Minggu, 07 Mei 2017

Sangkar Feodal Pemuda Zaman Terkutuk 





Saya adalah pemuda yang sama seperti pemuda lain penghuni jantung semesta ini. Jiwa saya tercabik ketika saya telah dimuntahkan dari rahim ibu saya, dunia membentuk hukum-hukum fishika dan jejaring sebab-akibat.

Yang mulai detik itu saya dibentuk dari proses-proses kehidupan yang nyata. Semenjak penggenapan struktur semesta selesai pada saya, sistem gatra pengindraan mulai menjadi tajuk perjalanan kehidupan saya untuk terhenti menunggu kematian.

Saya lahir dari ayah ibu cendekiawan, di tengah desa yang memeluk ajaran budi vintage, yang kini perlahan dibelokan oleh feodalisme klasik sisa kolonial. Atau tumpang tindih agama dan adat yang terus berseteru mesra. Entahlah yang jelas itu menjadikan saya menjadi bulan-bulanan adiksi.

Konon pendidikan adalah power untuk perubahan, tapi kini aku merasakan pendidikan adalah kurungan. Sekolahku adalah penjara, yang berpagar sistem, fisikku tercengkram alat-alat tulis dan bangku-bangku meja sekolah yang mematerialkan segala bentuk "uang" yang di belotkan dari paham budi "JER BASUKI MAWA BEA" (untuk kesejahteraan perlu biaya) oleh pencaruk kepentingan pribadi yang salah memelihara ambisi. Psikisku terpasung doktrin-doktrin palsu yang menggerogoti pikiranku hingga aku kekenyangan dengan fiksi-fiksi yang tertumpuk dalam penatku.

Dari desa aku ke kota semakin kuat pula magnetifikasi dunia metropolitan memporak-porandakanku. Sekolahku tetap belanjut hingga aku selesai. Berat... Sungguh berat bila jiwa dan ragaku lapuk oleh pikiran yang tercemari beranda kumuh peradapan yang terkutuk ini, teknologi konon maha dahsyat karya otak manusia yang pernah ada tapi justru aku menangisi dari situ peradapan mengubah begitu bengis nilai-nilai kemanusiaan menjadi dajalisme. Karya tulis dan tesis-tesis dibuat hanya pemenuhan sistem, banyak diterbitkan walau padahal banyak yang tak benar-benar digunakan, lebih sakitnya hanya jadi tumpukan sampah perpustakaan (kata salah satu Dosenku).

Semenjak itu semakin terpenjara pulalah seluruh jiwaku begitupun mata dan pendengaranku tertutup rapat. Karena teknologi mempersempit duniaku, semakin meracuni psikisku. Orang yang kusayangi terjangkit panorama adiksi candu ini. Bagaimana tidak dunia sungguh dipersempit seperti papan catur yang mudah dilipat.

Membuat orang "Lumuh" (pemalas) Orang bisa saja lebih cerdas 6 kalilipat karena mudahnya akses informasi dan komunikasi, tapi mereka tak sadar nilai-nilai kemanusian terampas dari mereka, hilangnya solidaritas, keguyup rukunan, respektivitas, padahal kata multatuli "tugas manusia adalah menjadi manusia" bukan "Robot".

Kala sekolahku selesai aku kembali menjadi bulan-bulanan kebingungan, dunia materialistik menjerat kaki tanganku sejenak. Ini kusebut sebagai "KRISIS KATARSIS" dimana tutuntan pekerjaan menjadi baja besi kedua yang membuatku semakin terpenjara. Sungguh kejam !! dimana zaman sedang menuhankan "UANG" dan menabikan "Kekuasaan".

Lalu penjara ketiga adalah tuntutan pernikahan, karena dunia berhasil menundukan manusia dari qodratnya menjadi seorang "penakut" jual beli ketakutanpun menjadi bisnis terlaris di era ini. Modernisasi menjadi garis linier yang dispiralkan silang-sengkarut jadinya.

Cinta adalah wahana terdahsyat para pemuda untuk membuat hidupnya berwarna, tapi ketika ia tak mengerti akan seperti apa "kesadaran cinta", cinta justru menjebak dan membuat pemuda membusuk dengan alat pernikahan, adat, agama yang di desain manis oleh peraut keuntungan media dakwah palsu yang sering menuliskan motivasi-motivasi yang menyudutkan pemuda yang teradiksi ini. Ini juga bagian "Krisis Katarsis" kata pram ; manusia terjebak usia ; bagi wanita usia adalah hikmat ketakutan tersendiri. Lalu kapan kita bebas dan sempat menikmati hidup bila kesadaran mentalpun kini tumpul.

Kerangka pemikiran yang kubuat atas pemuda yang membusuk zaman terkutuk yang dilahirkan oleh pohon kapitalis ; ada tiga pemuda ; apatis, liberalis, hedonis
Apatis : secara psikis dia pemalas tidak berani untuk berbuat, ketakutan akan dirinya yang berlebih.
Liberalis: kebanggaan akan dirinya yang berlebih, memunculkan sifat individualisme yang tinggi akhirnya mendistorsi akal budi.
Hedonis: Memunculkan manusia yang lupa akan dirinya sendiri, hidupnya bersubyek pada orang lain. Tidak tahu kebutuhan, mementingkan keinginan yang memunculkan akses gengsi yang berlebihan untuk eksistensi dalam duniawi . (dikutip dari artikel "Pemuda Kontemporer" ; Bayu Ristiawan dan Tunjung Dhimas ; artikel tidak diterbitkan).

Aku pemuda yang sempat terbuang jauh dari diriku sendiri, kala itu aku tuli pada detak jantungku sendiri. Suara nurani terendapi sampah "overthinking" yang dibentuk oleh dunia yang penuh fiksi ini. Namun kini aku bersyukur Allah melantunkan ayat suci-Nya pada ruang kesadaranku untuk duduk di singgasana ruangNya yang begitu bebas dan damai yang kusering kupanggil "Spiritualisme" berlantaikan kearifan dan kebijaksanaan, berdinding kebersahajaan. Allah motivatorku yang paling dahsyat.

Iya aku adalah pemuda yang sama sepertimu, yang sempat terpenjara oleh besi-baja zaman terkutuk feodalisme kontemporer. Disana iblis berpesta pora dengan meruas mukanya dalam bentuk kiri perjalanan Ruang dan waktu yang bercumbu mesra. Paham kanan atau kiri hanya seutas tali keseimbangan hidup, selalu berguna pada porsi dan zamannya masing-masing. Mari kita bersama berjuang menuju peradapan dipelupuk kemungkinan-kemungkinan. Tak perlu takut akan hidup ini, tak perlu takut terjatuh, semua adalah pematangan jiwa kita yang telah direncanakan Sang Penulis Agung atas kita dan seluruh semesta. Jadi pemuda yang berani bebas dari pikiran-pikiran berlebihan yang tertumpuk, bergerak untuk sesama yang sedang membutuhkan, seporsimu. Bebaskan dari penjara-penjara feodalisme sumbangkan dirimu untuk naskah agung semesta ini, Allah bersamamu. Aku dan kamu akan selalu belajar berjuang bersama tak perlu takut menjadi diri kita sendiri. Aku cinta menulis, kamu cinta membaca, aku cinta pengemis, kamu cinta anti apatis.

Kopi boleh pahit, hidupmu jangan, karena hari ini adalah besok yang kemarin. Kebahagiaan itu dikerjakan, dibangun, dari satu keputusan ke keputusan yang lain, dari satu pilihan ke pilihan yang lain. Mungkin materi bisa menolong orang mengerjakan kebahagiaan dalam pernikahan, tetapi itu bukan satu-satunya, apalagi gengsi. Yang paling penting dalam keputusan kamu. Apakah dirimu bisa melihat dirimu nanti di masa depan. Bedakan itu durhaka dengan membuat keputusan yang baik. Terkadang orang tua kita juga terjebak oleh kolong adat yang belum diperbaharui, karena hakikatnya kita manusia yang penakut, takut akan perubahan.

Salam dariku, pemuda yang hampir membusuk ....

Tunjung Dhimas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...