Selasa, 29 Mei 2018

Berdikari

Berani jujur pada diri sendiri adalah jalan mengenal Tuhan paling sederhana.  Tidak perlu takut dicap atau dilabeli dengan nama apapun entah terburuk atau terbaik.  Kesombongan bukan berarti selalu terproyeksi bagi mereka yang berderajat atas saja yang menduduki pangkat,  derajat,  atau kelas status sosial, justru bagi mereka yang menerima diri apa adanya serta menanamkan sebagai otoritasnya adalah bentuk syukur atas anugerah kehidupan.

Terkadang merasa dan mengaku rendah diri dari orang lain adalah sikap berbeda yang paling merusak,  bisa juga ini adalah kesombongan yang memantul dari kemunafikan karena tak berani jujur pada talenta yang dimiliki.  Kesombongan hadir dari ciptaan lingkungan,  seseorang yang terjebak putaran siklus lingkungan, maka mereka akan merusak mentalnya sendiri.  Selama itu terjadi sesungguhnya mereka telah memvonis diri sendiri untuk menyerah pada nasib.  Dan kutukanpun mengunci paradigma pandangan mereka sendiri. 

Tak perlu campur tangan iblis, selama seperti itu mereka telah jatuh pada neraka yang dibuat oleh sudut pandangannya sendiri.

~ Tunjung Dhimas Bintoro

Fanatik

Saya muslim secara aturan manusia, namun saya bersikap terbuka. Karena Islam tidaknya saya itu adalah hak prirogatif Gusti kata Mbah Nun. Sebagai manusia normal  saya mengaku memilih/ dipilihkan agama oleh lingkungan saya. Namun saya juga menyadari apapun di dalam kehidupan ini adalah probabilitas (bisa iya bisa tidak; bisa A bisa B). Karena Gusti itu Maha Sakarepe Dewe (semaunya sendiri) karena Dialah Sang Maha Penguasa atas perbendaharaan semesta.

Tentunya alasan tersebut membuat saya untuk belajar membuka diri dengan segala hal tentang keberagaman. Karena dalam serangkaian penciptaan semesta ini terdiri dari beragam-ragam, bukan seragam. Saya Islam, tapi juga terbuka untuk berkumpul dengan saudara yang memiliki kepercayaan lain. Selain untuk sesrawungan/silahturahmi antar kemanusiaan, saya juga terbuka untuk belajar tentang apa yang diajarkan oleh agama/ kepercayaan mereka anut.

Simpelnya penalaran saya seperti ini, kehidupan adalah sekolah dan mati adalah ujian akhir. Untuk kemudian menjadi penentuan lulus ke jenjang kelas surga atau neraka. Serta agama dan kepercayaan adalah kurikulum mata pelajarannya. Sementara malaikat kubur diperintah Gusti menjadi juru tes atas ujian tersebut. Lantas mengapa saya islam, tapi membuka diri untuk belajar segala hal tentang pengertian segala aliran, agama, kepercayaan, dan keyakinan dalam kehidupan? Karena semua masih rahasia illahi dan probabilitas. Dan saya memahami selama hidup untamanya manusia itu adalah belajar.

Saya Islam dan tekun belajar ayat-ayat berteks bahasa arab, sementara saya mati ternyata malaikat memberi soal ujian dengan teks bahasa jawa, yahudi, inggris, dll. Nah celakalah saya. Sementara kematian adalah tertutupnya pintu tobat serta keterlambatan berbuat. Paling parah yang saya kawatirkan malaikat bilang "Kamu itu di hakkan oleh Gusti menjadi seorang kejawen/kristen/budha? terus kamu sok-sok berani mengaku islam dan tidak mengakui atau mau terbuka belajar tentang materi agama/kepercayaan lain, selama hidupmu. Kamu bebal sekali hingga sekarang kamu gak lulus tes alam kubur. Sudah sana semua terlambat, masuk neraka paling bawah (paling inti). Rapormu merah semua. Pasti selama hidup kamu ini sombong suka nasehatin orang pakek ayat tapi kamu gak mengupas makna ayat itu. Memalukan junjunganmu Nabi Suci Rasulluloh! ".  Terkutuklah kamu !

~ Tunjung Dhimas Bintoro

.................... ......................... ..................... ..............

Foto by: IG. Conciousfibrancy

Selasa, 08 Mei 2018

Citra Diri Bagian 2

Bicara soal kasunyatan, memang harus berani melakukan observasi melalui serangkaian laku pengalaman tertentu. Jatuhnya tidak hanya pada konsepsi penilaian belaka. Manusia terlunta-lunta oleh segala jebakan konsepsi lingkungan sekitarmya. Tampaknya dunia fana terlampau sering membuat manusia patah hati oleh segala kepalsuannya.

Seorang artis boleh saja dikagumi karena parasnya, karena brandingnya di media layar maya. Pencintraan yang membuat jantung penikmatnya seakan lupa untuk berdenyut ritmis. Ada pula seorang guru spiritual yang mempesona, disungkani karena kewibawaannya dalam membabarkan kaweruh. Ada pula seorang profesor yang diapresiasi karena penemuannya. Atau seorang musisi yang disoraki karena kepiawaiannya membawakan irama musik. Dan masih banyak lagi. Sesungguhnya pencitraan itu akan lekat pada hukum sebab akibat. Antara siapa yang membutuhkan dan siapa yang dibutuhkan. Kemelekatan hanya bagian dari cara menyadari adanya rasa patah hati untuk pendewasaan. Semua ini bukan masalah larangan (boleh atau tidak boleh). Sejatinya semua adalah lembaga kehidupan yang kasunyatan.

Tak perlu kawatir di cap dengan penilaian apapun dalam hidup, utamanya adalah selalu berkesadaran dan menikmati serangkaian prosesnya. Bilamana masih terdengar suara mengatakan kita bohong dan sombong. Yang perlu kita lakukan adalah abai dan melampauinya. Mereka yang berkata seperti itu sebenarnya sedang sakit, akibatnya dengan tak sadar mereka telah merongrong dirinya sendiri jatuh ke lembah kemunafikan. Anda berhak membayar apapun yang anda lakukan. Bukan orang lain yang membayarnya. Jadi jangan pedulikan penghakiman itu. Jangan biarkan siapapun mengendalikan anda. Ikuti irama anda, dengan tuntunan rasa sejati anda sendiri. Selami diri mendalam, untuk melepas segala hijab kemerdekaan batin.

Perihal tuduhan tentang, ilusi, konsepsi, kebohongan yang sering bertumpahan menghakimi itu. Bagi hikmat saya iapun bagian kebenaran yang harusnya kita lampaui. Karena sejatinya awal mula dan akhir tujuan adalah "Suwung" tak ada apa-apa lagi.

~ Tunjung Dhimas Bintoro

Rabu, 02 Mei 2018

Persaudaraan Setia Hati Terate


Manusia menurut ajaran PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE (PSHT) adalah "sejatining hurip" atau kehidupan sejati manusia adalah kehidupan yang sebenarnya, tiada kehidupan jikalau tanpa manusia takdir-takdir Tuhan pun tidak dapat dijelaskan diceritakan. Manusia juga merupakan bagian dari alam karena manusia memiliki anasir-anasir dari alam sebagai penjelmaan dari Sang Sumber Kehidupan. 

Anasir-anasir tersebut "sedulur papat" atau nafsu empat diantaranya api, air, udara, bumi yang melindungi pancer (RUH) yang dipinjamkan pada manusia oleh Sang Pencipta. Pada ajaran budi luhur manusia akan mencapai titik pusat (causa prima) bila saja mereka mampu memelihara dan mengendalikan empat nafsunya tadi, dengan mengenal diri pribadinya dalam konsep pemahaman, perenungan, dan penghayatan maka mereka akan mampu mengenal dan menyatu dengan Tuhanya.

Namun kebanyakan manusia merusak dirinya dengan nafsu dan lingkungannya yang melibatkan nafsu, hasrat, pikiran, cipta, karsanya keluar dari jalur keseimbangan (Azas Ketuhanan). PSHT dalam ajarannya mengenalkan istilah kistelek dalam agama adalah makrifat hal tersebut merupakan hakikat pemahaman tertinggi yang di dapatkan dari inti diri melalui penyadaran dan keyakinan, hanya mungkin apabila panca indera dan badan wadag berfungsi dengan baik dan diri kita (rasa, akal, pikiran) terlatih menghadap kedalam. Bila rasa, akal, pikiran dan kehendak menjadi sinkron dengan fungsi hati sanubari akan mendekatkan diri kita menjadi manusia yang utuh yang sanggup menerima, menghayati dan melaksanakan tugas dan anugerah ILLAHI. 

Selain itu alasan mengapa bagi setiap anggota maupun calon anggota PSHT harus belajar pencak silat karena pencak silat merupakan sarana utama untuk memperoleh badan yang sehat, trampil, trengginas, percaya diri dan perasa termasuk di dalamnya, istilah pencak silat mengandung unsur olahraga, seni, bela diri dan kistelek (kebatinan). Pencak silat adalah hasil budaya manusia untuk membela atau mempertahankan eksistensi (kemandirian) dan integritasnya (manunggalnya). Pencak silat mampu membentuk 4 ranah yaitu olahraga, olah hati, olah rasa, olah karsa. 

Karakter yang dibangun yaitu dari nilai keolahragaannya nilai tangguh dan berdaya tahan, disiplin, sportif, bersahabat, kompetitif, ceria, kerjakeras, jiwa patriotik, nasionalis, jujur, dan mampu berkompetisi (Haryani, 2013: 10). Sehingga pencak silat dan SH tidak bisa terpisahkan dari tujuan asas membentuk manusia SH seutuhnya ini merupakan bagian telaah dari pandangan filsafat tataran epistemologi. Menurut Saefullah, (2004: 10) Objek telaah epistemologi adalah mempertanyakan bagaimana sesuatu itu datang, bagaimana kita mengetahuinya, bagaimana kita membedakan dengan yang lain, jadi berkenaan dengan situasi dan kondisi ruang serta waktu mengenai sesuatu hal. Yang menjadi landasan dalam tataran epistemologi ini adalah proses apa yang memungkinkan mendapatkan pengetahuan logika, etika, estetika, bagaimana cara dan prosedur memperoleh kebenaran ilmiah, kebaikan moral dan keindahan seni, apa yang disebut dengan kebenaran ilmiah, keindahan seni, dan kebaikan moral.

Untuk itu ruang lingkup filsafat dalam tataran epistemologi dalam peranan memberi pikiran dan perasaan agar mampu dicerna dan dipahami yang dibubuhkan dalam bentuk ajaran pencak silat yang mewakili daya serap ketubuhan yang meliputi gerak raga pada esensi seni, gerak pikir esensi logika dan penalaran, gerak jiwa esensi etika disinilah ruang moral dan karakter terkontruksi. Dalam pada itu sebagai perwujudannya erat hubungannya dengan pelajaran jurus pencak silat PSHT. Disini lah keterkaitan ajaran organisasi PSHT dengan pendidikan jasmani olahraga yang merupakan rumpun pohon ilmu keolahragaan dalam meta-teorinya, tujuan pendidikan olahraga adalah mengantarkan generasi muda yang sehat untuk membentuk satu masyarakat yang sehat hingga membesarlah menjadi konsep bangsa yang sehat, karena di dalam tubuh yang sehat terdapat  jiwa yang kuat. 

Pencak silat dalam organisasi PSHT merupakan dasar-dasar gerak ketubuhan yang memiliki esensi jasmani olahraga dimana misinya juga ikut menciptakan tubuh sehat dan jiwa kuat yang sering disebut jiwa setia hati, serta disanalah penanaman butir nilai kebudayaan yang merupakan pencak silat sebagai sarananya. Maka dengan demikian nilai karakter luhur dan moral, sesuai dengan ungkapan Mulyana (2013: 85) bahwa jika dalam konteks kekinian pencak silat masih sangat relevan sebagai alat pendidikan dalam membentuk karakter bangsa Indonesia yang dirasa mulai kehilangan jati dirinya.

Dikutip dari Tesis:

"COMPREHENSIVE APPLICATION OF PHILOSOPHICAL PENCAK SILAT PERSAUDARAAN SETIA HATI TERATE IN DAILY LIFE OF REGENCY OF MAGETAN COMMUNITY ON ORGANIZATION BOARD TRANSITION"  

By : Tunjung Dhimas Bintoro

Jalan Sutra

Cinta ini kupendam dalam hingga tak beraturan. Membuat semuanya serba berbenturan. Aku menyadari cinta pernah membuatku menjadi pemberontak...