Bicara soal kasunyatan, memang harus berani melakukan observasi melalui serangkaian laku pengalaman tertentu. Jatuhnya tidak hanya pada konsepsi penilaian belaka. Manusia terlunta-lunta oleh segala jebakan konsepsi lingkungan sekitarmya. Tampaknya dunia fana terlampau sering membuat manusia patah hati oleh segala kepalsuannya.
Seorang artis boleh saja dikagumi karena parasnya, karena brandingnya di media layar maya. Pencintraan yang membuat jantung penikmatnya seakan lupa untuk berdenyut ritmis. Ada pula seorang guru spiritual yang mempesona, disungkani karena kewibawaannya dalam membabarkan kaweruh. Ada pula seorang profesor yang diapresiasi karena penemuannya. Atau seorang musisi yang disoraki karena kepiawaiannya membawakan irama musik. Dan masih banyak lagi. Sesungguhnya pencitraan itu akan lekat pada hukum sebab akibat. Antara siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan. Kemelekatan hanya bagian dari cara menyadari adanya rasa patah hati untuk pendewasaan. Semua ini bukan masalah larangan (boleh atau tidak boleh). Sejatinya semua adalah lembaga kehidupan yang kasunyatan.
Tak perlu kawatir di cap dengan penilaian apapun dalam hidup, utamanya adalah selalu berkesadaran dan menikmati serangkaian prosesnya. Bilamana masih terdengar suara mengatakan kita bohong dan sombong. Yang perlu kita lakukan adalah abai dan melampauinya. Mereka yang berkata seperti itu sebenarnya sedang sakit, akibatnya dengan tak sadar mereka telah merongrong dirinya sendiri jatuh ke lembah kemunafikan. Anda berhak membayar apapun yang anda lakukan. Bukan orang lain yang membayarnya. Jadi jangan pedulikan penghakiman itu. Jangan biarkan siapapun mengendalikan anda. Ikuti irama anda, dengan tuntunan rasa sejati anda sendiri. Selami diri mendalam, untuk melepas segala hijab kemerdekaan batin.
Perihal tuduhan tentang, ilusi, konsepsi, kebohongan yang sering bertumpahan menghakimi itu. Bagi hikmat saya iapun bagian kebenaran yang harusnya kita lampaui. Karena sejatinya awal mula dan akhir tujuan adalah "Suwung" tak ada apa-apa lagi.
~ Tunjung Dhimas Bintoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar