Senin, 15 Mei 2017

Pesona Cinta Pada Takdir (Amor Fati)











 Sebuah ekspresi cinta terhadap datangnya takdir menukik itulah Amor Fati. Penerimaan datangnya takdir bukanlah kepasrahan, melainkan bagaimana menghadapi takdir dengan gairah yang tidak terbatas demi mewujudkan impian kita yang terliar meski hidup akan hadir dengan brutal. Seperti slogan anarkis yang sangat terkenal, yaitu “HIDUPI HIDUPMU”.

              Kutipan tersebut bisa saja menjadi bagian kecil atas representasi terhadap Amor Fati sendiri. Hidup hanyalah sekali dan tentunya kita tidak akan pernah bisa merevisi apa yang telah kita perbuat di masa lalu. Perspektif seperti itulah yang saya miliki terhadap apa itu Amor Fati, maka isilah setiap detik dan menit dalam hari-harimu dengan hal-hal yang berkesan. Tidak perlu berguna, asalkan berkesan. Karena anda tidak akan pernah menemukan pengulangan-pengulangan abadi seperti demonstrasi di depan Gedung kfc yang gitu-gitu saja.

Manusia meletakan kekawatiran yang menjadi adiksi bagi dirinya sendiri, ia menghancurkan dirinya dengan mekanisme yang tercipta pada dirinya sendiri sebagai kajian atas teori relativitas yang melahirkan semesta, atau sebaliknya semesta yang melahirkan teori. Setiap hari manusia melakukan aktivitas-aktivitasnya. Makan,  minum, tidur, bercinta, dan sebagian besar dari mereka menganggap itulah kehidupan.

Jika pandangan manusia memandang tentang arti kehidupan sebatas itu, mungkin kita terjebak dalam rutinitas. Hanya rutinitas ..!! sampai akhirnya maut menjemput. Memang itu adalah kehidupan tetapi bukan kehidupan dalam arti yang luas.Kehidupan ini berlalu memang dan sepertinya menakutkan, karena tanpa awal dan tanpa akhir. Artinya, kehidupan ini tidak berujung pangkal. Barangkali, inilah yang menginspirasi Friedrich Nietzsche (filsuf jerman - sang pembunuh tuhan) adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. sehingga ia menghasilkan ungkapan Amor Fati. Artinya, kita tidak hanya harus menanggung apa yang tidak dapat diubah, bahkan kita harus mencintainya. Amor fati adalah afirmasi terhadap ketidakpastian.

Layaknya seorang seniman, manusia terus menerus mesti gelisah dalam mencari idenya. Apa yang sudah diperoleh, mesti terus direfleksikan sehingga tak ada yang menetap dan absolut. Untuk memahami ruang kehidupan yang penuh ketidakpastian, masing-masing dari kita harus kembali pada salah satu falsafah Yunani kuno: Gnothi sé auton (Kenalilah Dirimu Sendiri). “Menjadi diri sendiri” barangkali sudah begitu sering didengar. Namun, menjadi diri sendiri tak mudah dilaksanakan. Perlu ada kesungguhan mendalam. Untuk mengembangkan sebuah usaha, atau memulai sebuah usaha pun membutuhkan sebuah ide gila. 

           “Plato itu pengecut di hadapan realitas, karenanya ia melarikan diri menuju yang-ideal…”. Demikian kata Nietzsche ketika ia mengkritik Plato(n) yang ia anggap sebagai sang pendamba stabilitas-pejal, kebenaran-akhir, ketepatan, kejernihan dari segala hal! Nietzsche sendiri mengatakan bahwa realitas sungguh chaos (kacau), kitalah yang mengintervensi dan menatanya lewat konsep-konsep pemikiran yang kita punyai. Konsep, bagi Nietzsche, adalah upaya mengidentikkan sesuatu yang tidak identik. Semacam suatu pemaksaan (forcing, kalau meminjam istilah Alain Badiou sebagaimana yang dielaborasi oleh Bung Martin Suryajaya lewat bukunya, 2011) ke dalam realitas.Nietzsche sendiri mengajurkan kepada kita untuk melibatkan-diri ke dalam “kontingensi, pertentangan, indeterminasi, inkonsistensi, inkoherensi, ketidakharmonisan, ambivalensi, heterogenitas, kejamakan, opasitas, paradoks, risiko, dan ketidakpastian” (Lih. Tafsiran Roy Voragen, 2009:316).

Nietzsche mengajarkan kepada kita untuk mengafirmasi hidup, untuk mengatakan “ya!” di hadapan gejolak kehidupan. Nietzsche mengajak kita untuk mencintai nasib kita—“amor fati!” kata Nietzsche—dengan apa adanya (tetapi tidak pasif di hadapan nasib—atau fatalistik—melainkan bersikap aktif dengan mengubahnya secara penuh kewaspadaan dan penuh “ya”; berani mencipta dan mentransfigurasi pelbagai hal di dalam realitas); untuk menari dengan aktif di tepi jurang tak berdasar. Nietzsche mau kita menerima apa yang datang di hadapan kita secara polos dan waspada sehingga kita dapat mengenali secara jernih dan penuh keingintahuan apa yang hadir sebagai realitas di depan kita (saya dalam hal ini sedang mengafirmasi tafsiran Romo Setyo [Dr. A. Setyo Wibowo] atas Nietzsche di dalam karyanya yang sangat bernas, Gaya Filsafat Nietzsche [2004]). Roy menulis bahwa “aku menjadi aku sebagaimana adanya” (subjudul Ecce Homo) bukan berarti aku yang selalu mengupayakan sejumlah hal baik, dan yang menendang apa saja yang buruk, yang lemah—atau meminjam bahasa Nietzsche—yang dekaden, akan tetapi aku yang menerima secara afirmatif segala hal yang menghampar di “wajah”-ku: kebaikan, kejahatan, dosa, kesalahan, keburukan, penderitaan, kenikmatan, kejayaan, kesenangan, kegagalan, kesakitan. Nietzsche juga menginginkan kita menerima tragedi dengan mengucap “Ya”—Nietzsche mengatakan bahwa tragedi sebagai salah satu bagian seni kehidupan yang tak bisa dinafikan begitu saja. 

Saya kutip kalimat milik Roy: “We should, according to Nietzsche, devote ourselves to tragedy, because it teaches us the art of living through affirming all aspects of life, including our suffering” (Ibid., hlm. 322).Menurut Roy, amor fati milik Nietzsche merupakan sebuah afirmasi tak-bersyarat di hadapan realitas. Dengan demikian, kita dituntut untuk tidak mengutuki realitas secara terburu-buru dan penuh kelemahan kehendak. 

Singkatnya, kita harus mencipta secara aktif, penuh kemenjadian, untuk menghadapi realitas yang chaos. “To create is our fate,” demikian tulis Roy.Hidup pada dasarnya berarti berada dalam bahaya, demikian kata Nietzsche.

Dia bukan motivator necis dan wangi, yang sering muncul di layar televisi; ia adalah sang pengembara-dalam yang pada akhirnya dihabisi oleh penyakit tubuhnya!”
            
          Kerangka berfikir demikian membuat gejolak tampak silang sengkarut, modernisasi menggulung nilai-nilai kemanusiaan, semisal di negara ini terapan politik yang dirasuki dari kontruksi agama membuat penyakit bagi para pengikutnya. Dulu agama membebaskan manusia dari penjara “kebodohan”. Namun zaman tampak merubah sekaligus mejawab kebohongan yang dijanjikan waktu, kini berbanding terbalik orang-orang yang dibodohi justru lahir dari penganut agama, yang memeluk erat dan melekati agamanya dengan kematian atas nuraninya. Kembali pada kekecewaan Nietzsche “Membunuh Tuhan” mungkin secara tak sadar kita para pengikut agama telah membunuh Tuhan secara beramai-ramai, kaum agama yang seharusnya memaslahatakan umat dengan konsepsi moral dan kontruksi karakter, kini mereka bersama memalsukan berdikari dengan saling membuat janji lalu diingkarinya sendiri. 



 sumber:
 Journal of Nietzsche and Amor Fati- Univ. Of Essex
 https://dailystoic.com/amor-fati/

by: Tunjung Dhimas






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...