Sebuah ekspresi cinta terhadap
datangnya takdir menukik itulah Amor Fati.
Penerimaan datangnya takdir bukanlah kepasrahan, melainkan bagaimana menghadapi
takdir dengan gairah yang tidak terbatas demi mewujudkan impian kita yang
terliar meski hidup akan hadir dengan brutal. Seperti slogan anarkis yang
sangat terkenal, yaitu “HIDUPI HIDUPMU”.
Kutipan tersebut bisa saja menjadi bagian kecil atas representasi terhadap Amor Fati sendiri. Hidup hanyalah sekali dan tentunya kita tidak akan pernah bisa merevisi apa yang telah kita perbuat di masa lalu. Perspektif seperti itulah yang saya miliki terhadap apa itu Amor Fati, maka isilah setiap detik dan menit dalam hari-harimu dengan hal-hal yang berkesan. Tidak perlu berguna, asalkan berkesan. Karena anda tidak akan pernah menemukan pengulangan-pengulangan abadi seperti demonstrasi di depan Gedung kfc yang gitu-gitu saja.
Kutipan tersebut bisa saja menjadi bagian kecil atas representasi terhadap Amor Fati sendiri. Hidup hanyalah sekali dan tentunya kita tidak akan pernah bisa merevisi apa yang telah kita perbuat di masa lalu. Perspektif seperti itulah yang saya miliki terhadap apa itu Amor Fati, maka isilah setiap detik dan menit dalam hari-harimu dengan hal-hal yang berkesan. Tidak perlu berguna, asalkan berkesan. Karena anda tidak akan pernah menemukan pengulangan-pengulangan abadi seperti demonstrasi di depan Gedung kfc yang gitu-gitu saja.
Manusia
meletakan kekawatiran yang menjadi adiksi bagi dirinya sendiri, ia
menghancurkan dirinya dengan mekanisme yang tercipta pada dirinya sendiri
sebagai kajian atas teori relativitas yang melahirkan semesta, atau sebaliknya
semesta yang melahirkan teori. Setiap hari manusia melakukan
aktivitas-aktivitasnya. Makan, minum,
tidur, bercinta, dan sebagian besar dari mereka menganggap itulah kehidupan.
Jika
pandangan manusia memandang tentang arti kehidupan sebatas itu, mungkin kita
terjebak dalam rutinitas. Hanya rutinitas ..!! sampai akhirnya maut menjemput.
Memang itu adalah kehidupan tetapi bukan kehidupan dalam arti yang luas.Kehidupan
ini berlalu memang dan sepertinya menakutkan, karena tanpa awal dan tanpa
akhir. Artinya, kehidupan ini tidak berujung pangkal. Barangkali, inilah yang
menginspirasi Friedrich Nietzsche (filsuf jerman - sang pembunuh tuhan) adalah
filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat
perspektivisme. sehingga ia menghasilkan ungkapan Amor Fati. Artinya, kita tidak hanya harus menanggung apa yang tidak
dapat diubah, bahkan kita harus mencintainya. Amor fati adalah afirmasi terhadap ketidakpastian.
Layaknya
seorang seniman, manusia terus menerus mesti gelisah dalam mencari idenya. Apa
yang sudah diperoleh, mesti terus direfleksikan sehingga tak ada yang menetap
dan absolut. Untuk memahami ruang kehidupan yang penuh ketidakpastian,
masing-masing dari kita harus kembali pada salah satu falsafah Yunani kuno:
Gnothi sé auton (Kenalilah Dirimu Sendiri). “Menjadi diri sendiri” barangkali
sudah begitu sering didengar. Namun, menjadi diri sendiri tak mudah
dilaksanakan. Perlu ada kesungguhan mendalam. Untuk mengembangkan sebuah usaha,
atau memulai sebuah usaha pun membutuhkan sebuah ide gila.
“Plato itu pengecut di hadapan realitas,
karenanya ia melarikan diri menuju yang-ideal…”. Demikian kata Nietzsche ketika
ia mengkritik Plato(n) yang ia anggap sebagai sang pendamba stabilitas-pejal,
kebenaran-akhir, ketepatan, kejernihan dari segala hal! Nietzsche sendiri
mengatakan bahwa realitas sungguh chaos (kacau),
kitalah yang mengintervensi dan menatanya lewat konsep-konsep pemikiran yang
kita punyai. Konsep, bagi Nietzsche, adalah upaya mengidentikkan sesuatu yang
tidak identik. Semacam suatu pemaksaan (forcing, kalau meminjam
istilah Alain Badiou sebagaimana yang dielaborasi oleh Bung Martin Suryajaya
lewat bukunya, 2011) ke dalam realitas.Nietzsche sendiri mengajurkan kepada
kita untuk melibatkan-diri ke dalam “kontingensi, pertentangan, indeterminasi,
inkonsistensi, inkoherensi, ketidakharmonisan, ambivalensi, heterogenitas,
kejamakan, opasitas, paradoks, risiko, dan ketidakpastian” (Lih. Tafsiran Roy
Voragen, 2009:316).
Nietzsche mengajarkan kepada
kita untuk mengafirmasi hidup, untuk mengatakan “ya!” di hadapan gejolak
kehidupan. Nietzsche mengajak kita untuk mencintai nasib kita—“amor fati!” kata Nietzsche—dengan apa
adanya (tetapi tidak pasif di hadapan nasib—atau fatalistik—melainkan bersikap
aktif dengan mengubahnya secara penuh kewaspadaan dan penuh “ya”; berani
mencipta dan mentransfigurasi pelbagai hal di dalam realitas); untuk menari
dengan aktif di tepi jurang tak berdasar. Nietzsche mau kita menerima apa yang
datang di hadapan kita secara polos dan waspada sehingga kita dapat mengenali
secara jernih dan penuh keingintahuan apa yang hadir sebagai realitas di depan
kita (saya dalam hal ini sedang mengafirmasi tafsiran Romo Setyo [Dr. A. Setyo
Wibowo] atas Nietzsche di dalam karyanya yang sangat bernas, Gaya Filsafat
Nietzsche [2004]). Roy menulis bahwa “aku menjadi aku sebagaimana adanya”
(subjudul Ecce Homo) bukan berarti aku yang selalu mengupayakan sejumlah hal
baik, dan yang menendang apa saja yang buruk, yang lemah—atau meminjam bahasa
Nietzsche—yang dekaden, akan tetapi aku yang menerima secara afirmatif segala
hal yang menghampar di “wajah”-ku: kebaikan, kejahatan, dosa, kesalahan,
keburukan, penderitaan, kenikmatan, kejayaan, kesenangan, kegagalan, kesakitan.
Nietzsche juga menginginkan kita menerima tragedi dengan mengucap
“Ya”—Nietzsche mengatakan bahwa tragedi sebagai salah satu bagian seni
kehidupan yang tak bisa dinafikan begitu saja.
Saya kutip kalimat milik Roy:
“We should, according to Nietzsche, devote ourselves to tragedy, because it
teaches us the art of living through affirming all aspects of life, including
our suffering” (Ibid., hlm. 322).Menurut Roy, amor fati milik Nietzsche merupakan sebuah afirmasi tak-bersyarat
di hadapan realitas. Dengan demikian, kita dituntut untuk tidak mengutuki
realitas secara terburu-buru dan penuh kelemahan kehendak.
Singkatnya, kita harus
mencipta secara aktif, penuh kemenjadian, untuk menghadapi realitas yang chaos.
“To create is our fate,” demikian tulis Roy.Hidup pada dasarnya
berarti berada dalam bahaya, demikian kata Nietzsche.
“ Dia
bukan motivator necis dan wangi, yang sering muncul di layar televisi; ia
adalah sang pengembara-dalam yang pada akhirnya dihabisi oleh penyakit
tubuhnya!”
Kerangka
berfikir demikian membuat gejolak tampak silang sengkarut, modernisasi
menggulung nilai-nilai kemanusiaan, semisal di negara ini terapan politik yang
dirasuki dari kontruksi agama membuat penyakit bagi para pengikutnya. Dulu
agama membebaskan manusia dari penjara “kebodohan”. Namun zaman tampak merubah
sekaligus mejawab kebohongan yang dijanjikan waktu, kini berbanding terbalik
orang-orang yang dibodohi justru lahir dari penganut agama, yang memeluk erat
dan melekati agamanya dengan kematian atas nuraninya. Kembali pada kekecewaan
Nietzsche “Membunuh Tuhan” mungkin secara tak sadar kita para pengikut agama
telah membunuh Tuhan secara beramai-ramai, kaum agama yang seharusnya
memaslahatakan umat dengan konsepsi moral dan kontruksi karakter, kini mereka
bersama memalsukan berdikari dengan saling membuat janji lalu diingkarinya
sendiri.
sumber:
Journal of Nietzsche and Amor Fati- Univ. Of Essex
https://dailystoic.com/amor-fati/
by: Tunjung Dhimas
Tidak ada komentar:
Posting Komentar