itu menjadi bagian dari kasunyatan laku semesta dan kehidupannya.

Klaten, 29 April 2018.

~ Tunjung Dhimas Bintoro

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...