Alhamdulillah, akhir-akhir ini orang merasakan manfaatnya Nahdlatul Ulama (NU). Dulu, orang yang paling bahagia, paling se
Hari ini begitu dunia dilanda kekacauan, ketika Dunia Islam galau: di
Afganistan perang sesama Islam, di Suriah perang sesama Islam, di Irak,
perang sesama Islam. Semua ingin tahu, ketika semua sudah jebol, kok ada
yang masih utuh: Islam di Indonesia.
Akhirnya semua ingin
kesini, seperti apa Islam di Indonesia kok masih utuh. Akhirnya semua
sepakat: utuhnya Islam di Indonesia itu karena memiliki jamiyyah NU.
Akhirnya semua pingin tahu NU itu seperti apa.
Ternyata, jaman
dulu ada orang Belanda yang sudah menceritakan santri NU, namanya
Christia Snouck Hurgronje. Dia ini hafal Alquran, Sahih Bukhori, Sahih
Muslim, Alfiyyah Ibnu Malik, Fathul Mu’in , tapi tidak islam, sebab
tugasnya menghancurkan Islam Indonesia.
Mengapa? Karena Islam
Indonesia selalu melawan Belanda. Sultan Hasanuddin, santri. Pangeran
Diponegoro atau Mbah Abdul Hamid, santri. Sultan Agung, santri. Mbah
Zaenal Mustofa, santri. Semua santri kok melawan Belanda.
Akhirnya ada orang belajar secara khusus tentang Islam, untuk mencari
rahasia bagaimana caranya Islam Indonesia ini remuk. Snouck Hurgronje
masuk ke Indonesia dengan menyamar namanya Syekh Abdul Ghaffar. Dia
belajar Islam, menghafalkan Alquran dan Hadis di Arab. Maka akhirnya
paham betul Islam.
Hanya saja begitu ke Indonesia, Snouck
Hurgronje bingung: mencari Islam dengan wajah Islam, tidak ketemu.
Ternyata Islam yang dibayangkan dan dipelajari Snouck Hurgronje itu
tidak ada.
Mencari Allah disini tidak ketemu, ketemunya Pangeran.
Ketemunya Gusti. Padahal ada pangeran namanya Pangeran Diponegoro. Ada
Gusti namanya Gusti Kanjeng. Mencari istilah shalat tidak ketemu,
ketemunya sembahyang. Mencari syaikhun, ustadzun , tidak ketemu,
ketemunya kiai. Padahal ada nama kerbau namanya kiai slamet. Mencari
mushalla tidak ketemu, ketemunya langgar.
Maka, ketika Snouck
Hurgronje bingung, dia dibantu Van Der Plas. Ia menyamar dengan nama
Syekh Abdurrahman. Mereka memulai dengan belajar bahasa Jawa. Karena
ketika masuk Indonesia, mereka sudah bisa bahasa Indonesia, bahasa
Melayu, tapi tidak bisa bahasa Jawa.
Begitu belajar bahasa Jawa,
mereka bingung, strees. Orang disini makanannya nasi (sego). Snouck
Hurgronje dan Van Der Plas tahu bahasa beras itu, bahasa inggrisnya
rice, bahasa arabnya ar-ruz .
Yang disebut ruz, ketika di sawah,
namanya pari, padi. Disana masih ruz, rice. Begitu padi dipanen,
namanya ulen-ulen, ulenan. Disana masih ruz, rice. Jadi ilmunya sudah
mulai kucluk , korslet.
Begitu ditutu, ditumbuk, digiling,
mereka masih mahami ruz, rice , padahal disini sudah dinamai gabah.
Begitu dibuka, disini namanya beras, disana masih ruz, rice . Begitu
bukanya cuil, disini namanya menir, disana masih ruz, rice. Begitu
dimasak, disini sudah dinamai sego , nasi, disana masih ruz, rice.
Begitu diambil cicak satu, disini namanya
upa, disana namanya masih ruz, rice. Begitu dibungkus daun pisang,
disini namanya lontong, sana masih ruz, rice. Begitu dibungkus janur
kuning namanya ketupat, sana masih ruz, rice. Ketika diaduk dan hancur,
lembut, disini namanya bubur, sana namanya masih ruz, rice.
Inilah bangsa aneh, yang membuat Snouck Hurgronje judeg, pusing.
Mempelajari Islam Indonesia tidak paham, akhirnya mencirikan Islam
Indonesia dengan tiga hal. Pertama, kethune miring sarunge nglinting
(berkopiah miring dan bersarung ngelinting). Kedua, mambu rokok (bau
rokok). Ketiga, tangane gudigen (tangannya berpenyakit kulit).
Cuma tiga hal itu catatan (pencirian Islam Indonesia) Snouck Hurgronje
di Perpustakaan Leiden, Belanda. Tidak pernah ada cerita apa-apa, yang
lain sudah biasa. Maka, jangankan Snouck Hurgronje, orang Indonesia
saja kadang tidak paham dengan Islam Indonesia, karena kelamaan di tanah
Arab.
Lihat tetangga pujian, karena tidak paham, bilang bid’ah .
Melihat tetangga menyembelih ayam untuk tumpengan, dibilang bid’ah.
Padahal itu produk Islam Indonesia. Kelamaan diluar Indonesia, jadi
tidak paham. Masuk kesini sudah kemlinthi, sok-sokan, memanggil Nabi
dengan sebutan “Muhammad” saja. Padahal, disini, tukang bakso saja
dipanggil “Mas”. Padahal orang Jawa nyebutnya Kanjeng Nabi.
Lha ,
akhir-akhir ini semakin banyak yang tidak paham Islam Indonesia.
Kenapa? Karena Islam Indonesia keluar dari rumus-rumus Islam dunia,
Islam pada umumnya. Kenapa? Karena Islam Indonesia ini saripati
(essensi) Islam yang paling baik yang ada di dunia.
Kenapa?
Karena Islam tumbuhnya tidak disini, tetapi di Arab. Rasulullah orang
Arab. Bahasanya bahasa Arab. Yang dimakan juga makanan Arab. Budayanya
budaya Arab. Kemudian Islam datang kesini, ke Indonesia.
Kalau
Islam masuk ke Afrika itu mudah, tidak sulit, karena waktu itu peradaban
mereka masih belum maju, belum terdidik. Orang belum terdidik itu mudah
dijajah. Seperti pilkada, misalnya, diberi Rp 20.000 atau mie instan
sebungkus, beres. Kalau mengajak orang berpendidikan, sulit, dikasih
uang Rp 10 juta belum tentu mau.
Islam datang ke Eropa juga dalam
keadaan terpuruk. Tetapi Islam datang kesini, mikir-mikir dulu, karena
bangsa di Nusantara ini sedang kuat-kuatnya. Bangsa anda sekalian ini
bukan bangsa kecoak. Ini karena ketika itu sedang ada dalam kekuasaan
negara terkuat yang menguasai 2/3 dunia, namanya Majapahit.
Majapahit ini bukan negara sembarangan. Universitas terbesar di dunia
ada di Majapahit, namanya Nalanda. Hukum politik terbaik dunia yang
menjadi rujukan adanya di Indonesia, waktu itu ada di Jawa, kitabnya
bernama Negarakertagama. Hukum sosial terbaik ada di Jawa, namanya
Sutasoma. Bangsa ini tidak bisa ditipu, karena orangnya pintar-pintar
dan kaya-raya.
Cerita surga di Jawa itu tidak laku. Surga itu
(dalam penggambaran Alquran): tajri min tahtihal anhaar (airnya
mengalir), seperti kali. Kata orang disini: “mencari air kok sampai
surga segala? Disini itu, sawah semua airnya mengalir.” Artinya, pasti
bukan itu yang diceritakan para ulama penyebar Islam. Cerita surga
tentang buahnya banyak juga tidak, karena disini juga banyak buah.
Artinya dakwah disini tidak mudah.
Diceritain pangeran, orang
Jawa sudah punya Sanghyang Widhi. Diceritain Ka’bah orang jawa juga
sudah punya stupa: sama-sama batunya dan tengahnya sama berlubangnya.
Dijelaskan menggunakan tugu Jabal Rahmah, orang Jawa punya Lingga Yoni.
Dijelaskan memakai hari raya kurban, orang Jawa punya peringatan hari
raya kedri. Sudah lengkap. Islam datang membawa harta-benda, orang Jawa
juga tidak doyan. Kenapa? Orang Jawa pada waktu itu beragama hindu.
Hindu itu berprinsip yang boleh bicara agama adalah orang Brahmana,
kasta yang sudah tidak membicarakan dunia.
Dibawah Brahmana ada
kasta Ksatria, seperti kalau sekarang Gubernur atau Bupati. Ini juga
tidak boleh bicara agama, karena masih ngurusin dunia. Dibawah itu ada
kasta namanya Wesya (Waisya), kastanya pegawai negeri. Kasta ini tidak
boleh bicara agama.
Di bawah itu ada petani, pedagang dan
saudagar, ini kastanya Sudra . Kasta ini juga tidak boleh bicara agama.
Jadi kalau ada cerita Islam dibawa oleh para saudagar, tidak bisa
dterima akal. Secara teori ilmu pengetahuan ditolak, karena saudagar itu
Sudra dan Sudra tidak boleh bicara soal agama.
Yang cerita
Islam dibawa saudagar ini karena saking judeg-nya, bingungnya memahami
Islam di Indonesia. Dibawahnya ada kasta paria, yang hidup dengan
meminta-minta, mengemis. Dibawah Paria ada pencopet, namanya kasta
Tucca. Dibawah Tucca ada maling, pencuri, namanya kasta Mlecca.
Dibawahnya lagi ada begal, perampok, namanya kasta Candala.
Anak-anak muda NU harus tahu. Itu semua nantinya terkait dengan
Nahdlatul Ulama. Akhirnya para ulama kepingin, ada tempat begitu
bagusnya, mencoba diislamkan. Ulama-ulama dikirim ke sini.
Namun
mereka menghadapi masalah, karena orang-orang disini mau memakan
manusia. Namanya aliran Bhirawa. Munculnya dari Syiwa. Mengapa ganti
Syiwa, karena Hindu Brahma bermasalah. Hindu Brahma, orang Jawa bisa
melakukan tetapi matinya sulit. Sebab orang Brahma matinya harus moksa
atau murco.
Untuk moksa harus melakukan upawasa. Upawasa itu
tidak makan, tidak minum, tidak ngumpulin istri, kemudian badannya
menyusut menjadi kecil dan menghilang. Kadang ada yang sudah menyusut
menjadi kecil, tidak bisa hilang, gagal moksa, karena teringat
kambingnya, hartanya. Lha ini terus menjadi jenglot atau batara karang.
Jika anda menemukan jenglot ini, jangan dijual mahal karena itu produk
gagal moksa. Pada akhirnya, ada yang mencari ilmu yang lebih mudah,
namanya ilmu ngrogoh sukmo . Supaya bisa mendapat ilmu ini, mencari ajar
dari Kali. Kali itu dari Durga. Durga itu dari Syiwa, mengajarkan
Pancamakara.
Supaya bisa ngrogoh sukmo, semua sahwat badan
dikenyangi, laki-laki perempuan melingkar telanjang, menghadap arak dan
ingkung daging manusia. Supaya syahwat bawah perut tenang, dikenyangi
dengan seks bebas. Sisa-sisanya sekarang ada di Gunung Kemukus.
Supaya perut tenang, makan tumpeng. Supaya pikiran tenang, tidak banyak
pikiran, minum arak. Agar ketika sukma keluar dari badan, badan tidak
bergerak, makan daging manusia. Maka jangan heran kalau muncul
orang-orang macam Sumanto.
Ketika sudah pada bisa ngrogoh sukmo, ketika sukmanya pergi di ajak mencuri namanya
ngepet . Sukmanya pergi diajak membunuh manusia namanya santet. Ketika
sukmanya diajak pergi diajak mencintai wanita namanya pelet. Maka
kemudian di Jawa tumbuh ilmu santet, pelet dan ngepet.
Ada 1.500
ulama yang dipimpin Sayyid Aliyudin habis di-ingkung oleh orang Jawa
pengamal Ngrogoh Sukma. Untuk menghindari pembunuhan lagi, maka Khalifah
Turki Utsmani mengirim kembali tentara ulama dari Iran, yang tidak bisa
dimakan orang Jawa.
Nama ulama itu Sayyid Syamsuddin Albaqir
Alfarsi. Karena lidah orang Jawa sulit menyebutnya, kemudian di Jawa
terkenal dengan sebutan Syekh Subakir. Di Jawa ini di duduki bala
tentara Syekh Subakir, kemudian mereka diusir.
Ada yang lari ke
Pantai Selatan, Karang Bolong, Srandil Cicalap, Pelabuhan Ratu, dan
Banten. Di namai Banten, di ambil dari bahasa Sansekerta, artinya
Tumbal. Yang lari ke timur, naik Gunung Lawu, Gunung Kawi, Alas Purwo
Banyuwangi (Blambangan). Disana mereka dipimpin Menak Sembuyu dan Bajul
Sengoro.
Karena Syekh Subakir sepuh, maka pasukannya dilanjutkan
kedua muridnya namanya Mbah Ishak (Maulana Ishak) dan Mbah Brahim
(Ibrahim Asmoroqondi). Mereka melanjutkan pengejaran. Menak Sembuyu
menyerah, anak perempuannya bernama Dewi Sekardadu dinikahi Mbah Ishak,
melahirkan Raden Ainul Yaqin Sunan Giri yang dimakamkan di Gresik.
Sebagian lari ke Bali, sebagian lari ke Kediri, menyembah Patung Totok
Kerot, diuber Sunan Bonang, akhirnya menyerah. Setelah menyerah,
melingkarnya tetap dibiarkan tetapi jangan telanjang, arak diganti air
biasa, ingkung manusia diganti ayam, matra ngrogoh sukmo diganti kalimat
tauhid; laailaahaillallah. Maka kita punya adat tumpengan.
Kalau ada orang banyak komentar mem-bid’ah -kan, ceritakanlah ini. Kalau
ngeyel, didatangi: tabok mulutnya. Ini perlu diruntutkan, karena NU
termasuk yang masih mengurusi beginian.
Habis itu dikirim ulama
yang khusus mengajar ngaji, namanya Sayyid Jamaluddin al-Husaini
al-Kabir. Mendarat di Semarang dan menetap di daerah Merapi. Orang Jawa
sulit mengucapkan, maka menyebutnya Syekh Jumadil Kubro.
Disana
dia punya murid namanya Syamsuddin, pindah ke Jawa Barat, membuat
pesantren puro di daerah Karawang. Punya murid bernama Datuk Kahfi,
pindah ke Amparan Jati, Cirebon. Punya murid Syarif Hidayatullah Sunan
Gunung Jati. Inilah yang bertugas mengislamkan Padjajaran. Maka kemudian
ada Rara Santang, Kian Santang dan Walangsungsang.
Nah , Syekh
Jumadil Kubro punya putra punya anak bernama Maulana Ishak dan Ibrahim
Asmoroqondi, bapaknya Walisongo. Mbah Ishak melahirkan Sunan Giri. Mbah
Ibrahim punya anak Sunan Ampel. Inilah yang bertugas mengislamkan
Majapahit.
Mengislamkan Majapahit itu tidak mudah. Majapahit
orangnya pinter-pinter. Majapahit Hindu, sedangkan Sunan Ampel Islam.
Ibarat sawah ditanami padi, kok malah ditanami pisang. Kalau anda
begitu, pohon pisang anda bisa ditebang.
Sunan Ampel berpikir
bagaimana caranya? Akhirnya beliau mendapat petunjuk ayat Alquran. Dalam
surat Al-Fath, 48:29 disebutkan : ".... masaluhum fit tawrat wa
masaluhum fil injil ka zar’in ahraja sat’ahu fa azarahu fastagladza
fastawa ‘ala sukıhi yu’jibuz zurraa, li yagidza bihimul kuffar………”
Artinya: “…………Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan
sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan
tunasnya, maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi
besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan
hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati
orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mukmin)……………”
Islam itu seperti tanaman yang memiliki anak-anaknya, kemudian hamil,
kemudian berbuah, ibu dan anaknya bersama memenuhi pasar, menakuti orang
kafir. Tanaman apa yang keluar anaknya dulu baru kemudian ibunya hamil?
Jawabannya adalah padi.
Maka kemudian Sunan Ampel dalam menanam
Islam seperti menanam padi. Kalau menanam padi tidak di atas tanah,
tetapi dibawah tanah, kalau diatas tanah nanti dipatok ayam, dimakan
tikus.
Mau menanam Allah, disini sudah ada istilah pangeran. Mau
menanam shalat, disini sudah ada istilah sembahyang. Mau menanam
syaikhun, ustadzun, disini sudah ada kiai. Menanam tilmidzun, muridun ,
disini sudah ada shastri, kemudian dinamani santri. Inilah ulama dulu,
menanamnya tidak kelihatan.
Menanamnya pelan-pelan, sedikit demi
sedikit: kalimat syahadat, jadi kalimasada. Syahadatain, jadi sekaten.
Mushalla, jadi langgar. Sampai itu jadi bahasa masyarakat. Yang paling
sulit mememberi pengertian orang Jawa tentang mati.
Kalau Hindu
kan ada reinkarnasi. Kalau dalam Islam, mati ya mati (tidak kembali ke
dunia). Ini paling sulit, butuh strategi kebudayaan. Ini pekerjaan
paling revolusioner waktu itu. Tidak main-main, karena ini prinsip.
Prinsip inna lillahi wa inna ilaihi rajiun berhadapan dengan
reinkarnasi. Bagaimana caranya?
Oleh Sunan Ampel, inna lillahi wa inna ilaihi rajiun kemudian di-Jawa-kan: Ojo Lali Sangkan Paraning Dumadi.
Setelah lama diamati oleh Sunan Ampel, ternyata orang Jawa suka
tembang, nembang, nyanyi. Beliau kemudian mengambil pilihan: mengajarkan
hal yang sulit itu dengan tembang. Orang Jawa memang begitu, mudah
hafal dengan tembang.
Orang Jawa, kehilangan istri saja tidak
lapor polisi, tapi nyanyi: ndang baliyo, Sri, ndang baliyo . Lihat
lintang, nyanyi: yen ing tawang ono lintang, cah ayu. Lihat bebek,
nyanyi: bebek adus kali nyucuki sabun wangi. Lihat enthok: menthok,
menthok, tak kandhani, mung rupamu. Orang Jawa suka nyanyi, itulah yang
jadi pelajaran. Bahkan, lihat silit (pantat) saja nyanyi: … ndemok
silit, gudighen.
Maka akhirnya, sesuatu yang paling sulit, berat,
itu ditembangkan. Innalillahi wa inna ilaihi rajiun diwujudkan dalam
bentuk tembang bernama Macapat . Apa artinya Macapat? Bahwa orang hidup
harus bisa membaca perkara Empat.
Keempat perkara itu adalah
teman nyawa yang berada dalam raga ketika turun di dunia. Nyawa itu
produk akhirat. Kalau raga produk dunia. Produk dunia makanannya dunia,
seperti makan. Yang dimakan, sampah padatnya keluar lewat pintu
belakang, yang cair keluar lewat pintu depan.
Ada sari makanan
yang disimpan, namanya mani (sperma). Kalau mani ini penuh, bapak akan
mencari ibu, ibu mencari bapak, kemudian dicampur dan dititipkan di
rahim ibu. Tiga bulan jadi segumpal darah, empat bulan jadi segumpal
daging. Inilah produk dunia.
Begitu jadi segumpal daging, nyawa
dipanggil. “Dul, turun ya,”. “Iya, Ya Allah”. “Alastu birabbikum?”
(apakah kamu lupa kalau aku Tuhanmu?). “Qalu balaa sahidnya,” (Iya Ya
Allah, saya jadi saksi-Mu), jawab sang nyawa,. ”fanfuhur ruuh” (maka
ditiupkanlah ruh itu ke daging). Maka daging itu menjadi hidup. Kalau
tidak ditiup nyawa, tidak hidup daging ini. (lihat, a.l.: Q.S. Al-A’raf,
7:172, As-Sajdah: 7 -10, Al-Mu’min: 67, ed. )
Kemudian, setelah
sembilan bulan, ruh itu keluar dengan bungkusnya, yaitu jasad. Adapun
jasadnya sesuai dengan orang tuanya: kalau orang tuanya pesek anaknya ya
pesek; orang tuanya hidungnya mancung anaknya ya mancung; orang tuanya
hitam anaknya ya hitam; kalau orang tuanya ganteng dan cantik, lahirnya
ya cantik dan ganteng.
Itu disebut Tembang Mocopat: orang hidup
harus membaca perkara empat. Keempat itu adalah teman nyawa yang
menyertai manusia ke dunia, ada di dalam jasad. Nyawa itu ditemani
empat: dua adalah Iblis yang bertugas menyesatkan, dan dua malaikat yang
bertugas nggandoli, menahan. Jin qarin dan hafadzah.
Itu oleh
Sunan Ampel disebut Dulur Papat Limo Pancer. Ini metode mengajar. Maka
pancer ini kalau mau butuh apa-apa bisa memapakai dulur tengen (teman
kanan) atau dulur kiwo (teman kiri). Kalau pancer kok ingin istri
cantik, memakai jalan kanan, yang di baca Ya Rahmanu Ya Rahimu tujuh
hari di masjid, yang wanita nantinya juga akan cinta.
Tidak mau
dulur tengen, ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji Jaran Goyang, ya
si wanita jadinya cinta, sama saja. Kepingin perkasa, kalau memakai
kanan yang dipakai kalimah La haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil
‘adzim . Tak mau yang kanan ya memakai yang kiri, yang dibaca aji-aji
Bondowoso, kemudian bisa perkasa.
Mau kaya kalau memakai jalan
kanan ya shalat dhuha dan membaca Ya Fattaahu Ya Razzaaqu , kaya. Kalau
tidak mau jalan kanan ya jalan kiri, membawa kambing kendhit naik ke
gunung kawi, nanti pulang kaya.
Maka, kiai dengan dukun itu sama;
sama hebatnya kalau tirakatnya kuat. Kiai yang ‘alim dengan dukun yang
tak pernah mandi, jika sama tirakatnya, ya sama saktinya: sama-sama bisa
mencari barang hilang. Sama terangnya. Bedanya: satu terangnya lampu
dan satunya terang rumah terbakar.
Satu mencari ayam dengan
lampu senter, ayamnya ketemu dan senternya utuh; sedangkan yang satu
mencari dengan blarak (daun kelapa kering yang dibakar), ayamnya ketemu,
hanya blarak-nya habis terbakar. Itu bedanya nur dengan nar.
Maka manusia ini jalannya dijalankan seperti tembang yang awalan,
Maskumambang: kemambange nyowo medun ngalam ndunyo , sabut ngapati,
mitoni , ini rohaninya, jasmaninya ketika dipasrahkan bidan untuk
imunisasi.
Maka menurut NU ada ngapati, mitoni,
karena itu
turunnya nyawa. Setelah Maskumambang, manusia mengalami tembang Mijil.
Bakal Mijil : lahir laki-laki dan perempuan. Kalau lahir laki-laki
aqiqahnya kambing dua, kalau lahir perempuan aqiqahnya kambing satu.
Setelah Mijil, tembangnya Kinanti. Anak-anak kecil itu, bekalilah
dengan agama, dengan akhlak. Tidak mau ngaji, pukul. Masukkan ke TPQ, ke
Raudlatul Athfal (RA). Waktunya ngaji kok tidak mau ngaji, malah main
layangan, potong saja benangnya. Waktu ngaji kok malah mancing, potong
saja kailnya.
Anak Kinanti ini waktunya sekolah dan ngaji.
Dibekali dengan agama, akhlak. Kalau tidak, nanti keburu masuk tembang
Sinom: bakal menjadi anak muda (cah enom), sudah mulai ndablek, bandel.
Apalagi, setelah Sinom, tembangnya asmorodono , mulai jatuh cinta. Tai
kucing serasa coklat. Tidak bisa di nasehati. Setelah itu manusia
disusul tembang Gambuh , laki-laki dan perempuan bakal membangun rumah
tangga, rabi, menikah.
Setelah Gambuh, adalah tembang
Dhandanggula. Merasakan manis dan pahitnya kehidupan. Setelah
Dhandanggula , menurut Mbah Sunan Ampel, manusia mengalami tembang
Dhurma.
Dhurma itu: darma bakti hidupmu itu apa? Kalau pohon
mangga setelah berbuah bisa untuk makanan codot, kalau pisang berbuah
bisa untuk makanan burung, lha buah-mu itu apa? Tenagamu mana? Hartamu
mana? Ilmumu mana yang didarmabaktikan untuk orang lain?
Khairunnas anfa’uhum linnas , sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat
untuk manusia lainnya. Sebab, kalau sudah di Dhurma tapi tidak darma
bakti, kesusul tembang Pangkur.
Anak manusia yang sudah
memunggungi dunia: gigi sudah copot, kaki sudah linu. Ini harus sudah
masuk masjid. Kalau tidak segera masuk masjid kesusul tembang Megatruh :
megat, memutus raga beserta sukmanya. Mati.
Terakhir sekali,
tembangnya Pucung. Lha ini, kalau Hindu reinkarnasi, kalau Islam Pucung .
Manusia di pocong. Sluku-sluku Bathok, dimasukkan pintu kecil. Makanya
orang tua (dalam Jawa) dinamai buyut, maksudnya : siap-siap mlebu lawang
ciut (siap-siap masuk pintu kecil).
Adakah yang mengajar sebaik itu di dunia?
Kalau sudah masuk pintu kecil, ditanya Malaikat Munkar dan Nankir.
Akhirnya itu, yang satu reinkarnasi, yang satu buyut . Ditanya: “Man
rabbuka?” , dijawab: “Awwloh,”. Ingin disaduk Malaikat Mungkar – Nakir
apa karena tidak bisa mengucapkan Allah.
Ketika ingin disaduk,
Malaikat Rakib buru-buru menghentikan: “Jangan disiksa, ini lidah Jawa”.
Tidak punya alif, ba, ta, punyanya ha, na, ca, ra, ka . “Apa sudah mau
ngaji?”kata Mungkar – Nakir. “Sudah, ini ada catatanya, NU juga ikut,
namun belum bisa sudah meninggal”. “Yasudah, meninggalnya orang yang
sedang belajar, mengaji, meninggal yang dimaafkan oleh Allah.”
Maka, seperti itu belajar. Kalau tidak mau belajar, ditanya, “Man
rabbuka?” , menjawab, “Ha……..???”. langsung dipukul kepalanya:
”Plaakkk!!”. Di- canggah lehernya oleh malaikat. Kemudian jadi wareng ,
takut melihat akhirat, masukkan ke neraka, di- udek oleh malaikat,
di-gantung seperti siwur, iwir-iwir, dipukuli modal-madil seperti
tarangan bodhol , ajur mumur seperti gedhebok bosok.
Maka,
pangkat manusia, menurut Sunan Ampel: anak – bapak – simbah – mbah buyut
– canggah – wareng – udek-udek – gantung siwur – tarangan bodol –
gedhebok bosok. Lho, dipikir ini ajaran Hindu. Kalau seperti ini ada
yang bilang ajaran Hindu, kesini, saya tabok mulutnya!
Begitu
tembang ini jadi, kata Mbah Bonang, masa nyanyian tidak ada musiknya.
Maka dibuatkanlah gamelan, yang bunyinya Slendro Pelok : nang ning nang
nong, nang ning nang nong, ndang ndang, ndang ndang, gung . Nang ning
nang nong: yo nang kene yo nang kono (ya disini ya disana); ya disini
ngaji, ya disana mencuri kayu.
Lho, lha ini orang-orang kok. Ya
seperti disini ini: kelihatannya disini shalawatan, nanti pulang lihat
pantat ya bilang: wow!. Sudah hafal saya, melihat usia-usia kalian. Ini
kan kamu pas pakai baju putih. Kalau pas ganti, pakainya paling ya kaos
Slank.
Nah, nang ning nang nong, hidup itu ya disini ya disana.
Kalau pingin akhiran baik, naik ke ndang ndang, ndang ndang, gung. Ndang
balik ke Sanghyang Agung. Fafirru illallaah , kembalilah kepada Allah.
Pelan-pelan. Orang sini kadang tidak paham kalau itu buatan Sunan
Bonang.
Maka, kemudian, oleh Kanjeng Sunan Kalijaga, dibuatkan
tumpeng agar bisa makan. Begitu makan kotor semua, dibasuh dengan tiga
air bunga: mawar, kenanga dan kanthil.
Maksudnya: uripmu
mawarno-warno, keno ngono keno ngene, ning atimu kudhu kanthil nang
Gusti Allah (Hidupmu berwarna-warni, boleh seperti ini seperti itu,
tetapi hatimu harus tertaut kepada Allah). Lho , ini
piwulang-piwulangnya, belum diajarkan apa-apa. Oleh Sunan Kalijaga, yang
belum bisa mengaji, diajari Kidung Rumekso Ing Wengi. Oleh Syekh Siti
Jenar, yang belum sembahyang, diajari syahadat saja.
Ketika
tanaman ini sudah ditanam, Sunan Ampel kemudian ingin tahu: tanamanku
itu sudah tumbuh apa belum? Maka di-cek dengan tembang Lir Ilir,
tandurku iki wis sumilir durung? Nek wis sumilir, wis ijo royo-royo, ayo
menek blimbing. Blimbing itu ayo shalat. Blimbing itu sanopo lambang
shalat.
Disini itu, apa-apa dengan lambang, dengan simbol:
kolo-kolo teko , janur gunung. Udan grimis panas-panas , caping gunung.
Blimbing itu bergigir lima. Maka, cah angon, ayo menek blimbing . Tidak
cah angon ayo memanjat mangga.
Akhirnya ini praktek, shalat. Tapi
prakteknya beda. Begitu di ajak shalat, kita beda. Disana, shalat
'imaadudin, lha shalat disini, tanamannya mleyor-mleyor, berayun-ayun.
Disana dipanggil jam setengah duabelas kumpul. Kalau disini dipanggil
jam segitu masih disawah, di kebun, angon bebek, masih nyuri kayu. Maka
manggilnya pukul setengah dua. Adzanlah muadzin, orang yang adzan.
Setelah ditunggu, tunggu, kok tidak datang-datang.
Padahal tugas
Imam adalah menunggu makmum. Ditunggu dengan memakai pujian. Rabbana ya
rabbaana, rabbana dholamna angfusana , – sambil tolah-toleh, mana ini
makmumnya – wainlam taghfirlana, wa tarhamna lanakunanna minal khasirin.
Datang satu, dua, tapi malah merokok di depan masjid. Tidak
masuk. Maka oleh Mbah Ampel: Tombo Ati, iku ono limang perkoro….. .
Sampai pegal, ya mengobati hati sendiri saja. Sampai sudah lima kali kok
tidak datang-datang, maka kemudian ada pujian yang agak galak: di urugi
anjang-anjang……. , langsung deh, para ma'mum buruan masuk. Itu
tumbuhnya dari situ.
Kemudian, setelah itu shalat. Shalatnya juga
tidak sama. Shalat disana, dipanah kakinya tidak terasa, disini beda.
Begitu Allahu Akbar , matanya bocor: itu mukenanya berlubang, kupingnya
bocor, ting-ting-ting, ada penjual bakso. Hatinya bocor: protes imamnya
membaca surat kepanjangan. Nah, ini ditambal oleh para wali, setelah
shalat diajak dzikir, laailaahaillallah.
Hari ini, ada yang
protes: dzikir kok kepalanya gedek-gedek, geleng-geleng? Padahal kalau
sahabat kalau dzikir diam saja. Lho, sahabat kan muridnya nabi. Diam
saja hatinya sudah ke Allah. Lha orang sini, di ajak dzikir diam saja,
ya malah tidur. Bacaannya dilantunkan dengan keras, agar ma'mum tahu apa
yang sedang dibaca imam.
Kemudian, dikenalkanlah nabi. Orang
sini tidak kenal nabi, karena nabi ada jauh disana. Kenalnya Gatot Kaca.
Maka pelan-pelan dikenalkan nabi. Orang Jawa yang tak bisa bahasa Arab,
dikenalkan dengan syair: kanjeng Nabi Muhammad, lahir ono ing Mekkah,
dinone senen, rolas mulud tahun gajah.
Inilah cara ulama-ulama
dulu kala mengajarkan Islam, agar masyarakat disini kenal dan paham
ajaran nabi. Ini karena nabi milik orang banyak (tidak hanya bangsa Arab
saja). Wamaa arsalnaaka illa rahmatal lil ‘aalamiin ; Aku (Allah) tidak
mengutusmu (Muhammad) kecuali untuk menjadi rahmat bagi alam semesta.
Maka, shalawat itu dikenalkan dengan cara berbeda-beda. Ada yang
sukanya shalawat ala Habib Syekh, Habib Luthfi, dll. Jadi jangan heran
kalau shalawat itu bermacam-macam. Ini beda dengan wayang yang hanya
dimiliki orang Jawa.
Orang kalau tidak tahu Islam Indonesia,
pasti bingung. Maka Gus Dur melantunkan shalawat memakai lagu dangdut.
Astaghfirullah, rabbal baraaya, astaghfirullah, minal khataaya, ini
lagunya Ida Laila: Tuhan pengasih lagi penyayang, tak pilih kasih, tak
pandang sayang. Yang mengarang namanya Ahmadi dan Abdul Kadir.
Nama grupnya Awara. Ida Laila ini termasuk Qari’ terbaik dari Gresik.
Maka lagunya bagus-bagus dan religius, beda dengan lagu sekarang yang
mendengarnya malah bikin kepala pusing. Sistem pembelajaran yang seperti
ini, yang dilakukan oleh para wali. Akhirnya orang Jawa mulai paham
Islam.
Namun selanjutnya Sultan Trenggono tidak sabaran:
menerapkan Islam dengan hukum, tidak dengan budaya. "Urusanmu kan bukan
urusan agama, tetapi urusan negara,” kata Sunan Kalijaga. “Untuk urusan
agama, mengaji, biarlah saya yang mengajari,” imbuhnya.
Namun
Sultan Trenggono terlanjur tidak sabar. Semua yang tidak sesuai dan
tidak menerima Islam di uber-uber. Kemudian Sunan Kalijaga memanggil
anak-anak kecil dan diajari nyanyian:
Gundul-gundul pacul, gembelengan.
Nyunggi-nyunggi wangkul, petentengan.
Wangkul ngglimpang segane dadi sak latar 2x
Gundul itu kepala. Kepala itu ra’sun. Ra’sun itu pemimpin. Pemimpin itu
ketempatan empat hal: mata, hidung, lidah dan telinga. Empat hal itu
tidak boleh lepas. Kalau sampai empat ini lepas, bubar.
Mata kok
lepas, sudah tidak bisa melihat rakyat. Hidung lepas sudah tidak bisa
mencium rakyat. Telinga lepas sudah tidak mendengar rakyat. Lidah lepas
sudah tidak bisa menasehati rakyat. Kalau kepala sudah tidak memiliki
keempat hal ini, jadinya gembelengan.
Kalau kepala memangku
amanah rakyat kok terus gembelengan, menjadikan wangkul ngglimpang,
amanahnya kocar-kacir. Apapun jabatannya, jika nanti menyeleweng, tidak
usah di demo, nyanyikan saja Gundul-gundul pacul. Inilah cara orang
dulu, landai.
Akhirnya semua orang ingin tahu bagaimana cara
orang Jawa dalam ber-Islam. Datuk Ribandang, orang Sulawesi, belajar ke
Jawa, kepada Sunan Ampel. Pulang ke Sulawesi menyebarkan Islam di Gunung
Bawakaraeng, menjadilah cikal bakal Islam di Sulawesi.
Berdirilah kerajaan-kerajaan Islam di penjuru Sulawesi. Khatib Dayan
belajar Islam kepada Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga. Ketika kembali ke
Kalimantan, mendirikan kerajaan-kerajaan Islam di Kalimantan.
Ario Damar atau Ario Abdillah ke semenanjung Sumatera bagian selatan, menyebarkan dan mendirikan kerajaan-kerajaan di Sumatera.
Kemudian Londo (Belanda) datang. Mereka semua – seluruh kerajaan yang dulu dari Jawa – bersatu melawan Belanda.
Ketika Belanda pergi, bersepakat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Maka kawasan di Indonesia disebut wilayah, artinya tinggalan
para wali. Jadi, jika anda meneruskan agamanya, jangan lupa kita
ditinggali wilayah. Inilah Nahdlatul Ulama, baik agama maupun wilayah,
adalah satu kesatuan: NKRI Harga Mati.
Maka di mana di dunia ini,
yang menyebut daerahnya dengan nama wilayah? Di dunia tidak ada yang
bisa mengambil istilah: kullukum raa’in wa kullukum mas uulun ‘an
ra’iyatih ; bahwa Rasulullah mengajarkan hidup di dunia dalam kekuasaan
ada sesuatu yaitu pertanggungjawaban.
Dan yang bertanggungjawab
dan dipertanggung jawabkan disebut ra’iyyah. Hanya Indonesia yang
menyebut penduduknya dengan sebutan ra’iyyah atau rakyat. Begini kok
banyak yang bilang tidak Islam.
Nah, sistem perjuangan seperti
ini diteruskan oleh para ulama Indonesia. Orang-orang yang meneruskan
sistem para wali ini, dzaahiran wa baatinan, akhirnya mendirikan sebuah
organisasi yang dikenal dengan nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
Kenapa kok bernama Nahdlatul Ulama. Dan kenapa yang menyelamatkan
Indonesia kok Nahdlatul Ulama? Karena diberi nama Nahdlatul Ulama. Nama
inilah yang menyelamatkan. Sebab dengan nama Nahdlatul Ulama, orang tahu
kedudukannya: bahwa kita hari ini, kedudukannya hanya muridnya ulama.
Meski, nama ini tidak gagah. KH Ahmad Dahlan menamai organisasinya
Muhammadiyyah: pengikut Nabi Muhammad, gagah. Ada lagi organisasi,
namanya Syarekat Islam, gagah. Yang baru ada Majelis Tafsir Alquran,
gagah namanya. Lha ini “hanya” Nahdlatul Ulama. Padahal ulama kalau di
desa juga ada yang hutang rokok.
Tapi Nahdlatul Ulama ini yang
menyelamatkan, sebab kedudukan kita hari ini hanya muridnya ulama. Yang
membawa Islam itu Kanjeng Nabi. Murid Nabi namanya Sahabat. Murid
sahabat namanya tabi’in . Tabi’in bukan ashhabus-shahabat , tetapi
tabi’in , maknanya pengikut.
Murid Tabi’in namanya
tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikut. Muridnya tabi’it-tabi’in namanya
tabi’it-tabi’it-tabi’in , pengikutnya pengikutnya pengikut. Lha kalau
kita semua ini namanya apa? Kita muridnya KH Hasyim Asy’ari.
Lha
KH Hasyim Asy’ari hanya muridnya Kiai Asyari. Kiai Asyari mengikuti
gurunya, namanya Kiai Usman. Kiai Usman mengikuti gurunya namanya Kiai
Khoiron, Purwodadi (Mbah Gareng). Kiai Khoiron murid Kiai Abdul Halim,
Boyolali.
Mbah Abdul Halim murid Kiai Abdul Wahid. Mbah Abdul
Wahid itu murid Mbah Sufyan. Mbah Sufyan murid Mbah Jabbar, Tuban. Mbah
Jabbar murid Mbah Abdur Rahman, murid Pangeran Sambuh, murid Pangeran
Benowo, murid Mbah Tjokrojoyo, Sunan Geseng.
Sunan Geseng hanya
murid Sunan Kalijaga, murid Sunan Bonang, murid Sunan Ampel, murid Mbah
Ibrahim Asmoroqondi, murid Syekh Jumadil Kubro, murid Sayyid Ahmad,
murid Sayyid Ahmad Jalaludin, murid Sayyid Abdul Malik, murid Sayyid
Alawi Ammil Faqih, murid Syekh Ahmad Shohib Mirbath.
Kemudian
murid Sayyid Ali Kholiq Qosam, murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Muhammad,
murid Sayyid Alwi, murid Sayyid Ahmad Al-Muhajir, murid Sayyid Isa
An-Naquib, murid Sayyid Ubaidillah, murid Sayyid Muhammad, murid Sayyid
Ali Uraidi, murid Sayyid Ja’far Shodiq, murid Sayyid Musa Kadzim, murid
Sayyid Muhammad Baqir. Sayyid Muhammad Baqir hanya murid Sayyid Zaenal
Abidin, murid Sayyidina Hasan – Husain, murid Sayiidina Ali karramallahu
wajhah . Nah, ini yang baru muridnya Rasulullah saw.
Kalau
begini nama kita apa? Namanya ya
tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit-tabiit…, yang panjang sekali. Maka
cara mengajarkannya juga tidak sama. Inilah yang harus difahami.
Rasulullah itu muridnya bernama sahabat, tidak diajari menulis Alquran. Maka tidak ada mushaf
Alquran di jaman Rasulullah dan para sahabat. Tetapi ketika sahabat ditinggal wafat Rasulullah, mereka menulis Alquran.
Untuk siapa? Untuk para tabi’in yang tidak bertemu Alquran. Maka
ditulislah Alquran di jaman Sayyidina Umar dan Sayyidina Utsman. Tetapi
begitu para sahabat wafat, tabi’in harus mengajari dibawahnya.
Mushaf Alquran yang ditulis sahabat terlalu tinggi, hurufnya rumit tidak
bisa dibaca. Maka pada tahun 65 hijriyyah diberi tanda “titik” oleh
Imam Abu al-Aswad ad-Duali, agar supaya bisa dibaca.
Tabiin
wafat, tabi’it tabi’in mengajarkan yang dibawahnya. Titik tidak cukup,
kemudian diberi “harakat” oleh Syekh Kholil bin Ahmad al-Farahidi, guru
dari Imam Sibawaih, pada tahun 150 hijriyyah.
Kemudian Islam
semakin menyebar ke penjuru negeri, sehingga Alquran semakin dibaca oleh
banyak orang dari berbagai suku dan ras. Orang Andalusia diajari “
Waddluha” keluarnya “ Waddluhe”.
Orang Turki diajari “
Mustaqiim” keluarnya “ Mustaqiin”. Orang Padang, Sumatera Barat, diajari
“ Lakanuud ” keluarnya “ Lekenuuik ”. Orang Sunda diajari “ Alladziina ”
keluarnya “ Alat Zina ”.
Di Jawa diajari “ Alhamdu” jadinya “
Alkamdu ”, karena punyanya ha na ca ra ka . Diajari “ Ya Hayyu Ya Qayyum
” keluarnya “ Yo Kayuku Yo Kayumu ”. Diajari “ Rabbil ‘Aalamin ”
keluarnya “ Robbil Ngaalamin” karena punyanya ma ga ba tha nga.
Orang Jawa tidak punya huruf “ Dlot ” punyanya “ La ”, maka “ Ramadlan ”
jadi “ Ramelan ”. Orang Bali disuruh membunyikan “ Shiraathal…”
bunyinya “ Sirotholladzina an’amtha ‘alaihim ghairil magedu bi’alaihim
waladthoilliin ”. Di Sulawesi, “’ Alaihim” keluarnya “’ Alaihing ”.
Karena perbedaan logat lidah ini, maka pada tahun 250 hijriyyah,
seorang ulama berinisiatif menyusun Ilmu Tajwid fi Qiraatil Quran ,
namanya Abu Ubaid bin Qasim bin Salam. Ini yang kadang orang tidak paham
pangkat dan tingkatan kita. Makanya tidak usah pada ribut.
Murid
ulama itu beda dengan murid Rasulullah. Murid Rasulullah, ketika dzikir
dan diam, hatinya “online” langsung kepada Allah SWT. Kalau kita semua
dzikir dan diam, malah jadinya tidur.
Maka disini, di Nusantara ini, jangan heran.
Ibadah Haji, kalau orang Arab langsung lari ke Ka’bah. Muridnya ulama
dibangunkan Ka’bah palsu di alun-alun, dari triplek atau kardus, namanya
manasik haji. Nanti ketika hendak berangkat haji diantar orang
se-kampung.
Yang mau haji diantar ke asrama haji, yang mengantar
pulangnya belok ke kebun binatang. Ini cara pembelajaran. Ini sudah
murid ulama. Inilah yang orang belajar sekarang: kenapa Islam di
Indonesia, Nahdlatul Ulama selamat, sebab mengajari manusia sesuai
dengan hukum pelajarannya ulama.
Anda sekalian disuruh dzikir di
rumah, takkan mau dzikir, karena muridnya ulama. Lha wong dikumpulkan
saja lama kelamaan tidur. Ini makanya murid ulama dikumpulkan, di ajak
berdzikir.
Begitu tidur, matanya tidak dzikir, mulutnya tidak
dzikir, tetapi, pantat yang duduk di majelis dzikir, tetap dzikir.
Nantinya, di akhirat ketika “wa tasyhadu arjuluhum ,” ada saksinya.
Orang disini, ketika disuruh membaca Alquran, tidak semua dapat membaca
Alquran. Maka diadakan semaan Alquran.
Mulut tidak bisa membaca,
mata tidak bisa membaca, tetapi telinga bisa mendengarkan lantunan
Alquran. Begitu dihisab mulutnya kosong, matanya kosong, di telinga ada
Alqurannya.
Maka, jika bukan orang Indonesia, takkan mengerti
Islam Indonesia. Mereka tidak paham, oleh karena, seakan-akan, para
ulama dulu tidak serius dalam menanam. Sahadatain jadi sekaten. Kalimah
sahadat jadi kalimosodo. Ya Hayyu Ya Qayyum jadi Yo Kayuku Yo Kayumu.
Ini terkesan ulama dahulu tidak ‘alim. Ibarat pedagang, seperti
pengecer. Tetapi, lima ratus tahun kemudian tumbuh subur menjadi Islam
Indonesia. Jamaah haji terbanyak dari Indonesia. Orang shalat terbanyak
dari Indonesia. Orang membaca Alquran terbanyak dari Indonesia.
Dan Islam yang datang belakangan ini gayanya seperti grosir: islam
kaaffah, begitu diikuti, mencuri sapi. Dilihat dari sini, saya meminta,
Tentara Nasional Indonesia, Polisi Republik Indonesia, jangan
sekali-kali mencurigai Nahdlatul Ulama menanamkan benih teroris.
Teroris tidak mungkin tumbuh dari Nahdlatul Ulama, karena Nahdlatul
Ulama lahir dari Bangsa Indonesia. Tidak ada ceritanya Banser kok ngebom
disini, sungkan dengan makam gurunya. Mau ngebom di Tuban, tidak enak
dengan Mbah Sunan Bonang.
Saya yang menjamin. Ini pernah saya
katakan kepada Panglima TNI. Maka, anda lihat teroris di seluruh
Indonesia, tidak ada satupun anak warga jamiyyah Nahdlatul Ulama. Maka,
Nahdlatul Ulama hari ini menjadi organisasi terbesar di dunia.
Dari Muktamar Makassar jamaahnya sekitar 80 juta, sekarang di kisaran
120 juta. Yang lain dari 20 juta turun menjadi 15 juta. Kita santai
saja. Lama-lama mereka tidak kuat, seluruh tubuh kok ditutup kecuali
matanya. Ya kalau pas jualan tahu, lha kalau pas nderep di sawah
bagaimana. Jadi kita santai saja. Kita tidak pernah melupakan sanad,
urut-urutan, karena itu cara Nahdlatul Ulama agar tidak keliru dalam
mengikuti ajaran Rasulullah Muhammad saw.
Bp. Agus Sunyoto Lesbumi sintasi via Tunjung Dhimas Bintoro