Senin, 15 Mei 2017

Pesona Cinta Pada Takdir (Amor Fati)











 Sebuah ekspresi cinta terhadap datangnya takdir menukik itulah Amor Fati. Penerimaan datangnya takdir bukanlah kepasrahan, melainkan bagaimana menghadapi takdir dengan gairah yang tidak terbatas demi mewujudkan impian kita yang terliar meski hidup akan hadir dengan brutal. Seperti slogan anarkis yang sangat terkenal, yaitu “HIDUPI HIDUPMU”.

              Kutipan tersebut bisa saja menjadi bagian kecil atas representasi terhadap Amor Fati sendiri. Hidup hanyalah sekali dan tentunya kita tidak akan pernah bisa merevisi apa yang telah kita perbuat di masa lalu. Perspektif seperti itulah yang saya miliki terhadap apa itu Amor Fati, maka isilah setiap detik dan menit dalam hari-harimu dengan hal-hal yang berkesan. Tidak perlu berguna, asalkan berkesan. Karena anda tidak akan pernah menemukan pengulangan-pengulangan abadi seperti demonstrasi di depan Gedung kfc yang gitu-gitu saja.

Manusia meletakan kekawatiran yang menjadi adiksi bagi dirinya sendiri, ia menghancurkan dirinya dengan mekanisme yang tercipta pada dirinya sendiri sebagai kajian atas teori relativitas yang melahirkan semesta, atau sebaliknya semesta yang melahirkan teori. Setiap hari manusia melakukan aktivitas-aktivitasnya. Makan,  minum, tidur, bercinta, dan sebagian besar dari mereka menganggap itulah kehidupan.

Jika pandangan manusia memandang tentang arti kehidupan sebatas itu, mungkin kita terjebak dalam rutinitas. Hanya rutinitas ..!! sampai akhirnya maut menjemput. Memang itu adalah kehidupan tetapi bukan kehidupan dalam arti yang luas.Kehidupan ini berlalu memang dan sepertinya menakutkan, karena tanpa awal dan tanpa akhir. Artinya, kehidupan ini tidak berujung pangkal. Barangkali, inilah yang menginspirasi Friedrich Nietzsche (filsuf jerman - sang pembunuh tuhan) adalah filsafat cara memandang 'kebenaran' atau dikenal dengan istilah filsafat perspektivisme. sehingga ia menghasilkan ungkapan Amor Fati. Artinya, kita tidak hanya harus menanggung apa yang tidak dapat diubah, bahkan kita harus mencintainya. Amor fati adalah afirmasi terhadap ketidakpastian.

Layaknya seorang seniman, manusia terus menerus mesti gelisah dalam mencari idenya. Apa yang sudah diperoleh, mesti terus direfleksikan sehingga tak ada yang menetap dan absolut. Untuk memahami ruang kehidupan yang penuh ketidakpastian, masing-masing dari kita harus kembali pada salah satu falsafah Yunani kuno: Gnothi sé auton (Kenalilah Dirimu Sendiri). “Menjadi diri sendiri” barangkali sudah begitu sering didengar. Namun, menjadi diri sendiri tak mudah dilaksanakan. Perlu ada kesungguhan mendalam. Untuk mengembangkan sebuah usaha, atau memulai sebuah usaha pun membutuhkan sebuah ide gila. 

           “Plato itu pengecut di hadapan realitas, karenanya ia melarikan diri menuju yang-ideal…”. Demikian kata Nietzsche ketika ia mengkritik Plato(n) yang ia anggap sebagai sang pendamba stabilitas-pejal, kebenaran-akhir, ketepatan, kejernihan dari segala hal! Nietzsche sendiri mengatakan bahwa realitas sungguh chaos (kacau), kitalah yang mengintervensi dan menatanya lewat konsep-konsep pemikiran yang kita punyai. Konsep, bagi Nietzsche, adalah upaya mengidentikkan sesuatu yang tidak identik. Semacam suatu pemaksaan (forcing, kalau meminjam istilah Alain Badiou sebagaimana yang dielaborasi oleh Bung Martin Suryajaya lewat bukunya, 2011) ke dalam realitas.Nietzsche sendiri mengajurkan kepada kita untuk melibatkan-diri ke dalam “kontingensi, pertentangan, indeterminasi, inkonsistensi, inkoherensi, ketidakharmonisan, ambivalensi, heterogenitas, kejamakan, opasitas, paradoks, risiko, dan ketidakpastian” (Lih. Tafsiran Roy Voragen, 2009:316).

Nietzsche mengajarkan kepada kita untuk mengafirmasi hidup, untuk mengatakan “ya!” di hadapan gejolak kehidupan. Nietzsche mengajak kita untuk mencintai nasib kita—“amor fati!” kata Nietzsche—dengan apa adanya (tetapi tidak pasif di hadapan nasib—atau fatalistik—melainkan bersikap aktif dengan mengubahnya secara penuh kewaspadaan dan penuh “ya”; berani mencipta dan mentransfigurasi pelbagai hal di dalam realitas); untuk menari dengan aktif di tepi jurang tak berdasar. Nietzsche mau kita menerima apa yang datang di hadapan kita secara polos dan waspada sehingga kita dapat mengenali secara jernih dan penuh keingintahuan apa yang hadir sebagai realitas di depan kita (saya dalam hal ini sedang mengafirmasi tafsiran Romo Setyo [Dr. A. Setyo Wibowo] atas Nietzsche di dalam karyanya yang sangat bernas, Gaya Filsafat Nietzsche [2004]). Roy menulis bahwa “aku menjadi aku sebagaimana adanya” (subjudul Ecce Homo) bukan berarti aku yang selalu mengupayakan sejumlah hal baik, dan yang menendang apa saja yang buruk, yang lemah—atau meminjam bahasa Nietzsche—yang dekaden, akan tetapi aku yang menerima secara afirmatif segala hal yang menghampar di “wajah”-ku: kebaikan, kejahatan, dosa, kesalahan, keburukan, penderitaan, kenikmatan, kejayaan, kesenangan, kegagalan, kesakitan. Nietzsche juga menginginkan kita menerima tragedi dengan mengucap “Ya”—Nietzsche mengatakan bahwa tragedi sebagai salah satu bagian seni kehidupan yang tak bisa dinafikan begitu saja. 

Saya kutip kalimat milik Roy: “We should, according to Nietzsche, devote ourselves to tragedy, because it teaches us the art of living through affirming all aspects of life, including our suffering” (Ibid., hlm. 322).Menurut Roy, amor fati milik Nietzsche merupakan sebuah afirmasi tak-bersyarat di hadapan realitas. Dengan demikian, kita dituntut untuk tidak mengutuki realitas secara terburu-buru dan penuh kelemahan kehendak. 

Singkatnya, kita harus mencipta secara aktif, penuh kemenjadian, untuk menghadapi realitas yang chaos. “To create is our fate,” demikian tulis Roy.Hidup pada dasarnya berarti berada dalam bahaya, demikian kata Nietzsche.

Dia bukan motivator necis dan wangi, yang sering muncul di layar televisi; ia adalah sang pengembara-dalam yang pada akhirnya dihabisi oleh penyakit tubuhnya!”
            
          Kerangka berfikir demikian membuat gejolak tampak silang sengkarut, modernisasi menggulung nilai-nilai kemanusiaan, semisal di negara ini terapan politik yang dirasuki dari kontruksi agama membuat penyakit bagi para pengikutnya. Dulu agama membebaskan manusia dari penjara “kebodohan”. Namun zaman tampak merubah sekaligus mejawab kebohongan yang dijanjikan waktu, kini berbanding terbalik orang-orang yang dibodohi justru lahir dari penganut agama, yang memeluk erat dan melekati agamanya dengan kematian atas nuraninya. Kembali pada kekecewaan Nietzsche “Membunuh Tuhan” mungkin secara tak sadar kita para pengikut agama telah membunuh Tuhan secara beramai-ramai, kaum agama yang seharusnya memaslahatakan umat dengan konsepsi moral dan kontruksi karakter, kini mereka bersama memalsukan berdikari dengan saling membuat janji lalu diingkarinya sendiri. 



 sumber:
 Journal of Nietzsche and Amor Fati- Univ. Of Essex
 https://dailystoic.com/amor-fati/

by: Tunjung Dhimas






Minggu, 07 Mei 2017

Belajar Filosofi Kehidupan dari Tokoh Wayang



Wayang merupakan seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).
KESABARAN DARI YUDHISTIRA
Orangnya pendiam tidak banyak bicara. Kalaupun berbicara tidak banyak direkayasa supaya menarik perhatian orang. Ia sabar, jujur dan adil serta pasrah dalam menghadapi cobaan hidup. Dialah yudhistira.
Karena jujur dan sabar harus disertai keceriaan, maka ia mampu memenjarakan nafsu. kesabaran tanpa keceriaan belum dapat dikatakann sabar.
"Kesabaran akan mampu mengantarkan kita berdiri seimbang ditengah hempasan penderitaan kehidupan, mengantarkan kita sebagai sejatinya pemenang dalam pertarungan maha dasyat dengan ego dan nafsu diri, menjadi sosok yang selalu memberi damai dengan senyum yang merekah berbunga"
KUAT DAN PENUH LOYALITAS SEPERTI BIMA
Ia dianggap sebagai seorang tokoh heroik. Bima memiliki sifat gagah berani, teguh, kuat, tabah, patuh dan jujur, serta menganggap semua orang sama derajatnya, sehingga dia digambarkan tidak pernah menggunakan bahasa halus (krama inggil) atau pun duduk di depan lawan bicaranya. Dia dulu pernah berjanji " saya tidak akan mengenakan baju, sebelum saudara2 saya mengenakan baju pula". selain sangat kuat bima sangat religius, dan sangat patriotis.
"Lebih banyak orang yang meminta kepada Tuhan agar diringankan bebannya, daripada yang meminta agar diberikan tulang punggung yang lebih kuat."
Pengorbanan seperti Gatot Kaca
Di Indonesia, Gatotkaca menjadi tokoh pewayangan yang sangat populer. Kesaktiannya dikisahkan luar biasa, antara lain mampu terbang di angkasa tanpa menggunakan sayap, serta terkenal dengan julukan "otot kawat tulang besi". gatot kaca adalah anak bima.jika gatot kaca tidak dikorbankan mungkin bisa saja sri kresna atau anggota pandawa lainnya yang jadi korban, karena senjata adipati karna itu hanya bisa digunakan sekali saja. Menyadari ajalnya sudah dekat, Gatotkaca masih sempat berpikir bagaimana caranya untuk membunuh prajurit Kurawa dalam jumlah besar. Maka Gatotkaca pun memperbesar ukuran tubuhnya sampai ukuran maksimal dan kemudian roboh menimpa ribuan prajurit Korawa. Pandawa sangat terpukul dengan gugurnya Gatotkaca.
"Loyalitas akan memimpin keberanian. Keberanian akan mengarahkan semangat pengorbanan diri. Semangat pengorbanan diri menciptakan kepercayaan dan keyakinan dalam kekuatan manusia yang sebenarnya"
CINTA KASIH DARI SRI RAMA
Di dunia pewayangan, nama Rama dan Sinta sudah jadi legenda. Cinta Rama kepada Sinta sedemikian besarnya, sehingga dia rela menempuh segala mara bahaya untuk merebut kembali cintanya. Dan Sinta pun rela berkorban untuk membuktikan kesucian cintanya kepada Rama. Sehinga kisah cinta Rama dan Sinta menjadi legenda sepanjang masa.
"true love doesn't have happy ending, because true love never end's"
BELAJAR KELEMBUTAN HATI SEPERTI ARJUNA
Ia dikenal sebagai sang Pandawa yang menawan parasnya dan lemah lembut budinya. kata Arjuna bisa berarti "jujur di dalam wajah dan pikiran".
Ia murid kesayangan kreshna sampai2 sri kreshna mengemudikan keretanya saat perang mahabarata, agar arjuna leluasa menembakkan panahnya.Arjuna merupakan kesatria pertapa yang paling teguh. Pertapaannya sangat khusyuk. Ketika ia mengheningkan cipta, menyatukan dan memusatkan pikirannya kepada Tuhan, segala gangguan dan godaan duniawi tak akan bisa menggoyahkan hati dan pikirannya. Arjuna bertarung dengan para kesatria hebat dari pihak Korawa, dan tidak jarang ia membunuh mereka, termasuk panglima besar pihak Korawa yaitu Bisma.
"Kadang kala, hati dapat melihat sesuatu yang tidak terlihat oleh mata, masih beruntung orang2 yang selalu menggunakan hatinya untuk melihat tampakan nurani, mendengar suara nya, dan melaksanakan kesenangan hatinya, yaitu mendekatkan diri dengan tuhannya"
MENJADI SATRIA SEJATI SEPERTI BISHMA
Dalam perang mahabarata Bishma Berjanji!!
"ketahuilah pantanganku ini, bahwa aku tidak akan menyerang seseorang yang telah membuang senjata, juga yang terjatuh dari keretanya. Aku juga tidak akan menyerang mereka yang senjatanya terlepas dari tangan, tidak akan menyerang orang yang bendera lambang kebesarannya hancur, orang yang melarikan diri, orang dalam keadaan ketakutan, orang yang takluk dan mengatakan bahwa ia menyerah, dan aku pun tidak akan menyerang seorang wanita, juga seseorang yang namanya seperti wanita, orang yang lemah dan tak mampu menjaga diri, orang yang hanya memiliki seorang anak lelaki, atau pun orang yang sedang mabuk. Dengan itu semua aku enggan bertarung"
Tokoh tua ini terbaring di atas ratusan panah yang menembus tubuhnya, yang ditembakkan oleh arjuna.
"dalam setiap pertarungan apapun, bersaing dimanapun, di kantor, sekolah, di lingkunagn kita tinggal, kita sudah harus terbiasa, mendoakan, siapapun lawan kita, agar selalu seimbang dan sama kuat dengan kita, agar memang yang terbaik dan yang pantas yang benar benar mendapatkan kemenangan"
BELAJAR BIJAKSANA DARI "KRISHNA"
Dalam pewayangan Jawa, Prabu Kresna merupakan Raja Dwarawati, kerajaan para keturunan Yadu (Yadawa) dan merupakan titisan Dewa Wisnu. Kresna adalah anak Basudewa, Raja Mandura. Pada perang Bharatayuddha, beliau adalah sais atau kusir Arjuna.
"Kadang kita mengidentitaskan diri kita dengan badan, kadang dengan pikiran, kadang dengan emosi. Kadang kita terlibat dengan benda-benda duniawi yang tidak permanen. Kadang kita bersuka ria, kadang tenggelam dalam duka yang tak terhingga. Kita melupakan identitas diri kita yang sebenarnya. Kita lupa akan ‘Aku’ yang sejati, yang tak pernah musnah, yang akan selalu kekal dan abadi."

Sangkar Feodal Pemuda Zaman Terkutuk 





Saya adalah pemuda yang sama seperti pemuda lain penghuni jantung semesta ini. Jiwa saya tercabik ketika saya telah dimuntahkan dari rahim ibu saya, dunia membentuk hukum-hukum fishika dan jejaring sebab-akibat.

Yang mulai detik itu saya dibentuk dari proses-proses kehidupan yang nyata. Semenjak penggenapan struktur semesta selesai pada saya, sistem gatra pengindraan mulai menjadi tajuk perjalanan kehidupan saya untuk terhenti menunggu kematian.

Saya lahir dari ayah ibu cendekiawan, di tengah desa yang memeluk ajaran budi vintage, yang kini perlahan dibelokan oleh feodalisme klasik sisa kolonial. Atau tumpang tindih agama dan adat yang terus berseteru mesra. Entahlah yang jelas itu menjadikan saya menjadi bulan-bulanan adiksi.

Konon pendidikan adalah power untuk perubahan, tapi kini aku merasakan pendidikan adalah kurungan. Sekolahku adalah penjara, yang berpagar sistem, fisikku tercengkram alat-alat tulis dan bangku-bangku meja sekolah yang mematerialkan segala bentuk "uang" yang di belotkan dari paham budi "JER BASUKI MAWA BEA" (untuk kesejahteraan perlu biaya) oleh pencaruk kepentingan pribadi yang salah memelihara ambisi. Psikisku terpasung doktrin-doktrin palsu yang menggerogoti pikiranku hingga aku kekenyangan dengan fiksi-fiksi yang tertumpuk dalam penatku.

Dari desa aku ke kota semakin kuat pula magnetifikasi dunia metropolitan memporak-porandakanku. Sekolahku tetap belanjut hingga aku selesai. Berat... Sungguh berat bila jiwa dan ragaku lapuk oleh pikiran yang tercemari beranda kumuh peradapan yang terkutuk ini, teknologi konon maha dahsyat karya otak manusia yang pernah ada tapi justru aku menangisi dari situ peradapan mengubah begitu bengis nilai-nilai kemanusiaan menjadi dajalisme. Karya tulis dan tesis-tesis dibuat hanya pemenuhan sistem, banyak diterbitkan walau padahal banyak yang tak benar-benar digunakan, lebih sakitnya hanya jadi tumpukan sampah perpustakaan (kata salah satu Dosenku).

Semenjak itu semakin terpenjara pulalah seluruh jiwaku begitupun mata dan pendengaranku tertutup rapat. Karena teknologi mempersempit duniaku, semakin meracuni psikisku. Orang yang kusayangi terjangkit panorama adiksi candu ini. Bagaimana tidak dunia sungguh dipersempit seperti papan catur yang mudah dilipat.

Membuat orang "Lumuh" (pemalas) Orang bisa saja lebih cerdas 6 kalilipat karena mudahnya akses informasi dan komunikasi, tapi mereka tak sadar nilai-nilai kemanusian terampas dari mereka, hilangnya solidaritas, keguyup rukunan, respektivitas, padahal kata multatuli "tugas manusia adalah menjadi manusia" bukan "Robot".

Kala sekolahku selesai aku kembali menjadi bulan-bulanan kebingungan, dunia materialistik menjerat kaki tanganku sejenak. Ini kusebut sebagai "KRISIS KATARSIS" dimana tutuntan pekerjaan menjadi baja besi kedua yang membuatku semakin terpenjara. Sungguh kejam !! dimana zaman sedang menuhankan "UANG" dan menabikan "Kekuasaan".

Lalu penjara ketiga adalah tuntutan pernikahan, karena dunia berhasil menundukan manusia dari qodratnya menjadi seorang "penakut" jual beli ketakutanpun menjadi bisnis terlaris di era ini. Modernisasi menjadi garis linier yang dispiralkan silang-sengkarut jadinya.

Cinta adalah wahana terdahsyat para pemuda untuk membuat hidupnya berwarna, tapi ketika ia tak mengerti akan seperti apa "kesadaran cinta", cinta justru menjebak dan membuat pemuda membusuk dengan alat pernikahan, adat, agama yang di desain manis oleh peraut keuntungan media dakwah palsu yang sering menuliskan motivasi-motivasi yang menyudutkan pemuda yang teradiksi ini. Ini juga bagian "Krisis Katarsis" kata pram ; manusia terjebak usia ; bagi wanita usia adalah hikmat ketakutan tersendiri. Lalu kapan kita bebas dan sempat menikmati hidup bila kesadaran mentalpun kini tumpul.

Kerangka pemikiran yang kubuat atas pemuda yang membusuk zaman terkutuk yang dilahirkan oleh pohon kapitalis ; ada tiga pemuda ; apatis, liberalis, hedonis
Apatis : secara psikis dia pemalas tidak berani untuk berbuat, ketakutan akan dirinya yang berlebih.
Liberalis: kebanggaan akan dirinya yang berlebih, memunculkan sifat individualisme yang tinggi akhirnya mendistorsi akal budi.
Hedonis: Memunculkan manusia yang lupa akan dirinya sendiri, hidupnya bersubyek pada orang lain. Tidak tahu kebutuhan, mementingkan keinginan yang memunculkan akses gengsi yang berlebihan untuk eksistensi dalam duniawi . (dikutip dari artikel "Pemuda Kontemporer" ; Bayu Ristiawan dan Tunjung Dhimas ; artikel tidak diterbitkan).

Aku pemuda yang sempat terbuang jauh dari diriku sendiri, kala itu aku tuli pada detak jantungku sendiri. Suara nurani terendapi sampah "overthinking" yang dibentuk oleh dunia yang penuh fiksi ini. Namun kini aku bersyukur Allah melantunkan ayat suci-Nya pada ruang kesadaranku untuk duduk di singgasana ruangNya yang begitu bebas dan damai yang kusering kupanggil "Spiritualisme" berlantaikan kearifan dan kebijaksanaan, berdinding kebersahajaan. Allah motivatorku yang paling dahsyat.

Iya aku adalah pemuda yang sama sepertimu, yang sempat terpenjara oleh besi-baja zaman terkutuk feodalisme kontemporer. Disana iblis berpesta pora dengan meruas mukanya dalam bentuk kiri perjalanan Ruang dan waktu yang bercumbu mesra. Paham kanan atau kiri hanya seutas tali keseimbangan hidup, selalu berguna pada porsi dan zamannya masing-masing. Mari kita bersama berjuang menuju peradapan dipelupuk kemungkinan-kemungkinan. Tak perlu takut akan hidup ini, tak perlu takut terjatuh, semua adalah pematangan jiwa kita yang telah direncanakan Sang Penulis Agung atas kita dan seluruh semesta. Jadi pemuda yang berani bebas dari pikiran-pikiran berlebihan yang tertumpuk, bergerak untuk sesama yang sedang membutuhkan, seporsimu. Bebaskan dari penjara-penjara feodalisme sumbangkan dirimu untuk naskah agung semesta ini, Allah bersamamu. Aku dan kamu akan selalu belajar berjuang bersama tak perlu takut menjadi diri kita sendiri. Aku cinta menulis, kamu cinta membaca, aku cinta pengemis, kamu cinta anti apatis.

Kopi boleh pahit, hidupmu jangan, karena hari ini adalah besok yang kemarin. Kebahagiaan itu dikerjakan, dibangun, dari satu keputusan ke keputusan yang lain, dari satu pilihan ke pilihan yang lain. Mungkin materi bisa menolong orang mengerjakan kebahagiaan dalam pernikahan, tetapi itu bukan satu-satunya, apalagi gengsi. Yang paling penting dalam keputusan kamu. Apakah dirimu bisa melihat dirimu nanti di masa depan. Bedakan itu durhaka dengan membuat keputusan yang baik. Terkadang orang tua kita juga terjebak oleh kolong adat yang belum diperbaharui, karena hakikatnya kita manusia yang penakut, takut akan perubahan.

Salam dariku, pemuda yang hampir membusuk ....

Tunjung Dhimas.

Rabu, 03 Mei 2017

Paradigma Perselingkuhan Agama dan Politik











Artikel ini saya persembahkan buat khalayak masyarakat Indonesia dalam melihat carut marutnya Islam yang TERJEBAK & DiJEBAK dalam POLITIK dan KEKUASAAN utamanya, yang terhormat:
1.Profesor Sumanto Al Qurtuby
2.Bapak Saifuddin Ibrahim,
3.Bapak Ahmad Fauzi,
4.Bapak Mametto,
5.Brur Eklys Reinhart,
6.dr. Hellen Kwok,
7.Bapak Ida Bagus Andi Loka,
8.dll.
Menarik garis sejarah Nusantara maka wajah kelam Kerajaan Majapahit merupakan CERMINAN INDONESIA masa kini. Tidak bisa kita pungkiri, Islam melalui Raden Patah, Kerajaan DEMAK BINTORO dibawah Imperium Majapahit mengadakan PEMBERONTAKAN menghancurkan Kerajaan Majapahit dengan mengusung KHILAFAH dan mendirikan Kerajaan Islam pertama di Samudra Pasai.
Yang menyedihkan adalah penghancuran kerajaan Majapahit ini dilakukan oleh putra Prabhu Brawijaya V, Raja Majapahit itu sendiri yang sangat militan lantaran memiliki keyakinan baru berbeda dengan kerajaan berdasarkan Keyakinan Siwa-Buddha.
Apa yang terjadi di DKI Jakarta paling tidak sejak pertengahan 2016 sampai dengan selesainya Pilkada DKI Jakarta tanggal 19 April yang lalu, memperlihatkan pola yang dilakukan oleh Raden Patah dan para pengikutnya yaitu militansi berdasarkan Syariah Islam dan mulai berusaha menggoyang KONSTITUSI Republik Indonesia. Gerakkan Islam yang terstruktur dengan organisasinya yang terkoordinir misalnya: Wahabi, HTI dan FPI. Pengaruh ketiga organisasi ini, mulai masuk ke sentra pusat kekuasaan Indonesia.
Berikut kita simak sejarah dari artikel Wikipedia.
#Penyebaran_Islam_di_Nusantara.
Bagian dari seri artikel mengenai
Sejarah Indonesia
Sejarah Indonesia.png
Lihat pula:
Garis waktu sejarah Indonesia
Sejarah Nusantara
#Prasejarah
#Kerajaan_Hindu_Buddha
Salakanagara (130-362)
Kutai (abad ke-4)
Tarumanagara (358–669)
Kendan (536–612)
Galuh (612-1528)
Kalingga (abad ke-6 sampai ke-7)
Sriwijaya (abad ke-7 sampai ke-13)
Sailendra (abad ke-8 sampai ke-9)
Kerajaan Medang (752–1006)
Kerajaan Kahuripan (1006–1045)
Kerajaan Sunda (932–1579)
Kediri (1045–1221)
Dharmasraya (abad ke-12 sampai ke-14)
Singhasari (1222–1292)
Majapahit (1293–1500)
Malayapura (abad ke-14 sampai ke-15)
#Kerajaan_Islam.
Penyebaran Islam (1200-1600)
Kesultanan Samudera Pasai (1267-1521)
Kesultanan Ternate (1257–sekarang)
Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kesultanan Malaka (1400–1511)
Kerajaan Inderapura (1500-1792)
Kesultanan Demak (1475–1548)
Kesultanan Kalinyamat (1527–1599)
Kesultanan Aceh (1496–1903)
Kesultanan Banjar (1520–1860)
Kesultanan Banten (1527–1813)
Kesultanan Cirebon (1430 - 1666)
Kerajaan Tayan (Abad Ke-15-sekarang)
Kesultanan Mataram (1588—1681)
Kesultanan Palembang (1659-1823)
Kesultanan Siak (1723-1945)
Kesultanan Pelalawan (1725-1946)
#Kerajaan_Kristen
Kerajaan Larantuka (1600-1904)
#Kolonialisme_bangsa_Eropa
Portugis (1512–1850)
VOC (1602-1800)
Belanda (1800–1942)
#Kemunculan_Indonesia
Kebangkitan Nasional (1899-1942)
Pendudukan Jepang (1942–1945)
Revolusi nasional (1945–1950)
#Indonesia_Merdeka
Orde Lama (1950–1959)
Demokrasi Terpimpin (1959–1965)
Masa Transisi (1965–1966)
Orde Baru (1966–1998)
Era Reformasi (1998–sekarang)
lihat bicara
Penyebaran Islam di Nusantara adalah proses menyebarnya agama Islam di Nusantara (sekarang Indonesia). Islam dibawa ke Nusantara oleh pedagang dari Gujarat, India selama abad ke-11, meskipun Muslim telah mendatangi Nusantara sebelumnya.[butuh rujukan] Pada akhir abad ke-16, Islam telah melampaui jumlah penganut Hindu dan Buddhisme sebagai agama dominan bangsa Jawa dan Sumatra. Bali mempertahankan mayoritas Hindu, sedangkan pulau-pulau timur sebagian besar tetap menganut animisme sampai abad 17 dan 18 ketika agama Kristen menjadi dominan di daerah tersebut.
Penyebaran Islam di Nusantara pada awalnya didorong oleh meningkatnya jaringan perdagangan di luar kepulauan Nusantara. Pedagang dan bangsawan dari kerajaan besar Nusantara biasanya adalah yang pertama mengadopsi Islam. Kerajaan yang dominan, termasuk Kesultanan Mataram (di Jawa Tengah sekarang), dan Kesultanan Ternate dan Tidore di Kepulauan Maluku di timur. Pada akhir abad ke-13, Islam telah berdiri di Sumatera Utara, abad ke-14 di timur laut Malaya, Brunei, Filipina selatan, di antara beberapa abdi kerajaan di Jawa Timur, abad ke-15 di Malaka dan wilayah lain dari Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia). Meskipun diketahui bahwa penyebaran Islam dimulai di sisi barat Nusantara, kepingan-kepingan bukti yang ditemukan tidak menunjukkan gelombang konversi bertahap di sekitar setiap daerah Nusantara, melainkan bahwa proses konversi ini rumit dan lambat.
Meskipun menjadi salah satu perkembangan yang paling signifikan dalam sejarah Indonesia, bukti sejarah babak ini terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia sangat terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara kala itu.[1]:3 Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan beberapa kesaksian peziarah, tetapi bukti ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Bukti ini tidak bisa menjelaskan hal-hal yang lebih rumit seperti bagaimana gaya hidup dipengaruhi oleh agama baru ini, atau seberapa dalam Islam mempengaruhi masyarakat. Dari bukti ini tidak bisa diasumsikan, bahwa karena penguasa saat itu dikenal sebagai seorang Muslim, maka proses Islamisasi daerah itu telah lengkap dan mayoritas penduduknya telah memeluk Islam; namun proses konversi ini adalah suatu proses yang berkesinambungan dan terus berlangsung di Nusantara, bahkan tetap berlangsung sampai hari ini di Indonesia modern. Namun demikian, titik balik yang jelas terjadi adalah ketika Kerajaan Hindu Majapahit di Jawa dihancurkan oleh Kerajaan Islam Demak. Pada 1527, pemimpin perang Muslim Fatahillah mengganti nama Sunda Kelapa yang baru ditaklukkannya sebagai "Jayakarta" (berarti "kota kemenangan") yang akhirnya seiring waktu menjadi "Jakarta". Asimilasi budaya Nusantara menjadi Islam kemudian meningkat dengan cepat setelah penaklukan ini.
Awal sejarah
Peta lokasi Kesultanan Samudera Pasai.
Bukti sejarah penyebaran Islam di Nusantara terkeping-keping dan umumnya tidak informatif sehingga pemahaman tentang kedatangan Islam ke Indonesia terbatas. Ada perdebatan di antara peneliti tentang apa kesimpulan yang bisa ditarik tentang konversi masyarakat Nusantara.[1]:3 Bukti utama, setidaknya dari tahap-tahap awal proses konversi ini, adalah batu nisan dan kesaksian beberapa peziarah, tetapi hal ini hanya dapat menunjukkan bahwa umat Islam pribumi ada di tempat tertentu pada waktu tertentu. Baik pemerintah kolonial Hindia Belanda maupun Republik Indonesia lebih memilih situs peninggalan Hindu dan Buddha di Pulau Jawa dalam alokasi sumber daya mereka untuk penggalian dan pelestarian purbakala, kurang memberi perhatian pada penelitian tentang awal sejarah Islam di Indonesia. Dana penelitian, baik negeri maupun swasta, dihabiskan untuk pembangunan masjid-masjid baru, daripada mengeksplorasi yang lama.[2]
Sebelum Islam mendapat tempat di antara masyarakat Nusantara, pedagang Muslim telah hadir selama beberapa abad. Sejarawan Merle Ricklefs (1991) mengidentifikasi dua proses tumpang tindih dimana Islamisasi Nusantara terjadi: antara orang Nusantara mendapat kontak dengan Islam dan dikonversi menjadi muslim, dan/atau Muslim Asia asing (India, China, Arab, dll) menetap di Nusantara dan bercampur dengan masyarakat lokal. Islam diperkirakan telah hadir di Asia Tenggara sejak awal era Islam. Dari waktu khalifah ketiga Islam, 'Utsman' (644-656) utusan dan pedagang Muslim tiba di China dan harus melewati rute laut Nusantara, melalui Nusantara dari dunia Islam. Melalui hal inilah kontak utusan Arab antara tahun 904 dan pertengahan abad ke-12 diperkirakan telah terlibat dalam negara perdagangan maritim Sriwijaya di Sumatra.
Kesaksian awal tentang kepulauan Nusantara terlacak dari Kekhalifahan Abbasiyah, menurut kesaksian awal tersebut, kepulauan Nusantara adalah terkenal di antara pelaut Muslim terutama karena kelimpahan komoditas perdagangan rempah-rempah berharga seperti Pala, Cengkeh, Lengkuas dan banyak lainnya.[3]
Kehadiran Muslim asing di Nusantara bagaimanapun tidak menunjukkan tingkat konversi pribumi Nusantara ke Islam yang besar atau pembentukan negara Islam pribumi di Nusantara.[1]:3 Bukti yang paling dapat diandalkan tentang penyebaran awal Islam di Nusantara berasal dari tulisan di batu nisan dan sejumlah kesaksian peziarah. Nisan paling awal yang terbaca tertulis tahun 475 H (1082 M), meskipun milik seorang Muslim asing, ada keraguan apakah nisan tersebut tidak diangkut ke Jawa pada masa setelah tahun tersebut. Bukti pertama Muslim pribumi Nusantara berasal dari Sumatera Utara, Marco Polo dalam perjalanan pulang dari China pada tahun 1292, melaporkan setidaknya satu kota Muslim,[4] dan bukti pertama tentang dinasti Muslim adalah nisan tertanggal tahun 696 H (1297 M), dari Sultan Malik al-Saleh, penguasa Muslim pertama Kesultanan Samudera Pasai, dengan batu nisan selanjutnya menunjukkan diteruskannya pemerintahan Islam. Kehadiran sekolah pemikiran Syafi'i, yang kemudian mendominasi Nusantara dilaporkan oleh Ibnu Battutah, seorang peziarah dari Maroko, tahun 1346. Dalam catatan perjalanannya, Ibnu Battutah menulis bahwa penguasa Samudera Pasai adalah seorang Muslim, yang melakukan kewajiban agamanya sekuat tenaga. Madh'hab yang digunakannya adalah Imam Syafi'i dengan kebiasaan yang sama ia lihat di India.[4]
Menurut wilayah
Pada awalnya sejarawan meyakini bahwa Islam menyebar di masyarakat Nusantara dengan cara yang umumnya berlangsung damai, dan dari abad ke-14 sampai akhir abad ke-19 Nusantara melihat hampir tidak ada aktivitas misionaris Muslim terorganisir.[5] Namun klaim ini kemudian dibantah oleh temuan sejarawan bahwa beberapa bagian dari Jawa, seperti Suku Sunda di Jawa Barat dan kerajaan Majapahit di Jawa Timur ditaklukkan oleh Muslim Jawa dari Kesultanan Demak. Kerajaan Hindu-Buddha Sunda Pajajaran ditaklukkan oleh kaum Muslim pada abad ke-16, sedangkan bagian pesisir-Muslim dan pedalaman Jawa Timur yang Hindu-Buddha sering berperang.[1]:8 Pendiri Kesultanan Aceh Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer pada tahun 1520 untuk mendominasi bagian utara Sumatera dan mengkonversi penduduknya menjadi Islam. Penyebaran terorganisir Islam juga terbukti dengan adanya Wali Sanga (sembilan orang suci) yang diakui mempunyai andil besar dalam Islamisasi Nusantara secara sistematis selama periode ini. [1]:8[6]
Malaka
Didirikan sekitar awal abad ke-15 , negara perdagangan Melayu Kesultanan Malaka (sekarang bagian Malaysia) didirikan oleh Sultan Parameswara, adalah, sebagai pusat perdagangan paling penting di kepulauan Asia Tenggara, pusat kedatangan Muslim asing, dan dengan demikian muncul sebagai pendukung penyebaran Islam di Nusantara. Parameswara sendiiri diketahui telah dikonversi ke Islam, dan mengambil nama Iskandar Shah setelah kedatangan Laksamana Cheng Ho yang merupakan Suku Hui muslim dari negeri China. Di Malaka dan di tempat lain batu-batu nisan bertahan dan menunjukkan tidak hanya penyebaran Islam di kepulauan Melayu, tetapi juga sebagai agama dari sejumlah budaya dan penguasa mereka pada akhir abad ke-15.
Sumatera Utara
Masjid di Sumatera Barat dengan arsitektur tradisional Minangkabau.
Bukti yang lebih kuat mendokumentasikan transisi budaya yang berlanjut berasal dari dua batu nisan akhir abad ke-14 dari Minye Tujoh di Sumatera Utara, masing-masing dengan tulisan Islam tetapi dengan jenis karakter India dan lainnya Arab. Berasal dari abad ke-14, batu nisan di Brunei, Trengganu (timur laut Malaysia) dan Jawa Timur adalah bukti penyebaran Islam. Batu Trengganu memiliki dominasi bahasa Sansekerta atas kata-kata Arab, menunjukkan representasi pengenalan hukum Islam. Menurut Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433) yang ditulis oleh Ma Huan, pencatat sejarah dan penerjemah Cheng Ho: "negara-negara utama di bagian utara Sumatra sudah merupakan Kesultanan Islam. Pada tahun 1414, ia (Cheng Ho) mengunjungi Kesultanan Malaka, penguasanya Iskandar Shah adalah Muslim dan juga warganya, dan mereka percaya dengan sangat taat".
Di Kampong Pande, Banda Aceh terdapat batu nisan Sultan Firman Syah, cucu dari Sultan Johan Syah, yang memiliki sebuah prasasti yang menyatakan bahwa Banda Aceh adalah ibukota Kesultanan Aceh Darussalam dan bahwa kota itu didirikan pada hari Jumat, 1 Ramadhan (22 April 1205) oleh Sultan Johan Syah setelah ia menaklukkan Kerajaan Hindu-Buddha Indra Purba yang beribukota di Bandar Lamuri.
Pembentukan kerajaan-kerajaan Islam lebih lanjut di bagian Utara pulau Sumatera didokumentasikan oleh kuburan-kuburan akhir abad ke-15 dan ke-16 termasuk sultan pertama dan kedua Kesultanan Pedir (sekarang Pidie), Muzaffar Syah, dimakamkan 902 H (1497 M) dan Ma'ruf Syah, dimakamkan 917 H (1511 M). Kesultanan Aceh didirikan pada awal abad ke-16 dan kemudian akan menjadi negara yang paling kuat di utara Pulau Sumatra dan salah satu yang paling kuat di seluruh kepulauan Melayu. Sultan pertama Kesultanan Aceh adalah Ali Mughayat Syah yang nisannya bertanggal tahun 936 H (1530 M).
Pada 1520, Ali Mughayat Syah memulai kampanye militer untuk mendominasi bagian utara Sumatera. Dia menaklukkan Daya, dan mengkonversi orang-orangnya ke Islam. [7] Penaklukannya berlanjut ke bawah pantai timur, seperti Pidie dan Pasai menggabungkan beberapa daerah penghasil emas dan lada. Penambahan daerah-daerah tersebut akhirnya menyebabkan ketegangan internal dalam Kesultanan Aceh, karena kekuatan Aceh adalah sebagai bandar perdagangan, yang kepentingan ekonominya berbeda dari wilayah-wilayah bandar produksi.
Buku ahli pengobatan Portugis Tome Pires yang mendokumentasikan pengamatannya atas Jawa dan Sumatera dari kunjungannya tahun 1512-1515, dianggap salah satu sumber yang paling penting tentang penyebaran Islam di Nusantara. Pada saat tersebut, menurut Piers, kebanyakan raja di Sumatera adalah Muslim, dari Aceh dan ke selatan sepanjang pantai timur ke Palembang, para penguasanya adalah Muslim, sementara sisi selatan Palembang dan di sekitar ujung selatan Sumatera dan ke pantai barat, sebagian besar bukan. Di kerajaan lain Sumatera, seperti Pasai dan Minangkabau penguasanya adalah Muslim meskipun pada tahap itu warga mereka dan orang-orang di daerah tetangga bukan. Bagaimanapun, dilaporkan oleh Pires bahwa agama Islam terus memperoleh penganut baru.
Setelah kedatangan rombongan kolonial Portugis dan ketegangan yang mengikuti tentang kekuasaan atas perdagangan rempah-rempah, Sultan Aceh Alauddin al-Kahar (1539-1571) mengirimkan dutanya ke Sultan Kesultanan Utsmaniyah, Suleiman I tahun 1564, meminta dukungan Utsmaniyah melawan Kekaisaran Portugis. Dinasti Utsmani kemudian dikirim laksamana mereka, Kurtoğlu Hızır Reis. Dia kemudian berlayar dengan kekuatan 22 kapal membawa tentara, peralatan militer dan perlengkapan lainnya. Menurut laporan yang ditulis oleh Laksamana Portugis Fernão Mendes Pinto, armada Utsmaniyah yang pertama kali tiba di Aceh terdiri dari beberapa orang Turki dan kebanyakan Muslim dari pelabuhan Samudera Hindia.[8]
Jawa Tengah dan Jawa Timur
Masjid Agung Demak, Kerajaan Islam pertama di Jawa.
Prasasti-prasasti dalam aksara Jawa Kuno, bukan bahasa Arab, ditemukan pada banyak serangkaian batu nisan bertanggal sampai 1369 M di Jawa Timur, menunjukkan bahwa mereka hampir pasti adalah Jawa pribumi, bukan Muslim asing. Karena dekorasi rumit dan kedekatan dengan lokasi bekas ibukota kerajaan Hindu-Buddha Majapahit, Louis-Charles Damais (peneliti dan sejarawan) menyimpulkan bahwa makam ini adalah makam orang-orang Jawa pribumi yang sangat terhormat, bahkan mungkin keluarga kerajaan.[9] Hal ini menunjukkan bahwa beberapa elit Kerajaan Majapahit di Jawa telah memeluk Islam pada saat Majapahit yang merupakan Kerajaan Hindu-Buddha berada di puncak kejayaannya.
Ricklefs (1991) berpendapat bahwa batu-batu nisan Jawa timur ini, berlokasi dan bertanggal di wilayah non-pesisir Majapahit, meragukan pandangan lama bahwa Islam di Jawa berasal dari pantai dan mewakili oposisi politik dan agama untuk kerajaan Majapahit. Sebagai sebuah kerajaan dengan kontak politik dan perdagangan yang luas, Majapahit hampir pasti telah melakukan kontak dengan para pedagang Muslim, namun kemungkinan adanya abdi dalem keraton yang berpengalaman untuk tertarik pada agama kasta pedagang masih sebatas dugaan. Sebaliknya, guru Sufi-Islam yang dipengaruhi mistisisme dan mungkin mengklaim mempunyai kekuatan gaib, lebih mungkin untuk diduga sebagai agen konversi agama para elit istana Jawa yang sudah lama akrab dengan aspek mistisisme Hindu dan Buddha.[1]:5
Pada awal abad ke-16, Jawa Tengah dan Jawa Timur, daerah di mana suku Jawa hidup, masih dikuasai oleh raja Hindu-Buddha yang tinggal di pedalaman Jawa Timur di Daha (sekarang Kediri). Namun daerah pesisir seperti Surabaya, telah ter-Islamisasi dan sering berperang dengan daerah pedalaman, kecuali Tuban, yang tetap setia kepada raja Hindu-Buddha. Beberapa wilayah di pesisir tersebut adalah wilayah penguasa Jawa yang telah berkonversi ke Islam, atau wilayah Tionghoa Muslim, India, Arab dan Melayu yang menetap dan mendirikan negara perdagangan mereka di pantai. Menurut Pires, para pemukim asing dan keturunan mereka tersebut begitu mengagumi budaya Hindu-Buddha Jawa sehingga mereka meniru gaya tersebut dan dengan demikian mereka menjadi "Jawa". Perang antara Muslim-pantai dan Hindu-Buddha-pedalaman ini juga terus berlanjut lama setelah jatuhnya Majapahit oleh Kesultanan Demak, bahkan permusuhan ini juga terus berlanjut lama setelah kedua wilayah tersebut mengadopsi Islam.[1]:8
Kapan orang-orang di pantai utara Jawa memeluk Islam tidaklah jelas. Muslim Tionghoa, Ma Huan, utusan Kaisar Yongle,[4] mengunjungi pantai Jawa pada 1416 dan melaporkan dalam bukunya, Ying-yai Sheng-lan: survei umum pantai samudra (1433), bahwa hanya ada tiga jenis orang di Jawa: Muslim dari wilayah barat Nusantara, Tionghoa (beberapa adalah Muslim) dan Jawa yang bukan Muslim.[10] Karena batu-batu nisan Jawa Timur adalah dari Muslim Jawa lima puluh tahun sebelumnya, laporan Ma Huan menunjukkan bahwa Islam mungkin memang telah diadopsi oleh sebagian abdi dalem istana Jawa sebelum orang Jawa pesisir.
Sebuah nisan Muslim bertanggal 822 H (1419 M) ditemukan di Gresik, pelabuhan di Jawa Timur dan menandai makam Maulana Malik Ibrahim. Namun bagaimanapun, dia adalah orang asing non-Jawa, dan batu nisannya tidak memberikan bukti konversi pesisir Jawa. Namun Malik Ibrahim, menurut tradisi Jawa adalah salah satu dari sembilan penyebar Islam di Jawa (disebut Wali Sanga) meskipun tidak ada bukti tertulis ditemukan tentang tradisi ini. Pada abad ke-15-an, Kerajaan Majapahit yang kuat di Jawa mengalami kemunduran. Setelah dikalahkan dalam beberapa pertempuran, kerajaan Hindu terakhir di Jawa jatuh di bawah meningkatnya kekuatan Kesultanan Demak pada tahun 1520.
Jawa Barat
Suma Oriental ("Dunia Timur") yang ditulis Tome Pires melaporkan juga bahwa Suku Sunda di Jawa Barat bukanlah Muslim di zamannya, dan memang memusuhi Islam.[1] Sebuah penaklukan oleh Muslim di daerah ini terjadi pada abad ke-16. Dalam studinya tentang Kesultanan Banten, Martin van Bruinessen berfokus pada hubungan antara mistik dan keluarga kerajaan, menjadi pembeda bahwa proses Islamisasi dengan yang berlaku di tempat lain di Pulau Jawa: "Dalam kasus Banten, sumber-sumber pribumi mengasosiasikan "tarekat" tidak dengan perdagangan dan pedagang, tetapi dengan raja, kekuatan magis dan legitimasi politik."[11] Ia menyajikan bukti bahwa Sunan Gunungjati diinisiasi ke dalam aliran "Kubra", "Shattari", dan "Naqsyabandiyah" dari sufisme.
Daerah lain
Tidak ada bukti dari penerapan Islam oleh orang Nusantara sebelum abad ke-16 di daerah luar Pulau Jawa, Pulau Sumatera, Kesultanan Ternate dan Tidore di Maluku, dan Kesultanan Brunei dan Semenanjung Melayu.
Legenda Nusantara dan Melayu
Meskipun kerangka waktu bagi masuknya Islam di wilayah Indonesia dapat ditentukan secara luas, sumber-sumber utama sejarah tidak bisa menjawab banyak pertanyaan yang spesifik, sehingga kontroversi terus mengelilingi topik ini. Sumber-sumber seperti tidak menjelaskan mengapa konversi signifikan orang pribumi Nusantara menjadi Islam tidak dimulai hingga beberapa abad bahkan setelah para Muslim asing mengunjungi dan tinggal di Nusantara. Sumber-sumber ini juga tidak cukup menjelaskan asal usul dan perkembangan "aliran" istimewa Islam di Nusantara, atau bagaimana Islam menjadi agama yang dominan di Nusantara.[1]:8 Untuk mengisi kekosongan celah sejarah ini, banyak peneliti mencari referensi ke legenda-legenda Melayu dan Nusantara tentang konversi pribumi Nusantara ke Islam.
Ricklefs berpendapat bahwa meskipun legenda-legenda ini bukanlah catatan historis yang dapat diandalkan tentang peristiwa yang sebenarnya, legenda-legenda ini berharga dalam memberi titik terang mengenai beberapa peristiwa, melalui wawasan mereka yang tersebar di masyarakat, ke dalam sifat pembelajaran dan kekuatan magis, latar belakang asing dan hubungan perdagangan para guru Islam awal, dan proses konversi yang bergerak dari atas (golongan elit keraton) ke bawah. Legenda ini juga memberikan wawasan tentang bagaimana generasi muda Nusantara (Indonesia) melihat proses Islamisasi ini.[1]:8–11 Sumber-sumber ini termasuk:
Hikayat Raja-raja Pasai - sebuah teks Bahasa Melayu Kuno yang menceritakan bagaimana Islam datang ke negeri "Samudra" (Kesultanan Samudera Pasai, sekarang di Aceh) di mana Kerajaan Islam di Nusantara yang pertama didirikan.
Sejarah Melayu - teks Bahasa Melayu Kuno, yang seperti juga Hikayat Raja-raja Pasai menceritakan kisah konversi Samudra, tetapi juga bercerita tentang konversi Raja Malaka (Parameswara).
Babad Tanah Jawi - nama generik yang digunakan untuk sejumlah besar manuskrip, di mana konversi ke dalam bahasa Jawa yang pertama diatributkan pada Wali Sanga ("sembilan orang suci").
Sejarah Banten - Sebuah teks Jawa yang berisi cerita konversi.
Dari teks-teks yang disebutkan di sini, teks-teks Melayu menggambarkan proses konversi ke Islam sebagai ritual pelepasan yang signifikan, ditandai dengan tanda-tanda formal dan nyata dari ritual konversi, seperti sunat, pengakuan iman, dan mengadopsi nama Arab. Di sisi lain, ketika peristiwa-peristiwa magis masih memainkan peran penting dalam kesaksian Jawa tentang Islamisasi, peristiwa magis dalam konversi ke Islam menurut kesaksian teks-teks Melayu tidak ditemukan. Hal ini menunjukkan proses konversi Jawa ke Islam lebih merupakan "menyerap" Islam ketimbang berpindah, [1]:9 hal ini konsisten dengan elemen sinkretisme agama yang secara signifikan lebih besar dalam Islam kontemporer Jawa dibandingkan terhadap Islam yang relatif lebih ortodoks di Sumatera dan Semenanjung Malaya (sekarang Malaysia).
Lihat pula:
Ikon portal Portal Indonesia
Ikon portal Portal Islam
Ibnu Khordadbeh
Islam di Indonesia
Masjid di Indonesia
Penyebaran Islam di Asia Tenggara
Penyebaran Islam
Rujukan:
Van Nieuwenhuijze. 1958. Aspek Islam Pasca-Kolonial Indonesia.
Referensi:
^ a b c d e f g h i j k Ricklefs, M.C. (1991). A History of Modern Indonesia since c.1300, 2nd Edition. London: MacMillan. ISBN 0-333-57689-6.
^ Taylor, Jean Gelman (2003). Indonesia: Peoples and Histories. New Haven and London: Yale University Press. pp. 29–30. ISBN 0-300-10518-5.
^ http://gernot-katzers-spice-pages.com/engl/spice_geo.html…
^ a b c Raden Abdulkadir Widjojoatmodjo (November 1942). "Islam in the Netherlands East Indies". The Far Eastern Quarterly 2 (1): 48–57. doi:10.2307/2049278. JSTOR 2049278.
^ Nieuwenhuijze (1958), p. 35.
^ Ricklefs, M.C. History of Modern Indonesia Since c.1200. P.8.
^ http://www.kitlv.nl/pdf_documents/asia.acehnese.pdf
^ Azra, Azyumardi (2006). Islam in the Indonesian world: an account of institutional formation. Mizan Pustaka. p. 169.
^ Damais, Louis-Charles, 'Études javanaises, I: Les tombes musulmanes datées de Trålåjå.' BEFEO, vol. 54 (1968), pp. 567-604.
^ Ma Huan’s, Ying-yai Sheng-lan: The overall survey of the ocean's shores' (1433). Ed. and transl. J.V.G. Mills. Cambridge: University Press, 1970
^ Martin van Bruinessen (1995). "Shari`a court, tarekat and pesantren: religious institutions in the sultanate of Banten". Archipel 50: 165–200. doi:10.3406/arch.1995.3069
#Salam_4_Pilar_Kebangsaan.
#RAHAYU.

(James K.Bong, Musafir-Marhaenis ; sintasi via Tunjung Dhimas Bintoro)

Agama Bukan Kedok









Saat Agama kita dihina orang, hormati mereka dengan senyum, mereka yang menghina kita itu sedang menceritakan Kwalitas dirinya didalam, bukan sedang menceritakan Kwalitas yg dihinanya.
Tapi sekarang Banyak orang yang merasa terhina dan tersinggung hanya karna kita menjelaskan Alasan ketidak percayaan kita pada Suatu Agama. Seperti orang Kristen banyak yg tersinggung saat Agama lain mengatakan alasannya kenapa tdk mau masuk Agama kristen? ya karna mereka tak percaya bahwa Yesus itu Tuhan.
Seperti orang Islam banyak yang merasa dihina dan dinistakan saat pemeluk Agama lain mengatakan alasannya kenapa tak mau memeluk Islam? Ya karna mereka tak percaya bahwa Muhammad itu Utusan Alloh.

Disini Awal terjadinya keributan karna ketidaksadaran kita yg tidak bisa membedakan antara menghina dan mengutarakan alasan ketidak percayaannya.
Menceritakan Alasan ketidak percayaan pada suatu Agama bukan berarti menghina atau menistakan Agama itu, karna semua orang punya hak untk tidak percaya dan punya hak untk mengatakan Alasannya.
Bagi saya Agama bukanlah Alat untuk menyerang kepercayaan lain, tapi ajaran seperti angin sejuk yang mendekap kegerahan Jiwa dan menyebarkan welas asih pada sesama umat manusia. Jika ada Agama yang Menyerang Kepercayaan lain maka kata AGAMA perlu dikaji lagi, pantas atau tidak diterapkan pada Ajaran itu.

Mametto sintasi via Tunjung Dhimas Bintoro

Islam Kejawaan  (Taddaburan/Maiyahan)









Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling sering merasakan berkahnya NU adalah keluarga orang yang sudah meninggal : setiap hari dikirimi doa dan tumpeng.

Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di Irak, perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol, kok ada yang masih utuh: Islam di Indonesia.

Akhirnya semua ingin kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih utuh. Akhirnya semua sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena memiliki jamiyyah NU. Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.
Ternyata, jaman dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.

Mengapa? Karena Islam Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda.

Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya paham betul Islam.
Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu. Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu tidak ada.

Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran. Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu, ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu, ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.

Maka, ketika Snouck Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.

Begitu belajar bahasa Jawa, mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego). Snouck Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya rice, bahasa arabnya ar-ruz .
Yang disebut ruz, ketika di sawah, namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen, namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah mulai kucluk , korslet.
Begitu ditutu, ditumbuk, digiling, mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah. Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice.
Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang, disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur, lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.

Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting (berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah Arab.

Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah . Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah. Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.
Lha , akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia. Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia, Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati (essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa? Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.

Kalau Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam datang ke Eropa juga dalam keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.
Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar dan kaya-raya.

Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu (dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah. Artinya dakwah disini tidak mudah.
Diceritain pangeran, orang Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya. Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.

Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu. Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana, kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.

Dibawah Brahmana ada kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak boleh bicara agama.

Di bawah itu ada petani, pedagang dan saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama. Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.
Yang cerita Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca. Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.

Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
Namun mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa atau murco.
Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.

Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah, namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul orang-orang macam Sumanto.

Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
Ada 1.500 ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa dimakan orang Jawa.

Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir.
Ada yang lari ke Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul Sengoro.

Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim (Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak, melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah, melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.

Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro.
Disana dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi, pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.
Nah , Syekh Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam. Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.

Sunan Ampel berpikir bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : ".... masaluhum fit tawrat wa masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”
Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”
Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil, kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil? Jawabannya adalah padi.
Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah, tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun , disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu, menanamnya tidak kelihatan.
Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten. Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.

Kalau Hindu kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip. Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan reinkarnasi. Bagaimana caranya?
Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah hafal dengan tembang.
Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek, nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok, menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat, itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup harus bisa membaca perkara Empat.

Keempat perkara itu adalah teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia, seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.
Ada sari makanan yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal daging. Inilah produk dunia.
Begitu jadi segumpal daging, nyawa dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?” (apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf, 7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )
Kemudian, setelah sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.
Itu oleh Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.

Tidak mau dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil ‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
Mau kaya kalau memakai jalan kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama; sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu dan satunya terang rumah terbakar.
Satu mencari ayam dengan lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu, hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.
Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan, Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati, mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk imunisasi.

Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil. Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong saja kailnya.
Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji. Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah tangga, rabi, menikah.

Setelah Gambuh, adalah tembang Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang Dhurma.
Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma bakti, kesusul tembang Pangkur.
Anak manusia yang sudah memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh : megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.

Terakhir sekali, tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung . Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang ciut (siap-siap masuk pintu kecil).
Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir. Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.

Ketika ingin disaduk, Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”. Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut, namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”
Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya: ”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng , takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat, di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.
Maka, pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut – canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol – gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
Begitu tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya. Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini ngaji, ya disana mencuri kayu.

Lho, lha ini orang-orang kok. Ya seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana. Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah. Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.

Maksudnya: uripmu mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu, tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir, tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol: kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung. Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak cah angon ayo memanjat mangga.

Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat 'imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan. Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
Padahal tugas Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.

Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. . Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu tumbuhnya dari situ.
Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda. Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja, ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma'mum tahu apa yang sedang dibaca imam.

Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca. Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab, dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah, dinone senen, rolas mulud tahun gajah.
Inilah cara ulama-ulama dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya dimiliki orang Jawa.

Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia, pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut. Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.
Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik. Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran: menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.
Namun Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan.

Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
Mata kok lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang, amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang dulu, landai.

Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.

Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah, adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini, yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.
Dan yang bertanggungjawab dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok banyak yang bilang tidak Islam.
Nah, sistem perjuangan seperti ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.
Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi, namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran, gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di desa juga ada yang hutang rokok.

Tapi Nahdlatul Ulama ini yang menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi tabi’in , maknanya pengikut.
Murid Tabi’in namanya tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.

Lha KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim, Boyolali.
Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.

Sunan Geseng hanya murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad, murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.
Kemudian murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.
Kalau begini nama kita apa? Namanya ya tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.

Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.
Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
Tabiin wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup, kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.
Kemudian Islam semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “ Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.
Orang Turki diajari “ Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari “ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “ Alladziina ” keluarnya “ Alat Zina ”.
Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “ Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum ” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ” keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga.

Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ” jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “ Shiraathal…” bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah, seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran , namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
Murid ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang se-kampung.

Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai dengan hukum pelajarannya ulama.
Anda sekalian disuruh dzikir di rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak berdzikir.
Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir. Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya. Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.
Mulut tidak bisa membaca, mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada Alqurannya.

Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.
Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia.

Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta, Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.
Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak dengan Mbah Sunan Bonang.

Saya yang menjamin. Ini pernah saya katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka, Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.
Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran 120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad, urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.

 
Bp. Agus Sunyoto Lesbumi sintasi via Tunjung Dhimas Bintoro

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...